Pertempuran

404 88 26
                                    

Septa menatap tajam ke arah pimpinan Hamsa. "Kau seharusnya sadar posisimu." Dalam sekejap ia menghilang dari hadapan ketua Hamsa.

Namun, sang ketua tak terlihat panik, ia berjalan dengan santai. Setiap area yang ia lewati menjadi busuk, tanaman dan hewan yang berada di sekitarnya mati.

Septa yang muncul di belakang orang itu hendak menyerang, tetapi ia terlalu dekat dengan orang itu, sehingga kulit tangannya menjadi hitam membusuk. Bedebah! Apa-apaan ini! Orang ini mampu menyerap energi kehidupan?

"Kau yang harusnya sadar posisimu." Ia menoleh ke arah Septa. Tatapannya memberikan tekanan, membuat Septa mundur beberapa langkah.

Septa mengigit jempolnya hingga berdarah dan mengoleskan darahnya ke mata tombak Karara Reksa. Ia menancap keras tombaknya ke tanah dan berkomat-kamit, entah apa yang Septa gumamkan. Darah mengalir dari tanah tempat tombaknya menancap. Darah itu bergerak naik ke kaki septa hingga menutupi seluruh tubuhnya.

"Zirah darah." Seluruh darah mistis itu membentuk zirah berwarna merah yang menutupi seluruh tubuh Septa. Kini monser Maheswara itu menarik kembali tombaknya dan berjalan santai ke arah pimpinan Hamsa sambil mengarahkan tombaknya pada orang itu. "Kesalahan terbesarmu adalah berdiri dihadapanku dengan angkuh." Jejak darah membekas saat Septa melangkah.

"Wanggai." Pria bertato aneh itu memperkenalkan dirinya. "Beritahu penghuni alam kematian, nama orang yang kelak akan membunuhmu. Waktumu habis, Maheswara." Ia melesat ke arah Septa dan meninju perutnya.

Namun, zirah itu menangkal kerusakan pada penggunanya, termasuk efek penyerap kehidupan milik Wanggai. "Ini baru saja dimulai." Septa menghujam tombak ke arah Wanggai. Darah segar mengalir dari dada yang berlubang. Septa berdiri dengan tombak yang menembus dada lawannya.

* * *

Di sisi lain, Kei yang berjalan mengikuti hawa keberadaan Tirta, kini sampai pada sebuah kota. Kei dan Uchul berdiri di depan rumah sakit besar. "Tirta ada di sini, bawa dia pulang. Aku akan menjemput Tara." Kei berjalan meninggalkan Uchul seorang diri. Tanpa kata, Uchul segera masuk ke dalam rumah sakit.

Tirta menatap Gatot yang memaksa untuk pergi. "Pergilah! Jika memang kau mampu berjalan, pergi."

"Kita tidak akan ke mana-mana. Minimal hingga kau sembuh," balas Tirta.

"Dia benar, kita harus pergi sekarang, Tirta." Uchul muncul di pintu dan menatap Tirta.

"Uchul, gimana caranya lu bisa ke sini?"

"Banyak hal terjadi, yang penting kita keluar dari sini dulu." Untuk pertama kalinya, Tirta menatap wajah Uchul yang tampaknya tak bersenang-senang. Ia lebih menunjukan ekspresi terburu-buru.

Dari arah luar, terdengar suara aneh yang mendekat ke kamar mereka. Uchul sama sekali tak terlihat santai, ia menutup pintu dan menguncinya, lalu berjalan ke samping Tirta.

"Suara apa itu, Chul?" tanya Tirta.

"Entah, yang pasti feeling gua enggak enak."

Tiba-tiba saja pintu kamar mereka terbelah dua. Seorang anggota Hamsa masuk ke dalam sana. Ia berperawakan Jepang, dengan katana di tangannya.

"Hamsa itu organisasi internasional, enggak heran ada samurai kekeke."

Tirta berjalan dan mengambil besi penopang infus, lalu mematahkannya menggunakan kakinya. Ia kini memegang sebuah tongkat besi.

"Bawa orang ini pergi, Chul. Gua enggak jamin bisa jagain lu berdua." Tirta mengalirkan atma ke tongkat itu. "Badama."

Badama adalah senjata atau alat yang berlapis atma. Fungsinya adalah untuk memperkuat material benda tersebut dan mampu melukai pengguna ilmu hitam.

Dharma : Ekspedisi Hutan KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang