Sementara itu, Septa gemetar memegangi tombaknya. Dari tubuh Wanggai yang terluka, keluar aura yang sangat mencekam. Pimpinan Hamsa itu menoleh ke arah Septa. "Apa sudah selesai?" Ia mencabut tombak karara reksa dari dadanya, dan langsung berbalik menghadap Septa. "Sekarang giliranku menyerang."
Rasanya ingin sekali ia berlari, tetapi Septa gemetar terlalu kuat. Ia merasakan ketakutan. "Seharusnya kau sudah mati, kan?! Tombakku menancap di dadamu!"
Wanggai menyeringai. "Sesalilah itu. Kesalahanmu adalah menolak untuk menjadi bawahanku."
"Dia itu bawahanku, jangan merayunya. Aku bisa cemburu, loh." Kei berdiri di belakang Wanggai sambil merangkulnya, ia berbisik di telinga pimpinan Hamsa itu, membuat Wanggai terkejut. "Aku ambil, ya." Kei melesat menerjang Septa, ia membawa Septa pergi menuggunakan wujud braja total. Rambut ikalnya yang agak tertarik mengambang ke atas dengan warna putih ke biruan, menjadi tanda bahwa Kei sedang dalam mode braja total.
"Kei, orang itu--enggak bisa mati," tutur Septa.
"Jangan sombong, Lohia." Wanggai berhasil mengejar Kei yang dalam mode braja total. Namun, Kei sama sekali tak terkejut. "Lohia? Bicara apa kau ini?" balas Kei sambil membopong Septa menggunakan tangan kanannya, sementara tangan kirinya menggenggam tombak Panatagama dan berusaha menebas Wanggai.
Maheswara? Apakah komplotan Maheswara sedang mengejar kami? Wajar jika anak buahku semua dikalahkan, tapi--ada apa dengan wujud milik keluarga Lohia itu?
Mata Wanggai membulat seutuhnya, ia menghentikan langkahnya. Yudistira?
"Heee, kau menyadarinya, ya?" Kei merubah matanya menjadi mata penguasa, lalu menatap Septa. "Kembalilah ke kelompok, lepas zirah darahmu jika sudah dekat dengan mereka. Jangan sampai mereka tahu identitasmu."
Tanpa kata, Septa berlari menuju Tara dan yang lainnya. Seringai indah itu terpampang ketika mendapati sosok monster berzirah itu adalah Septa. Kei menatap ke arah pohon besar yang menyembunyikan keberadaan seseorang. "Jika identitas Septa terekspos, ku bunuh kau, Tomo!" bentaknya pada Uchul.
"Kekeke santai aja, semua bisa diatur," balas Uchul dengan seringai indahnya. "Sekarang, kita urus aja raja terakhirnya."
Kei dan Uchul kini menatap Wanggai.
Mereka berdua mampu berdiri tegak di dalam zona kematian. Tentu saja, karena dia seorang Yudistira, tapi siapa bocah yang satunya?
"Kau pasti bertanya-tanya siapa aku? Kekeke." Uchul menyeringai lebar ke arah Wanggai. "Aku tokoh utamanya! Yang akan menendang bokongmu."
"Orang ini enggak bisa mati, dia bagianmu. Aku akan mengalihkan perhatiannya, kau tahu apa yang harus kau lakukan ...," bisik Kei pada Uchul.
"Akhirnya tokoh utama mendapatkan peran. Beri aku waktu lima menit, aku akan menyeretnya ke hadapan Sang Suratma kekeke."
"Dua menit. Kau hanya punya waktu dua menit untuk mengistirahatkan matamu itu. Lima menit terlalu lama."
"Empat menit," balas Uchul.
"Ini bukan waktunya negoisasi," sambung Kei.
"Tiga menit, atau tidak sama sekali."
Kei menghela napas dengan wajah datar. "Oke. Aku akan menahannya selama tiga menit. Jika kau gagal, tamatlah kita."
"Tokoh utama akan selalu menang kekeke. Lindungi aku dengan seluruh hidupmu, Yudistira." Uchul duduk sambil bermeditasi. Ia memejamkan kedua matanya. Sementara kini Kei bertatapan dengan Wanggai, tetapi menyadari siapa lawannya, Wanggai mengalihkan pandangan tak menatap mata Kei.
"Melihat salah, tidak melihat juga salah. Serba salah, kan?" Kei melesat dengan wujud braja dan meninju perut Wanggai hingga memuntahkan darah. "Kau memang tidak bisa mati, tetapi bisa merasakan sakit, kan? Akanku pastikan kau menyesal karena tak bisa mati!" Pukulan kuat Kuncoro di tambah efek listrik Lohia tentunya memberikan kerusakan yang cukup parah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dharma : Ekspedisi Hutan Kematian
Misteri / ThrillerSatu regu milik Kopassus menghilang tanpa jejak di dalam lebatnya hutan yang terletak di Kalimantan Barat. Dan seluruh unit yang berusaha mencari mereka selalu berakhir dengan hal serupa. Karena dipercaya ini merupakan perbuatan dari kekuatan ghaib...