Pada awal musim semi, anak kami lahir ke dunia. Seorang bayi laki-laki. Dia tampan, matanya bulat dan begitu hidup. Dia sangat suka tersenyum, senyuman yang membuat kedua orang tuanya merasa seolah-olah menggenggam dunia; Orang paling bahagia.Awal musim semi, seperti tunas hijau yang baru tumbuh, kehidupan putra kami pun dimulai.
Pada awal musim semi satu tahun kemudian, putra kami berulang tahun yang pertama. Bayi kecil itu telah tumbuh besar, dia memulai langkah-langkah kecilnya, mulai belajar mengatakan satu dua patah kata. Kami adalah orang paling bahagia di dunia, sebelum seorang peramal datang membaca masa depan putra kami.
Peramal itu mengatakan bahwa putra kami tidak akan menginjak usia sepuluh, kehidupannya akan berakhir dengan perginya musim semi.
Seungcheol menutup buku dengan sampul lusuh, wajah seriusnya ketika membaca berubah menjadi senyuman cerah seperti biasa. Seolah-olah dia orang berbeda dengan pria yang tadi membaca dengan ekspresi serius; seolah hanyut ke dalam cerita yang ia baca.
"Ah, maaf. Aku selalu terbawa perasan ketika membaca bagian ini." Seungcheol tersenyum meminta maaf. Diam-diam ia melirik Jeonghan yang hanya diam.
"Apa Anda begitu suka dengan cerita fiksi sedih?" Joshua mengangkat sudut bibir, tersenyum mencemooh. Nada bicaranya acuh tak acuh khas anak muda sembrono, kata-katanya mengandung celaan. Ia bukan pria sentimental, apalagi hanya karena cerita karangan seperti itu. Joshua tak bisa menahan tawa, ia tak pernah tahu ayah angkatnya suka menulis cerita fiksi sedih sentimental seperti itu. Dengan tawa mengejek di bibirnya, Joshua menoleh ke samping.
Wajah ramah Seungcheol berubah menjadi ekspresi dingin, tatapan matanya begitu dalam dan tampak berbahaya, wajahnya serius seolah ia telah berubah menjadi orang yang berbeda.
"Bagaimana kalau itu bukan fiksi?" tanya Seungcheol tiba-tiba, kedua matanya dingin dan serius. Suaranya jatuh seperti sepotong besi dingin.
Joshua tak melihat seperti apa ekspresi wajah pria di depan mereka saat ini. Ketika ia menoleh ke samping, Joshua menemukan wajah Jeonghan pucat. Seolah-olah darah telah meninggalkan wajah cantik itu, bibir yang selalu terlihat segar dengan warna merah muda kehilangan warnanya. Wajah Jeonghan seperti sepotong kertas putih, dia sangat pucat. Joshua bisa melihat Jeonghan meremas serbet putih di pangkuannya, tangan lelaki itu tampak gemetar.
Jeonghan mengangkat kepalanya, menatap orang di depan mereka.
"Apa maksudmu Seungcheol-ssi?" Ketika suara Jeonghan jatuh, Joshua bisa mendengar nada bergetar di sana. Suaranya tidak keras, terdengar seperti dia kehilangan kekuatannya berbicara.
Seungcheol tiba-tiba tertawa kecil, wajah dingin itu hilang, berubah menjadi senyuman ramah yang ceria, seolah ia telah kembali pada dirinya yang biasa.
"Maksud saya, pasti ada orang yang mengalami hal itu di dunia nyata. Di luar sana banyak yang sedang mengalaminya, merasakan perasaan yang sama." ucap Seungcheol menjelaskan maksud dari kata-katanya. Tatapannya tulus dan tidak bersalah, hingga tak ada yang menyadari niat lain di balik wajah ramah itu.
Jeonghan mengambil serbet di pangkuannya, meletakkan di atas meja, di samping piring kosong bekas steak. Lelaki itu tiba-tiba berdiri membuat kursi yang ia duduki terdorong ke belakang dengan suara derit keras. Seungcheol mengangkat kepalanya terkejut.
"Aku merasa tidak enak badan. Aku harus pergi. Terima kasih untuk makan siang hari ini." Jeonghan membungkuk sopan, setelah itu ia berjalan pergi dengan langkah cepat. Meninggalkan Joshua yang masih duduk di kursinya. Dia segera berdiri dan berlari mengejar lelaki itu, tanpa salam atau sopan santun pada orang di depannya ia pergi begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing of The Light [JIHAN]
FanfictionAku adalah Ayahmu, Ibumu, Temanmu, dan Kekasihmu. Joshua, aku adalah satu-satunya yang kau miliki. Aku satu-satunya yang mencintaimu melebihi siapa pun di dunia ini.