SATU

6.7K 270 22
                                    

Di antara 23 ronde yang dilombakan dalam satu musim Formula Satu, ronde ke-16 yang dilaksanakan di Singapura terpilih sebagai ronde terberat bagi sebagian pembalap. Tingkat kelembapan yang tinggi dan perbedaan waktu dengan ronde lain yang kebanyakan dilangsungkan di benua Eropa dan Amerika membuat para pembalap harus mempersiapkan diri secara ekstra.

Tak terkecuali Diego Sagara. Meski ia diuntungkan karena berasal dari Indonesia, tetap saja ia tidak menyepelekan ronde ini. Justru karena berlangsung di negara yang dekat dengan negara asalnya, ia harus mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk orang-orang yang rela datang mendukungnya secara langsung di sirkuit.

Malam ini cuaca Singapura cerah. Bersama 19 pembalap lainnya Sagara sudah bersiap di dalam mobilnya, menunggu balapan itu dimulai. Ia harus puas memulai race ini di posisi ke-lima, setelah pembalap asal Belanda Ruben van Dijk menyalipnya di akhir babak kualifikasi kemarin sore. Begitu semua lampu merah menyala, Sagara segera tancap gas untuk merebut posisi pertama. Di tikungan pertama ia sukses menyalip Ruben, lalu bersaing ketat dengan Pierre si pembalap asal Prancis sampai kejadian yang tak diinginkan terjadi. Ban kiri belakang mobil Sagara mengendur hingga lelaki itu kehilangan kendali atas mobilnya sendiri dan terpaksa menabrak pembatas jalan. Kecelakaan itu tidak hanya menghancurkan mobilnya, tapi juga mimpinya untuk meraih podium tertinggi.

"Ga, calm down."

Ucapan manajernya tidak digubris sama sekali. Sagara justru semakin gusar, ia membanting botol minumnya tanpa memedulikan Tom, kepala tim konstruktor yang berusaha mengajaknya bicara dengan kepala dingin.

"It was a good start, Tom!" hardik Sagara. "P5! But what's the point if you still keep that sucks gunner?"

Harris manajer Sagara, menghela nafas pelan. Di tengah perdebatan pasca kecelakaan itu, ia hanya berharap Sagara berhenti berbicara. Harris tidak ingin kata-kata Sagara melukai hati orang lain hanya karena lelaki itu sedang dalam suasana hati yang tidak baik.

"Ga, lo nunggu dulu deh, di dalem. Biar gue yang ngomong sama Tom." Harris kemudian menyela sebelum Sagara kembali bersuara. Ia menggandeng lengan Sagara sambil sedikit menyeret tubuh lelaki itu.

"I don't wanna see that gunners on my next race, Tom," kecam Sagara sebelum Harris mendorongnya masuk ke dalam ruang tunggu. "Dan lo." Kini Sagara beralih pada Harris yang sukses menjauhkan dirinya dari orang-orang tim konstruktor. "Apa-apaan sih, Mas? Gue masih mau ngomong sama Tom!"

"Cukup, Ga. Gue nggak mau kejadian malam ini semakin membenarkan gosip yang beredar di luar sana, kalo lo emang orang yang arogan."

Sagara memutar bola matanya sebal. "Yang penting skill gue waktu balapan."

"Tapi buat sebagian besar orang, apa gunanya skill balapan kalo karakter lo nyebelin?"

Sagara terdiam. Ia memperhatikan Harris yang terlihat tetap tenang selama beberapa saat sebelum memutuskan untuk tak lagi berdebat dengan manajernya itu.

"Lo tunggu sini, biar gue yang urus sisanya sama Tom." Begitu merasa yakin kalau Sagara tak akan lagi berulah, Harris segera keluar dari ruang tunggu itu.

Sepeninggalan Harris, Sagara membanting tubuhnya ke atas sofa. Matanya kini memandangi langit-langit gedung buatan itu dengan pandangan kosong. Ia masih merasa kesal, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Menyerahkan sisa masalah ini kepada Harris adalah satu-satunya hal yang dapat ia lakukan sekarang.

***

Tidak biasanya hari Minggu dihabiskan Anya hanya dengan berdiam diri di rumah. Biasanya ia akan pergi mengunjungi kedua orang tuanya yang tinggal di Bogor, atau sekedar menghabiskan waktu makan siang bersama kedua rekan kerja sekaligus sahabatnya, Kaia dan Melvin. Tapi apa daya, demam tinggi yang tiba-tiba ia rasakan sejak Sabtu malam kemarin membuat ia harus beristirahat total di rumah.

FallenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang