07. terobati

10 2 1
                                    

"sshh aw!"

"aw Mark sakit! jangan dipencet pencet!"

"ah udah ah gausah! Mark kasar!"

aku menarik tanganku dari genggaman Mark yg terlihat sedang menahan napas emosinya.

sejak dua jam yg lalu, disinilah aku, di dalam sebuah rumah yg bernuansa American Cluster. Mark ternyata tidak bohong, ia benar benar mengobati luka ku. namun, pergerakan nya saat sangat kasar dan terkesan tidak ikhlas. sedari tadi tanganku diperlakukan secara tidak manusiawi olehnya.

karena kesal, jadi aku menarik kembali tanganku dan berpura pura marah. aku yakin, pasti Mark akan mengomel sebentar lagi.

"kamu tuh udah bagus ya aku obatin. bukannya makas---"

"bercanda Mark," aku mengulurkan tanganku kembali padanya, kemudian tersenyum "nih pegang lagi tangan aku" kataku.

Mark terdiam menatapku sengit, kemudian dia mendengkus dan mulai kembali mengobati luka ku.

"Mark," panggilku.

Mark tidak menggubris. seperti biasanya.

"aku minta maaf ya soal Herin tadi, aku beneran gak sengaja. tadinya aku mau ngoper bola ke Karina. tapi malah kena Herin." jelasku.

Mark masih diam.

kemudian dia menatapku sinis, "minta maafnya ke Herin lah" ucapnya sarkas.

aku menghela napas pelan "Mark, Herin itu tanpa aku minta maaf juga dia bakal maafin aku. lagian juga pasti nanti aku bakal minta maaf kok ke dia. nah, disini aku mau minta maaf sama kamu dulu, karena aku gak bermaksud ngelukain cewek kamu." kataku yg dijawab senyum miring oleh Mark.

"mentang mentang Herin itu baik, kamu jadi ngegampangin banget kata maaf ke dia ya?" tanya nya.

"astaga Mark gak gitu maksud aku," jawabku kalap.

Mark tidak menjawab, ia kemudian menunjuk pintu dengan dagunya.

"kamu boleh pulang sekarang."

"gak. aku masih mau disini sampe kamu maafin aku"

"Kella please, jangan keras kepala!"

"aku kan tamu disini. dan adab dalam menerima tamu itu, gak boleh nanya 'kapan pulang' ke tamunya, APALAGI nyuruh tamunya pulang. btw kepala aku emang keras. emangnya kepala kamu lembek?" kataku yg sudah jelas memancing emosi Mark.

"aku udah baik ya Kel, mau ngobatin luka kamu itu. jangan ngelunjak deh."

"emang harusnya kamu ngobatin aku."

"dan selesai. aku udah ngobatin kamu, sekarang kamu pergi dari rumah aku."

"nggak pokoknya aku masih mau disini. oh iya masa tamu cuma diobatin doang sih? dikasih makanan atau minuman dulu kek"

Mark menghela napas kasar. mata tajamnya menatapku, dan tangannya mencengkram bahuku erat.

"kenapa sih jadi orang kepedean banget? kalau karena nggak balas budi. gak bakal aku mau nyuruh kamu dateng kerumah aku dan dengan suka rela ngobatin luka kamu. as you know, aku terpaksa ngelakuin ini." kata Mark sarkas.

aku terdiam, sebenarnya aku sudah tau bahwa perlakuannya ini hanya terpaksa. namu entah mengapa, ketika Mark mengucapkannya secara gamblang. aku merasa kecewa.

"kamu pikir aku ngelakuin ini karena luluh sama pertolongan kamu tadi? cih, nggak! nggak sama sekali! gak usah berharap banyak Kella! inget, sekali aku bilang kalau aku benci seseorang. ya berarti aku akan selalu benci. apalagi orangnya itu kamu." lanjutnya.

aku menggeleng "t-tapi aku gak terpaksa kok nolongin kamu Mark" ucapku pelan.

"terserah! itu urusan kamu mau terpaksa atau nggak. aku gak peduli."

Mark lagi lagi menunjuk pintu, kali ini menggunakan telunjuk tangan kanannya.

"jangan sampai aku berbuat kasar sama kamu" jelas Mark sambil tetap menatap mataku.

"daritadi pun kamu udah berbuat kasar Mark ke aku, walaupun gak secara fisik" kataku yg membuat Mark kaget. entah karena baru sadar atau apa.

"tapi gapapa, karena itu kamu. jadi aku maafin hehe"

aku tidak menangis, hanya menunduk seperti seorang anak yg sedang diomeli ibunya. haha, aku mana berani menangis di depan Mark. harus jaga image!

aku mulai berjalan perlahan kearah pintu yg disusul oleh Mark dibelakangku.

aku tertawa sumbang tiba tiba "untung tadi HP nya gajadi ke ambil ya Mark? coba kalau sampe ke ambil, dan kamu harus ganti HP baru. wah, perjuangan lagi buat aku ngebujuk kamu supaya mau nyimpen nomor whatsapp aku." kataku yg entah didengar atau tidak oleh si lawan bicara.

kami sampai di depan pintu. aku berbalik badan menghadap Mark sembari tersenyum.

"makasih ya Mark udah ngobatin luka aku."

Mark mengangguk. kemudian tanpa mengucapkan kata 'hati hati'. ia langsung berancang ancang ingin menutup pintu namun kutahan.

"apa la---"

"syuuuttt... sama kayak yg tadi kamu bilang sebelum kamu ngobatin tangan ku. gak ada penolakan." kataku sambil merogoh tas belanjaan tadi dan mengambil sebuah semangka berukuran sedang.

"nih buat kamu. harus diterima!" paksa ku.

Mark menatap buah semangka itu dan menggeleng cepat.

"gak us---"

"terima atau aku masuk lagi ke kamar kamu?"

Mark menghela napas kasar dan segera mengambil semangka itu dari tangan ku. yes! aku menang.

"oke Mark dadaaaahhh!" pamitku kemudian berlari menuju pintu gerbang rumah Mark.

setelah sepenuhnya keluar dari rumah besar itu. aku langsung menatap nanar tanganku yg telah terbalut perban.

aku tersenyum kecil kemudian menangis.

"Mark, sebenci itukah kamu sama aku?"

"seremeh itukah perasaanku bagi kamu?

aku berjalan menuju halte dengan air mata yg terus berebutan keluar. tidak peduli dengan tatapan orang lain yg sedang menatapku dengan berbagai macam ekspresi. satu yg hanya ada di pikiranku sekarang.

'Mark Warrendra, I always gave all that I can for you. but why you not give it to me back. though just a little bit thing.'

Mark, untuk apa kamu mengobati luka di tangan ku jika luka ku saja sebenarnya ada di hati dan perasaan. dan itu adalah hasil karyamu.

Mark, aku tidak merasa terobati oleh perlakuanmu tadi, yang ada malah semakin tersakiti.

Mark, aku tidak merasa terobati oleh perlakuanmu tadi, yang ada malah semakin tersakiti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.







Just for Warrendra, MarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang