INDAH GINANTRA
---27 Oktober, 13.20.
HUJAN berderu di luar, diselangi guntur ringan dan angin yang susul menyusul. Udara lembap, rasa dingin menelusup ke sebalik seragam putih merahku. Meski demikian, aku nekat menembus derasnya hujan di saat teman-teman sedang berteduh semua. Aliran air deras di lekukan trotoar memercik saat aku menapak di atasnya, membasahi kaos kaki dan bagian dalam sepatu pantofelku.
Aku takut pada guntur dan kilat yang menyertainya, tapi sosok anak lelaki yang berderap tak jauh di belakang membangun keberanianku. Anak itu mengejarku dan aku berupaya lari darinya. Aku terus menghindarinya sejak jam istirahat pertama sementara dia sangat gigih ingin bicara denganku.
Jika menurutmu ini adalah suatu kisah-mengejar-cinta lainnya, kamu salah besar. Anak lelaki itu, Fran, serius ingin mencelakaiku. Kenapa?
Itu terjadi tadi pagi, ketika pergantian jam pelajaran kedua.
"Hoi, kau dengar, ndak!? Tuli kau, ha!?" Fran, anak lelaki jangkung yang--karena tubuhnya yang lebih tinggi dari anak SD kebanyakan--ditakuti seisi kelas, melabrakku bengis.
Aku, dengan sikap santai yang dipaksakan, menutup risleting tas setelah memasukkan seragam olahraga ke dalamnya, kemudian melirik buku kecil bersampul ungu yang menjadi biang kerok. Masalah ini bermula ketika anak lelaki berambut kering itu memergoki bagian belakang cover diariku yang bertuliskan namanya.
Fran sengaja mencak-mencak karena gengsi lantaran seisi kelas mengetahui aku--yang notabene tidak secantik siswi lain--suka pada dirinya. Padahal, yang menulis nama Fran di belakang cover itu bukan aku. Satu-satunya orang yang tahu perasaanku pada Fran adalah Wanda, teman sebangkuku. Aku memang mengukir huruf "F" di buku itu, tapi Wanda yang menambahkan "R", "A", dan "N" di belakangnya.
Akibatnya, aku terpaksa menanggung malu ditonton seisi kelas. Darahku menggelegak di kepala, membuat mukaku panas. Terlebih lagi ketika junior kami dan kakak-kakak kelas enam ikut menjulurkan kepala di jendela kelas, seolah menonton pentas drama. Dorongan untuk 'meledak' sudah sampai ke tenggorokanku, tapi aku menelannya lagi.
"Makasih, ya." Aku akhirnya menanggapi sambil menepuk pundak Fran, keluar dari batas cuek yang kubangun. "Berkat Ang, Rang jadi sadar siapa laki-laki yang pantas dicintai dan tidak."
Aku lalu mengangkat diary seukuran telapak tangan itu tinggi-tinggi. "Lihat ini, ya, kalian saksinya semua," kataku tegas.
SKRAKK
Buku itu pun kurobek jadi dua. Suara-suara rendah dari sekeliling serta reaksi 'cengo' Fran sedikit meluruhkan emosiku. Apalagi setelah aku menghempaskan lembaran kertas dari buku yang telah robek tersebut ke wajah lonjong Fran. Sesaat aku merasa jadi manusia paling keren sejagat raya. Aku tersenyum penuh kemenangan sementara anak lelaki jangkung itu berusaha menyusun kata-kata di otaknya yang sebesar ketombe.
Dan begitulah, awal dari terbentuknya musuh abadiku di sekolah dasar.
---
AKU tergopoh-gopoh masuk ke rumah tanpa melepas alas kaki, basah kuyup, dan tersenggal-senggal. Hal pertama yang kulakukan adalah membanting pintu dan tergesa-gesa menguncinya, lalu kusingkap sedikit tirai jendela, mengintip was-was ke luar. Hujan masih sama lebatnya, tapi Fran rupanya sudah menyerah.
"Indah!" Teguran kak Melati melengking dari sofa ruang keluarga. Kak Melati yang masih mengenakan seragam putih dan rok donker meletakkan kakinya di meja, selonjoran menonton televisi. "Kenapa ditempuh saja hujannya!? Basah rumah jadinya, kan!" celetuknya selagi mengunyah kerupuk lado.
KAMU SEDANG MEMBACA
Empat Belas Tahun
ActionSuatu hari ketika ketiduran di kantor, Indah disuguhi mimpi tentang pengalaman masa sekolah dasar. Mimpi semacam itu terus berulang, dan pada waktu-waktu yang aneh. Hal tersebut kian terasa janggal ketika sepenggal demi sepenggal ingatan Indah lenya...