1.1 Ancaman

17 8 0
                                    

Kakinya melangkah mantap seakan koridor sekolah itu tak berbahaya baginya. Padahal dua tahun kemarin belajar dalam keadaan tak nyaman.

Rutinitas sehari-hari yang ditimpa perempuan berkacamata itu ialah tersungkur kaki manusia yang menghadang langkahnya secara mendadak, terpental jatuh karena didorong dari belakang, rambut yang dikucir rapinya terkadang ditarik selayaknya tali tambang, atau kepalanya akan benjol ketika melewati lapangan bola voli, dan masih banyak lagi. Salah satu yang disebut tadi, sudah teralami sekarang.

Lily berdiri di ambang pintu kelas XII-IPA 5, ruang barunya belajar. Ruangan paling ujung koridor sekaligus ruangan paling sulit dijadikan ajang pelarian bolos sekolah. Enaknya, ruangan itu dekat dengan ruang UKS, tempat yang pasti dijadikan para cowok nakal untuk tidur di jam kosong. Dan ... baginya, mau kelas mana pun sama saja. Sama-sama menjadi korban perundungan.

"WOY LILY!"

Seseorang memanggil namanya dengan nada menggelegar yang tidak mengenakkan. Dari isu banyak orang, pemilik suaranya menyeramkan dan mampu menaklukkan semua siswa dengan mudahnya. Lily berbalik, menghadap sosok lelaki itu. "Lo Ryan, ya?" tanyanya ramah.

Ryan menatapnya tajam.

Lily dapat mengartikan tatapan tajam itu; perasaan iri, memendam amukan dan menyihir seseorang untuk berprasangka buruk tentang maksud kedatangannya kemari. Apalagi lelaki itu belum pernah menginjakkan kaki kepadanya.

"Lo nantang gua!?" Ryan berteriak keras, siapapun akan gemetar ketakutan ketika disahut penuh amarahnya, tapi Lily justru terdiam.

Selang acara diamnya ia hentikan dengan tersenyum simpul. "Nggak mungkin gue nantang cowok sekuat lo," jawab Lily sambil mengangkat alis.

Lengan Ryan mengepal sampai terdengar bunyi tulang gemeretak. Sikap Lily yang tenang seolah mempermainkannya. Jari telunjuknya menekan kening Lily penuh kekuatan yang terpaksa dipendam, dia tak mungkin memukul gadis itu untuk diberi pelajaran seperti cowok melakukan kesalahan kecil. Ryan bicara penuh penekanan, "Di semester sekarang ... gua perintahkan ... lo mundur selangkah dan beri lowongan gua maju. Lo gak cocok!"

Lily mengerjap. Bingung. Namun, ia cepat paham maksud kedatangan Ryan di hari pertama masuk sekolah itu. Ternyata Ryan haus peringkat. Dari dulu pantas saja mata tajam lelaki itu selalu menyorotinya kala berdiri di peringkat umum pertama, sementara Ryan di peringkat kedua.

Tak terduga, Ryan melabraknya di kelas dua belas semester satu ini, mungkin lelah tak bisa menandingi kepintaran Lily.

"Memang ada yang bisa bakar hapalan pintar gue, atau menjadikan gue bego hanya untuk turun di peringkat umum?" Lily tersenyum simpul. Tak ada niatan untuk angkuh, justru ingin meluruskan jalan pikir Ryan. Ia tak mungkin mengangguk setuju atas usulan Ryan yang bengkok. "Sori, Yan. Gak bisa."

"Gue gak terima penolakan!" Ryan menyambar kala Lily menolak. "GUA BISA KELUARIN LO DARI SEKOLAH!" Kali ini dia mengancam. Mata iblisnya menajam dan menusuk gadis berkacamata yang mematung.

Sedikit lama Lily diam seribu bahasa.

Ryan melipat tangannya di dada. "Gua bisa aja keluarin lo dari sekolah dengan tuduhan serius. Jangan main-main," tuturnya kembali tenang. "Hanya satu, lo turun dalam hal peringkat dengan cara berhenti belajar. Gua gak suruh apa-apa lagi. Dan gua muak ketemu lo lagi, najis!"

Mulut Lily memberat, hanya uap yang keluar dari sana. Banyak rintangan untuk menyahut yang tidak bisa ia keluarkan sekarang.

"Gue harap lo gak ingkar."

Lily menelusuri jejak tanda tanya. Setelah dipikir-pikir, ia tak pernah berjanji, belum mengiyakan, dan tidak pernah setuju. Namun, bukan jatahnya untuk menyanggah.

"Kalau lo ingkar di semester satu, gua pasti buat perhitungan sama lo." Wajah Ryan mendekat ke telinga Lily. "Sekolah, belajar, ketenangan, gua pastikan ketiga itu lenyap," bisiknya bagaikan embusan angin malam.

Anehnya, tubuh Lily merinding mendengar ancaman yang membisik di telinganya. Lily menelan ludahnya yang langsung mengering di tenggorokan. Bibirnya memucat pasi. Perkataan Ryan seakan menusuk tubuhnya, menyesakkan dadanya, dan memusingkan kepalanya yang tengah memikirkan bagaimana bila ia patuhi atau mengingkarinya bagaikan angin lalu.

Bila ia patuhi permintaan Ryan, orangtuanya akan kecewa, terlebih lagi papanya. Dan bila diingkari, ia tak tahu bagaimana nasibnya. Takutnya, Ryan bertekad mengeluarkannya dari sekolah dengan beberapa alasan palsu, sebagaimana lelaki itu bersekongkol dengan-Rubay-yang pintar membuat berita bohong dalam dunia internet, Rubay pula pintar meng-hack seseorang.

Setelah dipikir matang-matang dan hening sebentar, Lily akhirnya mematuhi. "Semoga gua gak ingkar, gua akan kabulin permintaan lo," lirihnya pelan, berharap tak ada penyesalan setelah mematuhi perintah Ryan.

Senyum Ryan terbit begitu manisnya. Menurut orang lain, jenis senyuman ini adalah jenis kepuasan. "Gua akan pegang janji lo. Gua gak mungkin lupa ingatan, jadi siap-siap kalau lo mengingkari perjanjian."

Lily bernapas lega begitu Ryan pergi dengan langkah sarat keangkuhan. Entah dari mana niatnya betul-betul mengabulkan apa kata Ryan tadi. Dalam hati Lily merapalkan beberapa aturan untuk tidak mencari masalah kepada cowok yang dijuluki iblis itu. Dan merasa tertantang untuk melarikan diri kala bertemu dengan Ryan, mungkin itu bisa menyamarkan wajahnya atau tak menimbulkan bencana lagi.

Tiba-tiba punggung Lily disentuh oleh seseorang, ia cepat menoleh kemudian tersenyum begitu tahu siapa orangnya. "Kaze? Lo sekelas sama gue?" duganya karena lelaki itu keluar dari gagang pintu kelas XII-IPA 5.

"Iya. Dan sayangnya, Linda kebagian kelas XII-IPA 1, satu kelas sama Ryan," tutur Kaze sambil menatap kepergian Ryan di koridor. "Lo gak apa-apa? Apa tadi ada Rubay di samping Ryan? Apa dia mukul lo?" tanya Kaze memastikan dengan raut khawatir, Rubay-sobatnya Ryan-si tukang baku hantam yang buta jenis kelamin, dia selalu melakukan tindakan kekerasan kepada orang, mau korbannya cowok atau cewek, itu pun bila diperintah Ryan.

"Nggak ada Rubay. Tadi itu cuma diperintah Ryan aja."

"Jangan turutin kemauannya! Lebih baik kita lapor ke guru kesiswaan, biar mampus itu anak," Kaze menyorot tajam ke arah Ryan yang memunggunginya, "dia udah kelewatan batas!"

"Gak semudah itu, Ze."

"Dan gak semudah itu lo lupain," sergah Kaze tegas, "gue takut lo kenapa-kenapa," kali ini suaranya berubah sendu, "dia patut dikasih pelajaran, biar gak ganggu lo lagi."

"Ini baru sekali, dan kalau gue patuhi, Ryan gak akan suruh gue lagi. Jadi ... lebih baik lapor guru atau nurut?" tanya Lily tak lepas tersenyum simpul. "Terkadang anjing bakal jadi buas kalau gak dikasih makan. Percaya deh Ryan gak akan berulah lagi."

Andaikan Kaze tahu selama ini dirinya sering diganggu teman-temannya hanya beralasan dirinya culun dan terlihat lemah, mungkin Kaze uring-uringan melapor ke guru tentangnya. Tapi untungnya, mau Kaze atau Linda-temannya-tak ada yang tahu dirinya dirundung selama SMA ini. Makanya sekarang, Kaze kaget atas perlakuan Ryan kepadanya.

Kaze hanya bisa pasrah. Di dalam kelas tadi, ia sempat mencuri dengar percakapan Ryan dan Lily. "Ryan itu gak cocok rangking kedua satu sekolah. Apalagi kalau kesatu dan menyandang gelar 'murid terpintar di sekolah' yang lo dapet."

"Udah, udah. Mending kita belajar lebih baik lagi, dan semoga rangking tiga lo tetap bertahan, atau naik."

"Tapi kalau Ryan berulah lagi, gua gak akan tinggal diam!" Kaze melangkah masuk ke kelas. Malas berdebat panjang.

•••

Lily Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang