2. Obsessed

96 10 0
                                    

Ada kalanya aku merasakan hangat rengkuh Renjun yang begitu tulus melebihi pancaran mentari untuk seluruh manusia di bumi. Aku tidak tahu, dia ini punya kekuatan magis macam apa hingga aku dibuatnya tak berdaya. Sejauh enam bulan aku mengenalnya, aku masih belum bisa memutuskan karakter seperti apa dirinya. Dia tidak pernah menunjukkan gambaran ekspresi yang jelas, akan tetapi ia bisa berkata jujur untuk mengatakan pendapat sekaligus beban yang menghantui pikirannya. Renjun itu abu-abu, seperti kristal yang bersembunyi malu di antara pasir yang membumbung tinggi di atas bongkah bebatuan. Aku menilainya demikian karena ia cantik, namun tertutup. Jika ada yang bertanya mengapa aku sangat memuja dia, jawabanku karena aku terlampau jatuh dalam pesona sekaligus kelam misteriusnya, seolah minta kugali lebih dalam hingga menghasilkan pendar cahaya yang membuat pandanganku tentangnya menjadi jelas.

Bagi sebagian orang kepribadian Renjun yang terbilang rumit ini merepotkan, katanya. Namun bagiku justru kepribadiannya yang membuatku semakin tertarik. Ingin menambat tali pada hatinya yang dingin, lalu kemudian kudekati untuk membubuhkan satu sentuhan disana. Memeta dengan hati-hati dengan angan aku bisa membuat Renjun menjadi sosok yang bisa 'dikenal' dan 'mengenal' bagaimana dunia yang sebenarnya. Renjun bukan tipikal orang yang banyak menuntut, apalagi mengajukan banyak permintaan yang merepotkan. Dia juga tidak memiliki sesuatu yang bisa dia jadikan barang atau hal favoritnya. Dia mengalir, senada dengan sungai yang airnya merambat turun menuju muara. Renjun lebih memilih sesuatu yang terasa nyata dan dapat digenggam oleh kedua tangan berjari kurusnya dengan erat, uang misalnya. Aku maklum, siapapun juga sangat membutuhkan uang termasuk Renjun. Kala pertemuan pertama, saat kubawa Renjun pulang kemudian kuberi pakaian, ia sempat berkata bahwa uang adalah sebuah keharusan yang membuatnya semakin haus.

Pikirnya uang dapat membeli apapun, termasuk kasih sayang dari ayah tirinya yang sampai kini telah pupus. Renjun tadinya sangat ingin ayahnya menjadi sosok yang hangat dan mencintai putranya, namun yang diperoleh hanya didikan keras, dan hasilnya adalah sekarang ; Renjun tumbuh tanpa memiliki respon perasaan yang jelas. Kadang ia bisa tersenyum dengan penuh arti, atau terisak di tengah malam saat aku masih jauh di dalam mimpi. Kadang-kadang aku sengaja terjaga, hanya untuk melihat betapa damai dan tenangnya Renjun ketika matanya terpejam. Tidur dengan hembusan napas seringan bulu, sambil sesekali merengek gemas karena tidurnya terganggu. Aku ingat, saat aku memberinya uang sekaligus membeli rumah atas nama Renjun. Manik hazelnya menatapku nanar, menyorotkan tanya yang sangat dalam hingga membuatku bergeming dan tak hirau akan dunia.

“Kau membeliku? Atau apa?” lontarnya, dengan nada penuh kebingungan sekaligus heran atas segala harta yang kini ada dalam genggamannya.

Maksudku waktu itu, aku tidak 'membeli' Renjun, anggapannya jadi demikian tumpul karena dia kuberi segala yang dia mau. Aku bukan membeli tubuhnya, apalagi jiwanya. Aku hanya ingin dia merasa dan tahu bahwa aku mau dia hingga akan kuberikan apapun yang menjadi angannya. Biar saja jika aku tergolong manusia egois, toh realitanya memang demikian. Membawa Renjun ke dalam rengkuh kemudian saling bertukar imaji melalui tautan kecup di setiap hari.

Hari Selasa, sepulang aku bekerja, Renjun kuajak menuju sebuah pameran lukisan yang terbilang sedikit pengunjungnya. Aku memiliki ketertarikan khusus pada beberapa lukisan romantisisme ; adalah hasil paduan warna yang tergores indah pada kanvas hingga membentuk sebuah karya yang bernilai fantastis. Kuhentikan langkahku tepat di salah satu bingkai besar dominan warna keemasan, disusul Renjun yang ikut menatap lukisan di depan matanya. Aku tidak bisa mendefinisikan arti tatapannya ; kagum kah? Atau heran? Aku tak bisa memutuskan.

Renjun hanya melihat lukisan seorang laki-laki ; agaknya pengembara, sedang berdiri sendirian di tepi tebing dengan menyaksikan lautan kabut yang tebal di antara bukit-bukit yang menjulang.

“Dia kelihatan bebas ya, Jaemin?” ungkapnya, dengan mata yang belum berpindah dari objek. Renjun mengangkat kepalanya sedikit, memperhatikan sisi yang lain dari lukisan berwarna biru dan abu yang dipadukan hingga rasanya membuat hati menjadi mendung.

Dandelions • JaemRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang