8. Tanzanite

59 8 3
                                    

Aku pernah menghabiskan waktuku hanya untuk membaca email kiriman dari ayahku yang kumasukkan ke dalam spam. Satu per satu. Pesan yang tak akan pernah kubalas itu hanya berisi bualan ayahku tentang kemajuan kinerjanya dahulu, dimana dia menceritakan soal dirinya yang selalu bisa menang tender dan menjadi pemegang saham terbesar dengan sombongnya. Di sebuah larik pada pesannya, ayahku berkata ‘kau tidak akan pernah ada jika ayah tidak menghendaki’ — satu untaian kalimat yang cukup membuatku heran sekaligus berjengit. Namun setelah kupikir lagi, perkataan ayahku tidak sepenuhnya salah. Dia dan ibu bercinta karena suatu alasan, mungkin dua ; hanya sekedar memuaskan napsu lahiriah, atau memang mengharapkan aku untuk hadir. Tapi menurutku mereka tadinya hanya murni bersenggama tanpa memikirkan masa depan untuk memiliki putra, ini sebabnya aku dibuang jauh-jauh. Beruntungnya aku lahir di keluarga kaya raya, peranku diperlukan ; setidaknya aku benar-benar bisa berguna sebagai anak tunggal meskipun buangan.

Ada Renjun disana, mengetuk pintu perlahan seolah ia berada di rumah orang asing. Disusul kaki rampingnya yang berbalut rapi dengan kain jatuh yang halus melangkah ke mejaku sambil membawakan segelas latte hangat yang masih baru. Beralih diri ke belakang kursi kerjaku, Renjun dengan skeptis ikut menyimak salah satu pesan dari ayahku.

“Mirip.” ujarnya rancu, mengundang tatap ingin tahu dariku.

“Apanya?”

“Ayahmu, denganmu.” Renjun bersandar pada sisi meja kerjaku, menatapku dengan sorot yang aku tak tahu apa artinya. Ratuku memang sarat dengan tanda tanya, dia seolah tenggelam dalam teka teki yang aku sendiri sukar memecahkannya. Namun darinya aku selalu menemukan hal-hal yang sebelumnya tak pernah terpikir olehku, dia memang luar biasa dengan caranya sendiri. Maka saat itu juga, ketika aku masih bingung dengan monolog otakku, Renjun melanjutkan tuturnya. “Kau dengan ayahmu, ambisius. Tidak akan berhenti sampai apa yang jadi keinginanmu pulang ke tanganmu sendiri.”

“Jangkanya saja yang berbeda.” aku mengoreksi. Kugenggam lengannya, sambil memandu tubuhnya untuk kupeluk dengan sayang. Dapat kurasakan jemarinya menyusuri rambutku dengan lembut, aku tak berani membayangkan bagaimana rupa cantiknya saat seperti ini ; apa mungkin tersenyum? Atau hanya sekedar mengamatiku tanpa ekspresi? Ataukah khawatir? Yang jelas, aku sangat suka dengan caranya memberiku afeksi. Kemudian aku kembali bicara, “ayahku mudah terobsesi karena ambisi, dia bisa jatuh kapan saja karena pilihannya sendiri.”

Lagi, kurasakan hingga lamat sensasi hangat yang menempel pada pipiku. Terasa nyaman, seolah aku selalu pulang saat melakukannya. Perut Renjun menjadi salah satu bagian tubuhnya yang paling kusukai, bukan tanpa sebab aku mengaguminya—perut itu nantinya akan mencekung cantik saat aku mengecupinya tanpa helaian busana. Namun hari itu ia mengenakan busana yang cukup rapat dikenakan, yang bisa kulakukan hanya menggesekkan wajahku disana sambil tanganku memeluk posesif pinggangnya.

“Aku bisa melihatnya. Kau menduduki kursi utama di perusahaan adalah salah satu bukti nyata bahwa ayahmu telah jatuh.” Renjun menangkup kedua pipiku, membawaku ke dalam tatap yang mengharuskanku mendongak. Maniknya bergerak, seperti sedang menyusuri setiap fitur di wajahku. Aku hampir tidak ingat kapan terakhir kali Renjun menatapku seperti ini, kami terbiasa saling memberi sentuhan afeksi melalui kontak tubuh, dari peluk hingga kecup. Satu suara kembali menginterupsi ketenangan saat aku masih larut dalam kekaguman akan Renjun, “Kau tidak pernah mengunjungi makam orang tuamu?”

“Aku mengunjunginya, setiap akhir pekan.”

“Tidak pernah mengajakku.”

“Kau tidak bilang jika ingin ikut.”

Dan dari sinilah Renjun tahu dimana kedua orang tuaku berdiam. Di depan pusara berhias bunga, Renjun mengatupkan kedua tangannya sambil memejamkan mata. Mendoakan kedua orang tuaku yang belum pernah ia temui semasa hidup. Aku berdiri di ujung deret makam, melihat bagaimana parasnya bermandikan cahaya senja. Dengan bulu mata yang panjang dan cukup lentik aku dapat dengan jelas menyaksikan kekayaan Tuhan yang sebenarnya ; tampak nyata, dan kini berada dalam genggaman. Renjun benar-benar hidup dan dia milikku, bersamaku. Tanpa kusadari aku selalu menyunggingkan senyum saat kedua netraku menangkap bayang indah Renjun. Rasa bahagia saat bersamanya tak pernah surut, selalu membuncah hingga rusukku terasa akan runtuh sewaktu-waktu.

“Sudah selesai, ayo pulang.” Renjun menepuk celananya yang berdebu sambil berjalan mendekatiku. “Oh iya, Jaemin. Email dari ayahmu waktu itu, apa dia mengirimkannya setiap hari saat masih hidup?”

“Tidak pernah absen. Begitu aku lulus dari universitas, email membosankan itu berhenti datang.”

“Pernah berpikir jika ayahmu menunjukkan perhatiannya padamu dengan cara berbeda?” Renjun berjalan lebih cepat untuk menyusulku, dia berdiri tepat di sampingku sambil melepar tatap ingin tahu. “Uh, maksudku, mungkin dengan bahasanya yang keras adalah salah satu cara ayahmu menunjukkannya—”

“Tidak.” jawabku singkat, dengan lengan yang perlahan menggelayut memeluk pinggangnya lebih rapat. “Dia membuangku.”

“Setidaknya kau datang untuk mengantar mereka ke peristirahatan terakhirnya—”

“Jika untuk ibu, aku hadir. Bahkan aku ikut menurunkan peti dan menutup liang lahatnya. Tidak untuk ayah.”

Aku sedikit menyesal karena terlalu ketus menjawab lontaran pertanyaan Renjun, namun bagaimanapun Renjun juga perlu tahu. Setidaknya dia punya memori tentang aku setelah sekian lama aku menghindar dan mengubur identitasku begitu jauh dari jangkauannya. Senja kala itu perlahan kian redup, meninggalkan tempatnya untuk digantikan sorot rembulan yang menyambut napas-napas lelah para manusia setelah letih berada di keramaian. Aku membawa Renjun menuju apartemenku, tempat tinggal yang kusinggahi sendiri sebelum Renjun mengisi sela kosong dalam hidupku.

Netra Renjun membidik ke segala arah, membola dengan sorot kagum yang memperlihatkan sisi polosnya—sangat jauh dari pribadi orang hampir kepala tiga pada umumnya.

“Sering membawa wanita kesini, Jaemin?” tanyanya, sambil memegang sandaran sofa dengan jahitan lembut dan rapat.

“Sebelum bertemu denganmu, iya.”

“Apa yang kalian lakukan?”

“Aku menolak bercerita, nanti kau cemburu.” jawabku sedikit memancingnya.

“Jawab saja.” Renjun memutar tubuhnya, melihatku dengan tatapan menuntut yang berhasil mengundang gelak tawaku karena terlampau gemas akan tingkahnya. Perlahan aku menghapus jarak, memberi bibirnya satu kecupan singkat agak membuatnya berhenti mencebik.

“Bercinta, apalagi?”

“Padahal aku ingin tidur denganmu di kamar, tapi disana sudah jadi saksi bisu betapa angkuhnya dirimu akan wanita.”

“Sofaku masih bersih, ratuku. Wanna do a quickie?” godaku.

“Jangan gila.”

Cantiknya ratuku mulai tampak kembali saat rona pipinya semakin jelas. Malam itu kami habiskan hanya berdua, tanpa ada jadwal bepergian atau rencana jalan-jalan seperti biasa. Renjun menikmati segelas teh hijaunya di depan jendela. Ukurannya yang selebar dinding membuat Renjun terlihat lebih kecil dan rapuh. Maniknya melihat ke luar jendela, meniti cahaya di bawah sana yang menandai kehidupan kota di malam hari. Aku duduk dari jauh, mengamatinya dengan semburan rasa kagum dan memuja dalam batin. Cahaya bulan kala itu benar-benar membuat Renjun terlihat berbeda, tak lagi bisa kubaca mimik wajahnya yang biasa menunjukkan sepi dan luka—karena yang kusaksikan hanyalah visualisasi pria manis dalam balutan wajah bak dewi.

“Apartemenmu jauh sekali dari rumah kita, Jaemin.”

“Pelarian.” jawabku, dengan konsentrasi yang terkunci penuh pada Renjun. Masih pula menghujaninya dengan ungkapan kagum yang tak dapat kusampaikan.

“Apakah kita besok harus bangun pagi buta agar kau tidak terlambat bekerja?”

“Mudah saja, aku bisa datang kapanpun aku mau. Kau tidak perlu khawatir, sayang.”

Maka untuk kesekian kali, aku memeluknya dengan posesif. Dadaku dan punggungnya menempel seraya ia memberi tanganku usapan repetitif yang hangatnya sangat candu. Aku enggan mengalihkan pandanganku pada kaca jendelaku malam itu ; paras Renjun, memiliki cantik yang tak bisa kutuangkan dalam estetika maupun seni. Jauh dari cacat, semua yang tampak di depanku sangat sempurna. Garis rahangnya yang terpantul jelas menunjukkan keangkuhan sisi cantiknya—memabukan, kaku, tidak bisa dan tidak mau dibagi. Ratuku benar-benar egois, dan aku telah berjanji dengan menggores pahatan dalam hati ; untuk menjaga dia layaknya permata paling langka yang pantas diperjuangkan dan dilindungi.

•••

Dandelions • JaemRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang