3. Sweetness

67 10 2
                                    

Tepat setelah bibirku disapa oleh lembutnya pagutan Renjun, aku segera bangun. Menyingkir dari kasur nyamanku yang telah sedikit kacau setelah kugunakan untuk bercinta kilat dengan Renjun. Kulihat ia menanggalkan pakaiannya, dan dengan sengaja mengambil milikku dari lemari untuk ia kenakan. Aku melihat jejas kemerahan yang kubuat pada kulit halus tanpa celanya, semakin nampak jelas ketika cahaya matahari mengecupnya dengan hangat.

Inginku menghampirinya, memeluk tubuh kurusnya dari belakang ; karya sempurna dengan kurva indah pada tulang belakangnya, memberi gigitan kecil pada bahu yang memancing lenguhan lirih pada bibirnya. Sungguh, segala yang ada pada Renjun adalah candu duniawi untukku. Kutatap bibirnya dari pantulan cermin ; labium merah muda yang biasa kujelajahi dan mengucap kalimat penenang penuh magis. Kemudian turun pada perut ratanya yang mulai mencekung karena kusentuh dengan hati-hati, sekaligus lekuk pinggang sempitnya yang biasa kurengkuh ketika aku sedang sangat butuh. Aku menghirup aroma tubuhnya yang amat manis setelah mandi, hingga lamat dan memenuhi relung paru-paruku.

Aku mengancingkan busananya, sambil memperhatikan wajah cantiknya yang tersapa cahaya matahari setelah semalam kubuat meraung butuh di bawah tubuhku. Renjun menggenggam tanganku yang masih setia memeluk pinggangnya dengan posesif. Sentuhannya hangat dan tulus, serupa Helios yang memeluk penuh istrinya, Perseis.

Let's do a shower quickie.” ajakku, di balik lehernya yang masih saja kukecup lembut.

“Mmm?” Renjun mendekatkan pipinya pada wajahku, sesekali mengusap punggung tanganku dengan jarinya.

“Kau pernah memikirkan seks denganku saat di depan wastafel tidak? Sepertinya menyenangkan, membayangkan wajahmu yang memerah sekaligus meraung putus asa minta kuisi—”

“Mesum.”

Renjun menyikutku, tepat di perut. Mendengus kesal yang sialnya malah membuatku semakin gemas. Mataku kian memberat karena rasa kantuk menyiksa masih ada disana, kupejamkan sebentar dengan mengistirahatkan kepalaku di bahunya. Aku awalnya sedikit terusik dengan usakan lembut di kepalaku, namun juga membuat tubuhku rasanya semakin nyaman ketika sedang memeluk Renjun seperti ini.

“Bangun, kau harus bertemu banyak klien hari ini, Jaemin.”

“Tidak bisakah aku berdiam diri di rumah saja bersamamu? Snuggling, cuddling, and do everything with you.

“Kau mau sepuluh milyarmu melayang hanya karena mau bersamaku?”

Ah iya, aku punya janji dengan beberapa klien yang termasuk jajaran petinggi tersohor. Tawaran harganya pun juga tidak main-main, mereka juga memasukkan saham dengan persentase tinggi untuk ditanamkan pada perusahaanku. Kupikir tidak apa-apa jika aku terlambat sebentar.

You can 'get' me later after work, silly.” ujarnya, membubuhkan satu kecupan singkat di kepalaku, mengundang senyum puas dari bibirku meskipun sebenarnya aku tidak mau pergi bekerja.

Pagiku sedikit panjang karena aku terlalu larut mencari kepuasan biologis. Lima belas menit melakukannya dengan Renjun di ruang dapur membuat moodku sedikit naik, aku paham jika Renjun sebenarnya lelah, namun ia juga malah mengiyakan dan melakukannya denganku walaupun sebentar. Tadinya aku merasa tidak tega karena aku terkesan menjadikan Renjun sebagai pemuas hasrat semata, namun sejak Renjun berkata bahwa dia nyaman melakukannya denganku, aku tak lagi ragu. Aku meninggalkan satu ciuman panjang di kening sebelum aku benar-benar berangkat, membiarkan dia mematung sambil memberi anggukan tanda mengerti.

•••

Aku tak langsung mengganti busanaku ketika pulang bekerja, aku selalu mencari keberadaan Renjun terlebih dahulu. Memastikan ia tetap sempurna, cantik tanpa cela, dan dalam kondisi yang baik setelah kutinggal amat lama. Renjun yang implisit— selalu jadi favoritku. Semakin ia tertutup, aku semakin ingin menguasainya agar tahu bagaimana dirinya. Aku hanya melihatnya dari luar, namun tangan-tanganku belum sampai merengkuh ke dalam jiwanya. Renjun masih saja dingin, namun aku selalu mau mencari cara agar ia semakin luluh untukku.

“Bagaimana urusanmu dengan orang bernama Mark Lee itu?”

Keluarga Mark Lee, adalah rival sedari awal aku merintis karir. Rentetan kesuksesannya perlahan mundur seiring dengan kemajuan perusahaanku yang mengalahkan mereka. Bisa dibilang aku dengan Mark Lee sudah jadi musuh sejak belum terlalu saling kenal.

Kutatap Renjun yang menanti jawaban dengan memandang lurus ke arah latte yang ia racik untukku. “Aku menang lagi. Saham terbesarnya jatuh untuk perusahaanku.”

Cool.” jawabnya singkat, mengangkat alis tanpa ada sanjungan panjang lebih lanjut. “Aku puas melihatnya kalah setelah tahu bagaimana sombongnya dia saat di depan kita.”

Renjun menaruh perasaan benci secara pribadi pada rivalku. Kala itu kami tidak sengaja bertemu saat Renjun mengunjungiku di tempat kerja untuk mengantar latte hangat buatannya yang kini jadi kesukaanku. Kami menjumpai Mark, yang dengan pongahnya berkata ia akan menang tender dariku. Ditambah kata-kata remehnya yang ditujukan untuk Renjun. Aku malas mengingatnya karena hanya akan memancing stres berkepanjangan.

“Aku mau menagih janji, ratuku.”

“Jika yang kau maksud adalah janji sesumbarmu tadi pagi, aku menolak.”

Lihat, Renjunku menggemaskan sekali ketika ia merajuk. Jauh sekali, tidak seperti dia yang bisanya dingin dan tidak punya ungkapan ekspresi yang jelas pada parasnya. Aku meminum lattenya perlahan, membiarkan campuran krimer dengan kopi yang menghasilkan manis candu turun melebur melalui celah tenggorokanku. Lagi-lagi aku merasa ditatap oleh Renjun, ia menanti sesuatu dariku yang tidak kupahami apa itu. Sesaat lidahku mengecap rasa pahit yang asing, dihasilkan dari kopi yang kuminum. Ini bukan kopi yang biasa Renjun pakai untuk membuat latte, espressonya terasa pekat, kopinya lebih kuat ; menyapu lidahku hingga pangkalnya dengan amat baik.

“Kau mengganti kopinya?” tanyaku, menghabiskan sisa latte yang rasanya masih baru untuk pengecapku.

“Liberika. Aku membelinya kemarin, wanginya unik jadi aku tertarik. Kau suka?”

“Ya, aromanya jadi lebih manis. Aku senang karena kau yang membuatkannya untukku.”

Renjun mendengus dalam senyuman manisnya. Dia terkesan tidak suka dipuji, aku saja yang masih keras kepala ingin terus melakukannya. Menurutku, Renjun pantas mendapat pujian dari segi manapun. Kuakui, meskipun ia terkadang lebih suka diam tapi ia amat peka dengan kondisi. Hanya saja ia enggan menunjukkannya secara terang-terangan, Renjun suka bersembunyi, serupa matahari yang menenggelamkan diri di ufuk barat hingga seluruh raganya yang menghasilkan guratan senja sempurna tertutup gumpalan kapas.

Berapa kali aku menyebur kata 'sempurna' untuk menggambarkan sosok ratuku? Tak terhitung, sepertinya.

Aku memindahkan cangkirku yang telah kosong, kembali mendapatkan tubuh kurus Renjun untuk kutangkap dalam rengkuh. Rasanya aku benar-benar pulang, dan menemukan kehangatan yang amat menenangkan dalam seketika saat aku memeluk Renjun. Ia membalasku, dengan rengkuhan yang tak kalah erat, namun untuk yang sekarang rasanya sedikit berbeda. Rengkuhannya terasa hampa, sarat dengan kalut yang merajam, menggelapkan segala sesuatu yang mengganggu dan tidak jelas.

“Ada sesuatu yang terjadi, ratuku?”

“Tidak ada.”

“Rindu, ya?” tanyaku, mendapat jawaban pasti dengan genggaman erat pada kemeja kusutku.

“...sedikit.” Renjun melepaskan rengkuhannya, yang menghasilkan kekosongan pada genggamanku. “Sore ini, kau mau kemana?”

“Liquid vaporku tinggal sedikit, jadi aku akan membeli beberapa botol nanti. Mau ikut?”

Renjun menggeleng, mengalihkan sorot cantiknya pada sudut kitchen set untuk menghindari tatapan mataku. Pahatan hidung bangirnya memancingku untuk mengecupnya gemas, sampai akhirnya ia kembali melihat wajahku dengan lurus.

“Jangan lama-lama, ya?” ujarnya, baru saja memintaku untuk pulang cepat padahal aku belum berangkat kemana-mana. Ah, sangat menggemaskan.

“Karena...?” aku menyisir rambut jatuhnya, menyingkirkan helaian gelapnya dari kening yang kini hampir menutupi manik hazelnya yang paling kusukai.

“Aku tidak mau sendirian.”

•••

Dandelions • JaemRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang