Malam ini langit terlihat sangat cerah. Bulan purnama bersinar dengan sangat terang. Bintang berkelap-kelip, memanjakan mata. Kelelawar terlihat berterbangan mencari makan.
Di bawah langit malam yang sangat cerah itu, seorang perempuan cantik berjalan sendirian dengan earphone yang menemaninya.
Perempuan itu adalah Kara Jenita. Seorang mahasiswi semester 2 yang mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Umurnya tepat 19 tahun hari ini. 6 Maret.
Di kampus, dia adalah sesosok siswi yang terkenal akan reputasi baiknya. Dosen dan teman-teman kampusnya banyak yang memujinya cerdas, penuh talenta, dan sopan.
Namun dibalik itu semua, ada satu hal yang ia sembunyikan dari orang lain yaitu menjadi pembunuh bayaran.
Ia menjadi pembunuh bayaran karena suka membunuh orang dan hobi membunuhnya itu telah membuatnya menghasilkan uang yang sangat banyak hingga detik ini.
Tidak ada yang tahu profesi Kara yang satu itu karena Kara menyembunyikannya dengan sangat baik dibalik wajah polos dan manisnya.
Angin tiba-tiba berhembus kencang sehingga membuat Kara mengeratkan pelukan pada tubuhnya sendiri. "Dingin." Gumamnya seraya menggosok-gosokkan telapak tangannya. Berharap merasakan sedikit kehangatan.
Hawa malam ini memang cukup dingin karena angin bertiup cukup kencang.
Rambut hitam Kara yang digerai dimainkan bebas oleh angin. Begitu pun dengan rok selutut nya yang dipermainkan angin. Untung saja ia memakai celana pendek di balik roknya.
"Menyebalkan." Umpatnya pelan sembari terus melanjutkan perjalanan di jalan yang sepi tersebut.
Hanya dirinya yang berada di sana. Kendaraan pun tidak ada yang lewat sama sekali. Namun meski begitu, dia tidak merasa takut sama sekali karena sudah terbiasa hidup sendiri dalam kesepian sejak kecil. Lebih tepatnya sejak kedua orangtuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat.
Langkah Kara tiba-tiba terhenti ketika merasakan ada seseorang yang mengikutinya dari belakang.
Kara langsung menoleh ke belakang dan tidak menemukan siapa pun.
Tatapan setajam elangnya menyusuri tempat nan sepi tersebut, akan tetapi tetap saja tidak menemukan siapa pun.
Hanya dirinya yang ada di sana.
"Mungkin hanya perasaanku saja." Kara mengendikkan bahunya cuek lalu kembali berbalik. Melanjutkan perjalanannya dengan santai.
Baru beberapa langkah, perasaan diikuti itu kembali muncul. Kara tidak berbalik tapi langsung melemparkan pisaunya ke tempat yang dirasanya ada orang di sana.
"ARGHHH!!"
Senyuman sinis Kara muncul mendengar teriakan tersebut.
Kara mendekati orang yang mengikutinya tapi orang itu langsung kabur dan gadis cantik tersebut tidak berniat mengejar sama sekali. Dia hanya memandang kepergian orang itu sejenak lalu kembali melanjutkan perjalanan pulangnya karena menurutnya beristirahat di rumah lebih baik daripada mengejar orang itu.
Kara menguap kala rasa kantuk tiba-tiba menyerangnya. "Untung saja rumahku sudah dekat." Ujarnya pelan.
Kara semakin mempercepat langkahnya hingga dia pun sampai di depan rumah tercinta.
Kening Kara mengernyit kala melihat lampu rumahnya menyala. Dia langsung masuk untuk memeriksanya.
Seluruh lantai satu diperiksanya tapi tidak ada tanda-tanda kehadiran seseorang.
Akhirnya Kara naik ke lantai 2.
"Kenapa baru pulang?" Pertanyaan dingin bercampur marah itu langsung menyambut pendengaran Kara ketika sampai di lantai 2.
Kara menghembuskan nafas pelan melihat siapa yang berbicara itu. "Tadi aku habis kerja kelompok dulu dengan teman-temanku. Tumben sekali ke sini?" Berjalan mendekati Morgan, pacarnya selama satu bulan belakangan ini.
"Memangnya aku tidak boleh ke sini?" Tanya Morgan sarkas.
"Tentu saja boleh. Aku 'kan hanya bertanya." Jawab Kara berusaha sabar dan tidak berakhir mencekik Morgan sampai mati.
Tanpa diduga tiba-tiba saja Morgan menamparnya. Sudut bibir Kara sampai terluka oleh tamparan kuat tersebut.
Kara tentu saja tidak terima ditampar seperti itu oleh pacarnya dan menampar wajah Morgan balik.
"Oh, jadi ini sifat aslimu? Ku pikir kau memang lemah lembut dan tidak bisa main tangan tapi ternyata itu semua hanya pencitraan mu." Sinis Morgan.
Kara tertawa meremehkan. "Memangnya kau pikir aku akan diam saja disakiti oleh dirimu?"
"Kau harusnya patuh padaku! Diam dan jangan membantah serta akui semua kesalahanmu!" Bentak Morgan marah.
Kara menatap pacarnya datar. "Aku bahkan tidak tahu apa kesalahanku sehingga kau berbuat seperti ini padaku. Tapi apa pun itu, tidak seharusnya kau bersikap kasar pada seorang wanita. Memangnya kau mau ibumu dikasari orang lain?"
"Kau perempuan jalang! Beraninya berselingkuh dengan Stevano dibelakang ku. Mati saja kau!" Bukannya mendengarkan perkataan gadis cantik itu, Morgan malah mendorong Kara hingga gadis cantik yang tak siap itu langsung terguling-guling di tangga.
Gadis itu menatap Morgan penuh permusuhan di sela-sela rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya.
Ia juga tidak tahu kenapa tubuhnya bisa sesakit ini, seolah jiwanya akan keluar dari tubuhnya. Padahal dulu dia juga pernah terguling-guling di tangga dan rasanya tidak sesakit ini.
Morgan terlihat menghampiri Kara dengan wajah panik. "Astaga, sayang. Maafkan aku. Aku tadi terlampau di kuasai amarah." Sesalnya dengan berderai air mata.
Kara menepis tangan Morgan yang berada di pipinya sebelum kesadarannya menghilang sepenuhnya akibat rasa sakit yang tak tertahankan di sekujur tubuhnya.
"Akhirnya nona sadar juga. Saya sangat mengkhawatirkan keadaan Anda, nona." Isak seseorang dengan sangat keras, membuat Kara terganggu dan membuka mata kesal.
Sebuah tempat asing dan orang asing menyambut penglihatannya. Kara tercengang dan melotot kaget.
"Apa-apaan ini?! Dimana aku?!" Teriaknya histeris.
Bersambung...
2/7/21
KAMU SEDANG MEMBACA
Xia He
Fantasy-cerita tentang transmigrasi ke masa lalu -penulis: @firza532 -sebagian part dihapus karena pindah ke aplikasi dreame/innovel. Start: 2 Juli 2021 End: 1 Agustus 2021