1. Labuan Bajo

334 46 125
                                    

Bandara mulai padat dipenuhi oleh mereka yang akan datang dan pergi. Ada yang menunggu giliran berangkat, ada yang menunggu keluarga dan teman yang akan sampai, ada yang baru tiba dan memilih sedikit lebih lama berdiam diri di bandara.

Gue salah satu dari mereka yang menunggu pengumuman keberangkatan pesawat, sesekali gue melirik jam mungil yang melingkar di pergelangan tangan, sambil mengetuk-ngetukkan sepatu beradu dengan lantai. Rasanya nggak sabar pengen cepat-cepat berangkat ke tempat tujuan gue.

Saat ini gue akan melakukan perjalanan jauh-atau istilah kerennya traveling. Sejak empat tahun yang lalu-gue rutin melakukan travelingsetidaknya satu kali dalam setahun-setiap musim panas.

Tahun kemarin gue cuma pergi satu kali. Menelusuri berbagai tempat di kota Jogjakarta, kota sederhana yang punya mantra ajaib sehingga membuat orang-orang yang singgah merasakan rindu ingin selalu kembali ke sana.

Traveling pada musim panas kali ini gue memilih pergi ke Labuan Bajo. Setelah research di internet, dan bertanya kepada para rekan kerja yang pernah datang ke sana dan meminta review-gue memantapkan hati untuk menjadikan Labuan Bajo sebagai tujuan perjalanan.

Gue mengambil paket open trip untuk traveling agar menghemat budget. Open trip ini jenis trip gabungan-perjalanan yang dilakukan secara rombongan-dengan wisatawan lain yang satu tujuan. Paket yang gue pilih durasi waktunya selama 3 hari 2 malam. Dan total rombongan yang akan berangkat sebanyak lima belas orang (termasuk gue).

"Kapan sih flight-nya? Lama," keluh gue.

"Sabar, Ya. Sebentar lagi." Laki-laki yang sedari tadi duduk di samping gue menanggapi.

Laki-laki ini namanya Dimas. Sobat gue sejak zaman kuliah. Sepanjang hidup gue, di antara teman-teman yang gue temui di berbagai tempat, gue paling dekat sama Dimas dan Kirana. Kita bertiga udah kayak anak kembar-nempel mulu ke mana-mana. Makan siang, hangout, jogging, nge-gym. Hampir semua aktivitas gue pasti ngelakuinnya bareng mereka (dengan catatan kalau lagi nggak sibuk sama kerjaan masing-masing).

Hari ini Dimas nganter gue ke bandara berhubung akhir pekan dan Dimas gabut enggak ada kerjaan. Kalau Kirana, jangan ditanya—libur gini dia lebih memilih leha-leha di kasurnya—boro-boro mau nganter gue. Ada badai petir aja dia bakal tetap mengutamakan rebahan.

Pengumuman keberangkatan pesawat pun terdengar. Pria yang menjadi tour leader perjalanan memberi instruksi berjalan ke gate 1.

"Dim, makasih ya, udah nganter. Gue berangkat dulu." Gue berpamitan pada Dimas.

"Have a safe flight, Soraya. Jangan lupa bawa buah tangan," ujar Dimas. Yeee maunya!

"Mau bawa buah hati aja deh," kata gue diselingi tawa.

Dimas ikut ketawa. "Buah hati mah anak dong, harus bikin dulu. Bikinnya mau sama siapa coba?"

"Hahahaha gak ada. Jangan buah hati deng, buah yang lain aja. Ada kok buah yang bisa lo dapetin sekarang kalo lo mau."

"Buah apa tuh?"

"Buah dada. Nih gue punya," ceplos gue asal. Agaknya mulut gue udah kehilangan rem akhlak.

Dimas mundur selangkah menjauh, refleks mengumpat kasar. "Lu stres, gila, sinting," kata Dimas ngedengus.

"Gue anggap itu sebagai pujian. Thanks, Dim."

Dimas udah terbiasa mendengar omongan gue yang kelewat ngaco, tapi tetap aja reaksi dia selalu keliatan gak habis pikir. "Udah sana lu pergi. Gak usah balik lagi kalo perlu!" katanya ketus.

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang