⊰ 05 ⊱ ACCIDENTAL MEETING

9 2 0
                                    

Dormi's POV

Samar-samar aku mendengar suara orang, lebih terdengar seperti bisikan. Suara itu menjelas seiring kesadaranku pulih. Aku membuka mata, tempat gelap lagi. Namun, bedanya di depan aku melihat cahaya jingga.

"Akhirnya kau bangun!" Tiba-tiba suara itu memekik dan membuatku kaget. Si pemilik suara itu langsung muncul di depanku dan menyogok makanan ke mulutku dengan kasar. "Makanlah! Kau-"

"Bisa tidak bersikap lebih sopan!?" Aku segera menepis tangannya dan mendorongnya hingga jatuh. Baru saja bangun dari pingsan sudah dibuat emosi, sialnya kepalaku masih terasa pusing.

Tapi aku sadar orang itu orang itu ada di sini, denganku. Artinya dia yang menemukanku dan menyelamatkanku. Hampir saja aku berpikir untuk melawannya hingga babak belur. Namun, aku tidak akan berterima kasih kepada orang yang tidak sopan!

"Maaf, a-aku benar-benar panik. Aku melihatmu pingsan dan kurus. Jadi, aku berpikir kau sekarat dan kelaparan." Aku bisa membayangkan ekspresi khawatir dari nada suaranya. Namun, aku merasa ia lebih terdengar seperti pengecut. Ia membelakangi cahaya api unggun, wajahnya tertutup bayangan membuatku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Tentu saja aku masih mengenali dia laki-laki.

Bola mataku melingkar. Aku menerima makanan yang ia beri dan menggitnya. Bulu kudukku meremang ketika aku merasakan teksturnya di mulutku. Ini seperti daging. Tunggu, bagaimana bisa?

"Kau dapat dari mana?" tanyaku setelah menelan gigitan pertama.

"Oh, itu daging laba-laba yang tadi menyerangmu. Dia memanjat ke pohon setelah kulempari kayu bakar. Beberapa detik kemudian ia jatuh dalam keadaan mati. Akhirnya-"

"Uhukk!" Aku terbatuk dan spontan melempar daging ke arah lain. Aku langsung terbayang daging yang masuk ke perutku beregenerasi menjadi laba-laba utuh, berjalan-jalan di dalam lambungku, lalu menggerogoti organ-organ dan membuat sarang di tubuhku. Bayangan-bayangan lainnya tentang laba-laba menyerang kepalaku, membuatku ingin muntah.

"Ada apa denganmu!?" Orang itu semakin kalang kabut, ia langsung mencari-cari sesuatu di sudut ruangan, mungkin tempat untukku muntah.

Untungnya aku tidak jadi muntah, tapi napasku terasa memberat dan jantungku berdetak lebih cepat. Aku memegangi kepalaku yang terasa semakin pusing. Akhirnya dia hanya bisa mengelus punggungku, mencoba menenangiku. Ia terlihat semakin putus asa.

"Aku punya phobia laba-laba," jelasku. Entah aku harus marah padanya atau tidak, tapi kali ini cukup bisa dimaafkan. Tak akan ada yang tahu phobiaku jika aku tidak memberi tahunya.

"Maaf, maaf, maaf, aku benar-benar tidak tahu kau arachnophobia. Aku benar-benar menyesal." Dia memohon sambil menautkan kedua tangannya.

"Arachnophobia?" Aku mengernyit bingung.

"Itu sebutan ilmiah untuk phobia laba-laba," jelasnya, entah kenapa dia lebih memilih menyebutnya dengan kata yang sulit daripada sebutan yang lebih umum.

"Aku tidak apa-apa, sudah kenyang." Aku menduga dia akan menanyakan kondisiku jika tidak cukup makan. Aku lebih memilih untuk menahan lapar daripada makan laba-laba.

Dia beringsut mendekati api unggun dan menatapku prihatin. Lalu pandangannya beralih ke bara api yang menari-nari di depannya. Wajahnya terlihat memakai kacamata hitam. Matanya agak sipit dan memiliki rambut berombak berwarna coklat.

Kami terdiam selama beberapa menit. Sementara aku mengamati ruangan. Dinding dan lantainya hampir semuanya tanah. Beberapa akar pohon mencuat di dinding. Di salah satu sudut langit-langit terdapat lubang yang menjadi pintu keluarnya. Tak pernah terpikirkan olehku ada tempat seperti ini.

"Apa kau pergi sendirian?" Dia membuka topik baru tanpa menoleh ke arahku.

"Lucu ya, kau menanyakan hal lain selain memperkenalkan dirimu, orang asing," sindirku.

Dia menyadari dia lupa untuk memperkenalkan dirinya. "Eunoir Carter," jawabnya. Lalu melanjutkan setelah beberapa detik, "Perlu berjabat tangan?"

Aku menggeleng, caranya menjawab terdengar lucu. "Dormiveglia, Dormi jika kau ingin menyingkatnya."

"Ooooh ...." Eunoir ber-oh panjang. Ia merenung sebentar. "Sepertinya pernah dengar kata itu entah di mana, apakah ada artinya? Kalau aku, ibuku awalnya ingin menamaiku Eunoia, tapi namanya terdengar feminim. Jadi ibu mengganti huruf belakangnya dengan huruf R. Eunoia artinya memiliki pemikiran yang baik." Ia menjelaskan, tapi menurutku penjelasannya terkesan dipaksakan.

"Tunggu, kau bisa mengingat tentang orangtuamu?"

"Tidak, aku tahu karena aku mencatatnya. Selebihnya aku tidak ingat apa-apa." Eunoir meluruskan. "Kupikir hanya aku yang mengalaminya."

"Oh ya, soal ...." Aku mengeluarkan kertas hitam dan senter. Eunoir menoleh ke arahku, ia mengernyit ketika melihat benda yang kupegang. Kubuka gulungan kertas dan menyinarinya dengan Senter UV. Aku terkejut melihat sekarang kedua titik itu saling bersebelahan. "Kau punya potongannya juga?"

Eunoir buru-buru mengeluarkan sobekan miliknya dan menunjukkannya padaku. Kuletakkan bagiannya di atas tanah dan menggabungkan kedua potongan itu.

Eunoir berpikir sebentar memahami tulisan-tulisan abstrak di kertas. "Oh, begitu! Aku mengerti sekarang. Temanku mengatakan ini merupakan cara untuk keluar dari tempat ini. Kita perlu mencari semua potongannya." Namun, tiba-tiba ekspresinya berubah sendu, matanya jadi terlihat semakin kecil.

Aku langsung mengerti apa yang Eunoir telah alami. Toh, dia juga sendirian. "Sepertinya temanmu tidak bernasib baik."

"Dia mati dimangsa kucing. Mengorbankan dirinya agar aku bisa keluar dari menara," jelas Eunoir. Dia mulai mengoceh tentang ceritanya dengan panjang lebar dan detail. Mulai dari ia dikejar The Witch Cat, terkurung di sangkar burung, hingga rencana pelariannya. Anak ini jika sudah menjelaskan sesuatu tidak akan berhenti bicara.

"Entahlah, aku merasa itu cuma rencana bunuh dirinya. Ada beberapa alasan sebenarnya kalian berdua dengan selamat." Aku mengangkat bahu.

Eunoir menautkan kedua alisnya. "Aku tidak mengerti. Memangnya kenapa Ley ingin bunuh diri?"

"Karena kematian adalah salah satu cara untuk keluar dari dunia ini."

Dia semakin bingung. "Tidak mengerti. Kenapa bisa ada orang yang menginginkan kematian?"

Aku mendengus dan memutar bola mata. Menyerah dengan pertanyaannya, sejelas apapun aku mengatakannya kurasa dia takkan mengerti. Entah dia ini robot atau bukan. "Jika tidak mengerti perasaan orang lain, lupakan saja. Ayo fokus ke sini." Aku menunjuk-nunjuk kertas hitam.

Di samping kiri sobekan milikku, terdapat pulau memanjang di kertas Eunoir. Kalau dilihat-lihat, seperti bentuk alis dengan satu mata. Terdapat titik kecil di tengah pulau yang tergambar di kertas Eunoir, menunjukkan potongan lainnya.

Eunoir menggaruk kepalanya. "Oke, tapi bagaimana caranya menyeberang ke pulau itu?"

"Kau kan pintar, pikirkanlah sendiri."

Dia menyipitkan matanya ke arahku, lalu mendengus. Ia membuka buku kecilnya dan membolak-balikkan halaman dengan cepat, entah apa yang ia cari. Kemudian, ia memasukkannya ke kantong bajunya.

"Kita lihat saja di ujung pulau," katanya.

"Itu yang aku pikirkan." Aku menambahkan.

Namun, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya nanti. Eunoir menguap, aku mengerti dia belum istirahat sama sekali setelah menempuh perjalanan yang panjang dan melewati rintangan sulit. Dia merubah posisinya, membaringkan tubuhnya sambil memeluk kedua lutut. Mulutnya berkomat-kamit pelan, mungkin membisikkan kata "Selamat malam". Tak butuh waktu lama untuk membuatnya benar-benar tertidur.

Aku hanya berdiam menatap ke depan, sebenarnya aku sudh tidak mengantuk. Namun, lama-lama akhirnya aku memutuskan untuk ikut tidur.

Fallen Realm: Prison Nightmares [PILOT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang