Jika memang pada akhirnya aku harus menjalankan hidup yang penuh dengan kemalangan, mengapa aku harus dilahirkan?
Sebuah pertanyaan yang terus menghantui isi kepala seorang gadis yang kali ini sedang termenung dijendela kost-an nya.
Gadis itu mendongak, menatap sendu kepada langit malam. Langit malam, satu-satu nya teman yang ia punya, satu-satu nya pendengar yang selalu siap mendengarkan segala cerita nya.
Tersenyum miris. "Hari ini pun tidak ada ya." Monolog nya sambil terus menatap keatas.
"Masih sama seperti malam-malam yang kemarin, bulan masih tetap-" ia menunduk dalam.
"sendiri." lanjut nya lirih.
Walaupun sepi namun tidak ada yang lebih indah daripada langit malam. Karna disana, terdapat dirinya yang lain. Sebuah inspirasi yang membuat orang tua nya menamai dirinya Bulan.
Saat kecil Bulan pernah merajuk karna nama itu, bulan itu sepi, sendiri, dan berada di kegelapan. Bulan tidak suka itu semua, namun kedua orang tua nya hanya tersenyum sambil berkata. "Suatu saat kamu akan mengerti bulan, bahwa sebenarnya bulan bukan lah seperti yang kamu pikirkan. Bulan lebih indah dari yang kamu bayangkan"
Saat itu Bulan tidak memikirkan lebih dalam maksud dari ucapan orang tua nya. Ia hanya mengerucutkan bibir nya dan berlalu dengan menghentakkan kaki nya.
Namun sekarang, bulan tidak lagi berpikir seperti itu. Benar kata orang tua nya, bulan lebih indah dari yang ia katakan. Sepi, sendiri adalah hal yang menyenangkan. Ia tak lagi butuh orang lain, ia tak butuh teman, ia tak butuh siapapun karna yang ia tau, pada dasarnya bulan diciptakan memang untuk menyendiri.
Matanya mencoba menelisik lebih ke arah bulan, namun suara ranting terinjak mengalihkan atensi nya. Sedikit merasa merinding, karna pemandangan didepan nya memang sedikit agak suram.
Diseberang jendela nya memang ada sedikit tempat pelataran, mungkin pemilik kost berfikir jika para penghuni kost akan menjadikan nya sebagai tempat bermain atau sekedar tempat untuk mencari udara segar. Namun kenyataan nya, para penghuni kost tidak ada yang mau menggunakan pelataran itu, karna tak jauh dari situ ada beberapa pohon rindang lalu terlihat bagian belakang rumah warga setempat.
Ia paham mengapa para penghuni kost tidak ada yang mau menapaki kaki ke tempat tersebut karna ya memang agak sedikit menyeramkan. Selama ini hanya satu orang yang memakai tempat itu, ya Bulan.
Dengan was-was bulan menyembulkan kepala nya ke luar jendela, menoleh ke arah sumber suara. Terlihat seorang pria yang sedang berdiri didekat jendela kamar kost sebelah nya.
Bulan sedikit tersentak karena melihat seorang pria yang sedang berdiri didepan jendela samping kamar kost nya. Tak jauh berbeda, pria itu juga sedikit kaget dengan kehadiran bulan. Apalagi bulan hanya menyembulkan kepala tanpa tubuh nya.
"Maaf, tadi saya tidak sengaja menginjak ranting saat melompat turun dari jendela. Kamu kaget ya?" Tanya pria itu.
Bulan hanya memandang pria itu beberapa detik, tak berniat menjawab. Ia menegakkan kembali badan nya, berekspresi seolah-olah tadi tak terjadi, seolah-olah ia tak mendengar perkataan pria itu.
Tangan nya terjulur untuk menutup jendela kost nya. Namun tanpa di duga, sebelum jendela itu tertutup sempurna. Sebuah tangan menghalangi.
"Saya bintang. Bintang Fazran Arshiman"
Bulan diam. Masih tidak berniat menjawab. Air muka nya tenang, namun ada sedikit guratan tidak tertarik dengan apa yang ada di hadapan nya.
"Lepas"
Pria yang tadi menyebutkan dirinya sebagai bintang, melepaskan genggaman nya pada jendela dengan deheman pelan. Namun lagi-lagi bintang menahan jendela itu saat bulan baru saja ingin menutup nya kembali.
"Saya mengganggu waktu kamu ya?" Tanya nya.
Jika sudah tau, untuk apa bertanya. Namun bulan hanya bisa menyeruakan itu dalam pikiran nya. Ia bukan tipe orang yang bisa asal bicara sesuai dengan apa yang ia mau bicarakan.
Masih tak mau menyerah, bintang kembali bicara. "Boleh berkenalan sebentar?mulai hari ini saya akan menjadi tetangga sebelah kamu. Saya harap kita bisa menjadi teman."
Sebenarnya bulan enggan untuk menjawab, apalagi berkenalan. Namun sepertinya pria bintang ini tidak akan melepaskan jemari nya pada jendela. Bulan mengalah.
"Bulan" jawab nya pelan.
Bintang mengernyitkan dahi nya, jika tidak salah dengar sepertinya gadis dihadapan nya itu menyebut bulan. Apakah itu namanya?
"Namamu bulan?" Tanya bintang memastikan.
Bulan mengangguk mengiyakan. Ia melirik ke arah jemari bintang yang berada pada jendela nya. Bintang mengerti, kali ini ia benar-benar melepaskan genggaman nya.
Tidak seperti sebelum nya, kali ini bulan berhasil menutup jendela kost nya tanpa hambatan dari jemari pria itu lagi. Namun sedetik setelah jendela nya tertutup sempurna. Suara bintang dari balik jendela membuat nya termenung beberapa detik.
"Sedari dulu, aku tidak pernah percaya dengan yang namanya kebetulan. Apakah kamu juga sama, bulan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
K E L A M
General Fiction"Sendiri memang lebih nyaman, tapi akan ada fase dimana kamu tidak lagi kuat menahan sesak itu sendirian. Bulan, kamu akan merasakan titik dimana kamu sangat membutuhkan orang lain, untuk bersandar." Bintang menggenggam jemari bulan. "Dan aku, aku...