“Do the people whisper about you on the train like me?
Saying that you shouldn't waste your pretty face like me?”Halsey ─ Gasoline
────────────
ㅤ ㅤㅤ ㅤ
ㅤ ㅤ
ㅤ ㅤ
ㅤ ㅤ
ㅤ ㅤ
Baiklah, jerawat-jerawat di daguku secara resmi telah membuatku frustasi. Terkadang aku berpikir mereka sengaja mempermainkanku. Dagu bersih, timbul di dahi. Dahi bersih, malah berpindah kembali ke dagu! Aku menatap refleksiku sendiri yang terpampang di cermin besar toilet staff restoran. Oh, sial. Seiring hari berlalu, aku semakin buruk rupa. Lihat, mata pandaku satu langkah menuju mata bonyok. Kini kacamataku memiliki dua fungsi, agar aku dapat melihat angka-angka berukuran super kecil di komputer dengan jelas serta menutupi segala aib di parasku yang berpotensi menyulitkanku cari jodoh.Tunggu. Aku ini bicara apa? Aku tidak terbang dari Connecticut menaiki pesawat ekonomi paling mengkhawatirkan sebenua Amerika, lalu tiba di Los Angeles dengan 500 dollar dalam rekeningku demi hal bodoh semacam berkencan. Tujuanku adalah meraih mimpi. Meskipun terpangkasnya jarak malah membuatku merasa mimpiku kian menjauh. Aku menghela napas dan menyalakan keran air. Air mengalir deras. Bos telah mengganti pompa, agaknya. Bagus, kami telah komplain selama lima bulan lebih mengenai pancuran air yang begitu lemah sampai pancuran air kecilku memiliki volume yang lebih besar. Oke, itu perbandingan yang konyol.
Aku membasahi tanganku, kemudian mengusapnya ke muka agar rasa segar dapat mengembalikan semangat kerjaku. Jujur saja jika jam sudah menunjuk ke angka tiga, lesu pasti menghampiri. Sekali lagi, aku menatap refleksiku di cermin. Ayolah, Joan. Berjuang sedikit lebih keras. Kau tentu tidak mau menjadi kasir restoran pizza sederhana seumur hidup, bukan? Kau memiliki cita-cita yang mesti kau wujudkan! Aku sudah sangat termotivasi oleh suara hatiku, hingga suara benak────sisiku yang paling realistis menjatuhkan gairah pemimpiku dengan bercelutuk: ya, giat-giatlah bekerja sebagai kasir hingga kau tidak memiliki waktu untuk berkreasi.
Bajingan tengik itulah yang menjadi alasan dari segala kegagalanku. Dia dan kalimat pedasnya membuatku berpikir semua usahku konyol dan sebaiknya aku berhenti di tengah. Tetapi, aku tidak akan mendengarkannya kali ini. Dia telah membuatku gagal memasuki *Ivy League, aku membencinya setengah mati. Aku tidak mengakuinya sebagai bagian dari aku. Aku meletakkan tanganku di bawah mesin pengering tangan hingga kering. Setelahnya, aku beranjak. Baru tiga langkah, aku mundur kembali. Kacamataku tertinggal. Nah, sekarang sudah.
“Lama sekali!”
Oh, Tuhan! Aku terperanjat dengan seruan yang kuterima ketika baru saja membuka pintu. Pelakunya adalah Leslie Hayes. Dia berdiri begitu dekat denganku, aku mesti menempel di sisi dinding agar wajah kami tetap memiliki jarak. Apa, sih, yang perempuan ini pikirkan? Dia sudah bersuami, astaga! Aku tidak ingin kena tinju. Apa lagi dalam masa berjerawatku ini. Jerawatku ditekan saja sakit, bayangkan jika ditinju. Aku hendak melayangkan makian agar dia menjauh, namun atensiku teralihkan dengan eksistensi botol kecil berwarna putih────salep jerawat?
KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing After Times
RomanceBerbekal tekad bulat dan nekat kuat, Joan Jenkins meninggalkan Connecticut dan merantau ke Los Angeles demi mewujudkan cita-citanya untuk menjadi penulis naskah film termahsyur abad ini. Sayang seribu sayang, nihilnya koneksi antara dia dengan orang...