🧀13, udang saus mentega

34 19 0
                                    

"Assalamualaikum! Dean!"

Detik kemudian pintu langsung terbuka, menampakkan Dean dengan muka bantalnya. Cowok itu tampak mengusak rambutnya yang berantakan dan sekarang semakin tak beraturan.

Dengan kaos putih polos tanpa lengan dan celana pendek rumahan, Dean menghampiri Fani yang tengah mematung di tempat.

"Ngapain lo ke sini?"

Lamunan Fani buyar. Ia terlalu syok melihat penampilan Dean saat ini. Fani menjulurkan tangan, memberikan tupperware berisi makanan yang dibuat oleh Elisa.

"Mama bikin makan siang, tapi kebanyakan." Katanya.

Dean mengambil tupperware itu dari tangan Fani, dengan wajah yang tampak tidak tertarik. "Ini apa?"

"Makanan."

"Iya apa makanannya?"

"Udang saus mentega. Agak pedes dikit." Jawaban Fani kali ini sukses membuat lengkungan pada bibir Dean.

"Hehe, makasih ya. Gue lagi laper banget asli, Bunda gak masak, tadi pagi langsung berangkat gitu aja gak bikin apa-apa." Dean bercerita sembari berjalan masuk kemudian menaruk tupperware itu di atas meja.

"Gue masuk ya." Ujar Fani yang tak dihiraukan oleh Dean. Cowok itu tengah mengembalikan bantal dan guling yang ia pakai untuk tidur di ruang tamu. Sedangkan Fani menyapu pandangannya ke sekitar, rumah Dean tidak banyak yang berubah, hanya terdapat barang-barang baru yang sama sekali tidak tertata rapi di sana.

Tante Ema pasti sangat sibuk sampai tidak sempat untuk membersihkan rumah, sementara itu di hari-hari biasa Dean berangkat pagi untuk kuliah. Namun di hari liburnya sekarang, Dean hanya menghabiskan waktu untuk bermalas-malasan.

"Lo kenapa gak bikin makan sih? Atau beli aja gitu di luar, kan banyak yang jualan." Tanya Fani ketika Dean kembali dari kamar dan berjalan menuju dapur. Kini cowok itu telah mengenakan jaket hitam sebagai luaran kaos oblongnya.

"Gak nafsu makan. Mager juga." Jawab Dean seadanya. "Lo laper gak? Gue mau makan sekarang soalnya." Katanya mengalihkan topik pembicaraan.

Fani menggelengkan kepala. "Lo aja yang makan. Gue udah kenyang."

Dean berjalan ke ruang tamu dengan membawa piring berisi sendok dan juga nasi hangat. Beruntung Elisa memasak dengan porsi lebih dan berinisiatif memberikan kepada tetangganya. Dean sudah terbiasa dengan hal itu. Ia iri sekaligus senang.

Iri karena ia ingin memiliki ibu seperti Elisa. Wanita itu selalu berada di dalam rumah dan mengurus rumahnya dengan baik. Semua keperluan anak-anaknya terurus, dalam rumahnya juga rapi dan bersih, hubungan antara orang tua dan anak juga sangat dekat karena Elisa adalah tipe orang yang banyak bicara dan senang mengobrol tentang hal random.

Sementara itu Dean senang jika ada sesuatu yang ingin diberikan oleh Elisa, Elisa malah menyuruh Fani untuk menghantarkan barang tersebut padanya. Karena jarang sekali Fani berkunjung ke rumah Dean. Sedangkan selama ini Dean-lah yang selalu ke rumah Fani walaupun hanya untuk sekadar mengobrol, melihat kucing, ataupun mengganggu putri bungsu Elisa.

"Lo laper banget ya?" Tanya Fani yang  cuman dibalas anggukan oleh Dean karena kesusahan bicara dengan mulut penuh. "Kucing lo pada ke mana?"

"Di kwamar, lwagi tidwur."

Fani meringis melihat Dean yang berbicara dengan mulut penuh. Sepertinya anak itu memang belum makan sejak kemarin malam.

Cewek itu memeluk bantal sofa, kemudian menenggelamkan wajahnya di sana. Ia mengingat-ingat beberapa hari ke belakang ini Dean sama sekali tidak menganggunya---seperti mengespam chat hingga ponselnya terus bergetar, membuka pintu balkon dengan sembarang, meneriakinya dengan panggilan 'fantat' melalui jendela kamar, kemudian menyelonong masuk ke dalam kamar Fani dan tidur di kasurnya bersama Bubu si kucing.

Entah mengapa ia selalu menanti kehadiran Dean seperti biasa. Tetapi cowok itu sudah beberapa hari tidak datang ke rumahnya semenjak Fani diantar pulang oleh Bagas.

"Dean,"

"Hm?" Balas Dean tanpa melirik ke arah Fani sedikitpun.

"Lo marah ya sama gue?"

"Marah apaan sih? Gak jelas lu fantat."

"Kok lo gak pernah ganggu gue lagi? Dapet hidayah dari mana lu?"

"Pengen gue gangguin? Oke, nanti ya, gue makan dulu."

Fani mendengus kesal. Seharusnya ia tidak mengatakan itu tadi. Ck, sepertinya ia harus pandai-pandai mengatur emosi sekarang.

Dean menaruh piring yang makanannya sudah tak bersisa di atas meja. Ia mengambil botol minum yang biasa ia letakkan di sela-sela sofa.

"Fan, gue mau ngomong sesuatu." Dean meneguk air sebelum ia kembali berbicara, sementara itu Fani hanya menyimak. "Kalo misalkan lo ditembak sama Bagas, jangan diterima."

Kepala Fani yang sedari tertunduk kini mendongak, menatap Dean dengan dahi berkerut. "Kenapa?"

"Gue agak gak percaya sama orang modelan dia. Takutnya dia cuman pengen mainin lu doang."

"Lah, kok elu yang ngatur sih?"

Dean berdecak. "Gak ngatur gue. Ngasih tau aja. Kalo gak percaya yaudah."

Cowok itu menaruh piring bekas makannya ke dapur. Lagi-lagi ia meninggalkan Fani sendiri di ruang tamu dengan perasaan campur aduk.

Fani sendiri hanya terdiam, memikirkan perkataan Dean berulang kali semakin membuatnya tak mengerti apa maksud dan tujuannya melontarkan kalimat itu padanya tadi.

Tak lama kemudian Dean kembali dengan plastik kecil berwarna putih di tangannya, lalu ia melemparkan itu ke arah Fani.

Sontak Fani mengambil plastik tersebut dengan pandangan yang langsung mengarah ke Dean. "Maksudnya?"

"Obat maag. Buat stok di rumah lo." Jawabnya datar tanpa ekspresi. "Makasih makanannya. Lo boleh pulang kok sekarang." Lanjut Dean yang membuat Fani beranjak dari duduknya seraya menghempaskan bantal sofa dengan kasar.

"Ngusir?"

"Hm."

Fani manggut-manggut, lalu ia keluar dari rumah Dean. Tak lupa membawa plastik kecil berwarna putih yang berisi obat maag.

Sedangkan Dean hanya memandangi punggung Fani yang perlahan-lahan menghilang. Ia langsung merebahkan dirinya pada sofa ruang tamu.

Kejadian tadi terus membuatnya terjaga, padahal Dean sudah berniat untuk tidur lagi setelah ini.

"Gue keterlaluan gak ya?"

Tetangga Kok Gitu? || Lee Know [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang