🧀03, mie ayam Pak Ijul

56 19 1
                                    

"Hei, Fan. Lo kok diem aja sih waktu gue ajak ngobrol tadi?" Tanya Dean ketika sampai. Cowok itu tengah merapihkan rambut sambil bercermin di kaca spion setelah ia membuka helm-nya.

"Percuma. Kalo ngobrol di motor cuman kedengeran gubluk-gubluknya doang."

"Hmm.., begitu ya.."

Fani tidak menggubris ucapan Dean lagi. Ia memberikan helm pada Dean kemudian melepaskan jaket bombernya, namun Dean menahan pergerakannya lebih dahulu.

"Apa sih?"

"Jangan dibuka. Pake aja." Dean menuruni motornya.

Jaket bomber itu milik Dean, maka dari itu Fani ingin mengembalikannya. Tetapi Dean malah menyuruhnya untuk tetap memakai jaket itu, padahal ini sudah siang hari dan matahari sedang terik-teriknya.

Fani mendongak, matanya menyipit karena silaunya cahaya. "Tapi kan ini panas. Buat apa pake jaket?" Tanyanya.

Dean menggeleng. Ia menarik tangan Fani dan diseretnya sampai mendekati pintu masuk pasar modern yang ada di depannya.

Dean pun membungkuk hingga mulutnya sejajar dengan telinga Fani. "Baju yang lu pake sekarang warna putih. Gue gak mau tali surga lu keliatan, bodoh!" Tangannya bergerak untuk membuka pintu. "Ayo masuk."

Tahan. Jangan baper.

🧀

Lumayan lama mereka berbelanja. Dikarenakan Dean selalu mengeluh ketika Fani sedang memilih-milih barang belanjaan yang---sepertinya cukup berkualitas.

Cewek kalau belanja memang lama. Tidak kayak cowok yang asal ambil barang walaupun pertama-tama tetap memandang harga.

"Abis ini mau kemana lagi?" Tanya Dean sambil mengambil kantung belanja dari tangan Fani.

"Lah, lo mau kemana emang? Katanya lo mau pergi sebelum Mama ngomong ke lo buat nganterin gue ke pasar." Bukannya menjawab, Fani malah nanya balik ke Dean.

"Gue cuman mau jalan-jalan doang di sekitaran komplek, kali aja ketemu tetangga terus bisa main bareng sama anaknya, gue males nyamper temen."

"Halah. Lo aja tetanggaan sama gue tapi kalo mau ke rumah langsung nyelonong lewat balkon."

Dean menyengir. "Hehe, lo kan bespren gue, Fan. Gapapa lah begitu."

Fani tak lagi membalas. Karena semakin dibalas, jawaban Dean akan semakin melantur. Ia hanya memandangi cowok itu yang tengah mengeluarkan motor dari area parkir setelah mencantolkan kantung belanja milik Fani ke motornya.

"Cari makan yuk, Fan." Ajak Dean yang kini telah duduk di motor sembari memakai helm. "Makanannya di sana aja buat kita berdua. Nanti beli lagi yang dibungkus buat Tante Elisa."

"Bunda lo kagak dibeliin?" Tanya Fani seraya mengambil helm dari tangan Dean.

"Beres itu mah. Bunda ngechat tadi, katanya ada shift terus pulangnya malem. Paling pas Bunda pulang juga bakal beli makanan buat makan malem nanti."

Fani ber-oh-ria sambil manggut-manggut. Kemudian ia menaiki motor ninja milik Dean dengan bantuan tangan dari si pemilik motor. "Ck, tinggi banget motornya. Besok-besok pake motor yang biasa aja napa."

"Iya deh, gue pake motor ini biar keren tau. Lagian motor scoopy-nya lagi dipake Bunda buat ke rumah sakit." Dean melirik Fani dari kaca spion, lalu ia mengulum senyum dari balik helm-nya. "Tujuannya kemana, Mba?" Tanya Dean yang mengcosplay sebagai ojek online.

"Ke mie ayam Pak Ijul aja. Di situ rame, terus makanannya enak."

"Siap, Mba."

🧀

"Wuahh gue baru tau ada tempat kayak gini. Udah murah, enak, porsinya wagelaseh. Sering-sering ya kita ke sini."

"Jangan lebay ah."

Jarang-jarang sekali Fani ke tempat ini. Terakhir kali ia beli mie ayam Pak Ijul ketika masih SMP karena tempatnya memang dekat dengan sekolahnya. Setiap pulang sekolah pasti selalu mampir.

Hahh.., tempat ini membuat Fani kilas balik tentang masa-masa SMP.

"Udah 8 tahun lebih tempat ini gak berubah. Vibesnya masih sama, rasa mie ayam-nya tetep enak, makin rame juga tempatnya." Fani memulai cerita. "Mama suka cerita, katanya waktu gue masih SD gue suka diajak jalan-jalan ke sini. Cuman sekarang udah jarang, Mama lebih suka sibuk di rumah ketimbang aktivitas di luar."

"Namanya juga udah tua, Fan. Tante Elisa juga udah punya cucu sekarang. Orang tua mah gitu, lebih suka ngabisin waktu di rumah karena gak makan banyak tenaga."

Dean melirik Fani sekilas yang masih menyapu pandangan ke sekitar tempat makan. Kemudian ia tersenyum kecil. "Kalo lo mau ke sini lagi, gue bisa kok nganterin sekaligus nemenin. Biar gak keliatan jomblo banget gitu."

"Apaan sih. Pergi sendirian bukan berarti orang itu jomblo ya." Balas Fani dengan wajah tengil.

"Ohh, jadi lo punya pacar nih? Siapa coba yang mau sama lo?"

"Ya kagak sih."

Dean pun menoyor kening Fani karena saking gemasnya pada cewek itu. "Lo bisa nyebelin juga ya ternyata. Tapi sayang, gue gak bisa mukul karena lo cewek. Kalo lo ke gue mah beuh! Gue dijambak, dipukul, dicubit, dicakar segala macem. Nyiksa batin tau gak?"

Fani yang sedang melahap makanannya pun terkekeh, hampir saja tersedak kalau ia tidak berhati-hati. "Iya juga. Kejam banget gue ya."

"Baru nyadar, Mba?"

"Ya maap."

Buru-buru Dean menggunakan akal-akalannya agar suasana tidak berubah menjadi keruh. Ia memiliki seribu kalimat-kalimat konyol di dalam benaknya yang dapat membuat Fani kesal ketika mendengarnya.

Lihat saja.

"Iya gapapa. Kelama-lamaan juga bakal terbiasa. Gue suka kok."

Fani mendongak, menatap Dean dengan tatapan yang sulit diartikan. "Suka kalo gue mukul lo?"

"Bukan. Suka sama orangnya."

"Plis, stop, gue jijik dengernya."

"Ih, beneran tau, Fan."

Tetangga Kok Gitu? || Lee Know [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang