JUMAT malam itu telah larut. Orang-orang sedang terlelap dalam mimpi. Namun, bagi sebagian yang lain, mimpi di malam hari adalah sebuah kemewahan. Termasuk untuk seorang striptease-dancer¹, seperti Ochi. Malam hari adalah saat dimana ia harus mengorbankan mimpi dan menghadapi kenyataan hidup, dengan menanggalkan lembar demi lembar pakaiannya. Demi lembaran-lembaran uang sebagai gantinya.
Malam itu, Ochi sedang melayani panggilan dari Om Broto. Sebagai klien favorit, apa pun permintaan si Om, ia akan berusaha memenuhinya. Termasuk keinginan malam itu. Setiap kali Ochi dapat memuaskannya, si tua keladi itu akan sangat royal memberikan persenan. Itulah yang membuat Ochi menjadikan si Om sebagai klien favoritnya.
Dua hari sebelumnya, Om Broto menelepon Ochi. “Ochi sayang, Om kangen kamu, nih. Lusa kita ketemu di tempat biasa, ya. Nomor kamarnya nanti Om kasih tahu. Oh ya, kali ini Om pengen kamu tampil seperti perempuan Indian.”
“Maaf Om, Indian atau India?”
“Indian. Itu lho... seperti perempuan Suku Indian yang Om lihat sewaktu nonton film sama si Grace, cucu Om.”
“Ooh.. Pocahontas mungkin ya, Om??”
“Nah, iya betul. Pocahontas.”
Sial, pikir Ochi. Ia belum punya kostum perempuan Indian. Dua hari, waktu yang cukup mepet untuk menyelesaikan sebuah kostum. Tidak semua perancang atau penjahit dapat melakukannya. Untungnya, ia memiliki teman seorang perancang busana yang sudah menjadi langganannya, Panca. Ochi pun langsung menelepon laki-laki yang pernah memenangi lomba perancang busana sebuah majalah perempuan terkenal itu.
“Sis, gue butuh kostum baru, nih..” tanpa ba-bi-bu, Ochi langsung menyampaikan maksudnya.
“Kostum apa dulu, nih?”
“Indian Girl. Itu loh.. yang kayak di film Pocahontas. Dua hari mesti kelar ya.”
“Lo emang suka seenaknya, ya. Emangnya lo pikir gue nggak ada kerjaan lain apa??” suaranya terdengar jutek.
“Please, Cinta,” Ochi memelas-melaskan suaranya mengharap belas kasihan dari Panca.
Dan seperti biasa, Panca mengiyakan meski sambil mengomel panjang lebar.
***
Malam itu, dalam balutan kostum seorang perempuan Indian, lengkap dengan penghias kepala dari bulu-bulu ayam, Ochi pun menari di hadapan Om Broto, yang terbaring terlentang di atas tempat tidur dalam balutan kimono. Suara musik menggelegar mengiringi Ochi yang meliuk-liukkan tubuhnya. Om Broto menatapnya seperti anjing kelaparan yang disodorkan tulang iga.Tiba-tiba, suara telepon genggam di dalam tas Ochi berbunyi nyaring. Duh, siapa coba orang iseng yang gabut nelpon tengah malem begini, pikirnya. Ia mengabaikan jeritan teleponnya dan terus menari sambil menanggalkan satu demi satu pakaian yang membalut tubuhnya.
Tetapi, bunyi itu tak kunjung berhenti. Sialan, siapa sih?? Kali ini Ochi mulai khawatir. Siapa pun yang meneleponnya tanpa henti di tengah malam seperti ini, pasti punya kepentingan yang mendesak. Ia semakin sulit berkonsentrasi dan akibatnya, tariannya menjadi kacau.
“Sudah, angkat dulu teleponnya sana!” teriakan jengkel Om Broto berhasil menghentikan tariannya.
“Maaf, Om. Saya lupa silent HP tadi,” jawab Ochi sambil tergopoh-gopoh merogoh ke dalam tas mencari telepon genggam sialan itu. Sambil setengah berlari ke arah kamar mandi, ia menekan OK dan menempelkan ponselnya ke telinga. Belum sempat berkata ‘Halo’, dari seberang sana sudah terdengar suara panik Adriana.
![](https://img.wattpad.com/cover/276057473-288-k383376.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Seperti Takdir Kita Yang Tulis
RomanceAdriana yang hampir yakin tidak akan pernah bertemu lagi dengan Bari -mantan kekasihnya semasa sekolah menengah atas dulu, justru secara tidak sengaja, malah kembali bertatap muka lewat sebuah kejadian yang tak terduga. Seperti takdir mereka yang tu...