II. Satu Malam Mengubah Segalanya.

33 1 0
                                    


    HARI menjelang malam. Marsha berdiri tertegun di depan lemari pakaiannya. Di hadapannya, tersusun berbagai kaos dan tank top yang seluruhnya berwarna putih. Di bagian lain lemarinya, gaun-gaun berbagai model berbaris rapi. Semuanya juga berwarna putih. Tak ada warna lain.

    Duh.. pakai baju yang mana ya, pikirnya.

    Tiba-tiba, terdengar suara pintu kamar diketuk dan dari balik pintu, tampak ibunya melongokkan kepala.

    “Makan dulu ya, Mama udah siapin.”

    “Nggak akan keburu, Ma. Sebentar lagi kan Bari jemput. Marsha nggak mau kalau nanti Bari jadi kelamaan nunggu.”

    “Loh, kamu sendiri ini belum siap?”

    “Abisnya Bari juga belum bilang mau ajak Marsha kemana. Katanya sih, Bari mau bikin kejutan. Marsha jadi bingung deh mau pakai baju apa..”

    “Kalau gitu biar Mama bantu pilihin, ya.” kata Ibunya sambil masuk ke dalam kamar dan menghampiri putrinya yang masih termangu di depan lemari.
    “Mama baru sadar.. baju-baju kamu warnanya putih semua ya, Sha..”

    “Tapi kan modelnya beda-beda, Ma.”

    “Dulu kamu suka banget sama warna lilac. Sekarang, kok satu pun nggak ada?”

    Marsha terdiam.

    “Ini pasti gara-gara Bari suka warna putih, ya?” suara Ibunya terdengar menuduh. Marsha tetap diam.
    “Sayang... Mama suka sama Bari, dia anak yang baik dan nggak pernah neko-neko. Tapi kan nggak seharusnya kamu jadi kehilangan kepribadian cuma karena kamu pacaran sama dia.”

    “Tapi kan, Ma.. nggak ada salahnya kan kalau kita berusaha untuk menyenangkan orang yang kita sayang??” Marsha membela sang kekasih.

    “Ya memang nggak salah. Tapi, kamu ini kan belum jadi istrinya dia, Sha. Masa perihal warna baju saja sudah diatur-atur begitu.”

    “Semua baju-baju ini pilihan Marsha sendiri kok, Ma. Bari nggak pernah ada maksa Marsha sedikit pun.”

    Ibunya hanya mengangkat bahu kemudian pergi meninggalkan kamar Marsha. Marsha melihat ke arah jam dinding di kamarnya, pukul tujuh kurang lima belas menit. Pukul tujuh tepat, Bari akan datang menjemputnya.
    Pakai baju yang mana, ya??

***


    Bari sudah terdiam dalam mobilnya yang telah diparkir di depan rumah Marsha sejak lima belas menit yang lalu. Ia masih belum mau masuk. Toh, ia masih punya waktu. Ia ingin menggunakan waktu yang tersisa untuk mengulang skenario yang akan dimainkannya malam ini. Ia tidak ingin membuat kesalahan. Ia ingin menjadikan malam ini sempurna. Untuk seorang perempuan yang sempurna.

    Bagi Bari, Marsha memang seorang perempuan yang sempurna. Cantik, cerdas, lembut dan sangat mencintainya. Lima tahun sudah mereka berhubungan dekat, dan Bari hampir tidak menemukan kekurangan berarti dari Marsha.

    Lima tahun.., kenangnya. Begitu cepat waktu berlalu. Rasanya, baru kemarin ia berkenalan dengan Marsha untuk pertama kalinya. Waktu itu, ia masih berstatus mahasiswa baru di fakultas seni rupa di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Sedangkan Marsha adalah asisten dosen salah satu mata kuliah yang diambilnya. Entah mengapa, walaupun Bari tergolong mahasiswa cerdas, ia tidak lulus mata kuliah yang diajar Marsha pada semester pertama. Untunglah, mata kuliah itu diulang di semester pendek yang diadakan pada saat liburan, sehingga ia dapat langsung mengulangnya.

    Sejak saat itu, ia dekat dengan Marsha, sang asdos. Ia merasa perhatian Marsha kepadanya jauh lebih besar dibandingkan kepada mahasiswa-mahasiswa lain yang juga ikut mengulang mata kuliah itu. Marsha sering membantunya belajar.

Seperti Takdir Kita Yang TulisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang