#1 Lamaran Berduri

201 15 8
                                    

Suara dering telepon yang cukup keras mengusik perempuan yang masih enggan untuk bangun itu. Beberapa panggilan pertama tidak dihiraukan olehnya. Hingga pada panggilan yang membuat telinganya tidak ingin lagi mendengar nada dering teleponnya, perempuan itu langsung menekan tombol hijau begitu menemukan ponselnya.

"Rara!" teriak seseorang di seberang telepon yang membuat pemilik nama menjauhkan ponsel dari telinganya.

"Rara!" ucap seseorang itu lagi dengan volume yang kurang lebih sama.

"Harus banget ya, lo teriak gitu?"

"Lo jam segini baru bangun?" tanya seseorang itu yang justru tidak menjawab pertanyaan Rara.

"Ada apaan? Pagi-pagi udah nelpon gue."

"Pagi lo bilang? Ini udah mau tengah hari."

"Lo, gue tanya dari tadi bukannya jawab malah balik tanya terus sih."

Padahal dirinya sendiri juga begitu pada orang di telepon itu.

"Lo juga-"

"Inti, lo kenapa telpon gue?" potong Rara cepat. Sebab, dia tahu orang itu akan mengatakan kalimat yang kemungkinan besar akan sama dengan yang diucapkannya tadi.

"Kak Rangga-"

"Kak Rangga kenapa?!" tanya Rara antusias. Bisa kalian pastikan, nyawanya sekarang sudah terkumpul sempurna.

"Dasar! Giliran ada sangkut-pautnya sama dia, lo langsung antusias."

"Hehe, lo tau kan..."

"Dia tadi minta foto dokumentasi kegiatan bakti sosial di panti asuhan Lembayung. Katanya butuh buat arsip kegiatan BEM bulan kemarin," jelas Acha‒orang yang sedang berbicara via telepon sekaligus sahabat Rara di masa kuliah ini.

"Bukannya udah gue kasih sewaktu buat LPJ, ya?"

"Mau modus sekalian mungkin, biar bisa chatingan sama lo."

"Bisa aja lo bikin gue seneng. Bentar deh, gue cek kamera dulu."

Rara menekan tombol pengeras suara, lalu menaruh ponselnya di kasur. Dia berdiri dari posisi duduknya. Berjalan mendekati lemari penyimpanan di dekat meja belajarnya.

"Hilal!!" teriak Rara saat tidak melihat kamera kesayangannya di lemari.

"Kenapa, Ra?!" tanya Acha begitu mendengar teriakan perempuan itu.

Namun, Rara tidak menggubris pertanyaan Acha. Justru perempuan itu langsung keluar kamarnya, mencari mamanya. Karena jika dirinya mencari Hilal, tidak ada gunanya. Laki-laki itu pasti sedang keluar jika kamera kesayangannya menghilang.

"Ma, kenapa Hilal bawa kamera Rara malah dibiarin sih?"

"Lho, tadi katanya udah ijin sama kamu."

"Setan emang itu bocah," ucap Rara lirih.

"Rara, ucapannya yang baik-baik," tegur Lita‒mama Rara yang masih bisa mendengar ucapan anaknya meski sedang sibuk memasak.

"Habisnya kesel banget sama Hilal. Bawa kamera gak pernah ijin."

"Bi Sulis kalau jadi aku pasti juga bakal marah, kan? Iya, kan? Pastinya," ucap Rara panjang meminta dukungan Bi Sulis‒asisten rumah tangga yang diminta datang seminggu sekali atau ketika ada acara besar di rumah mereka.

"Mas Hilal adeknya sendiri, lho, Mbak."

"Tapi, dia gak ada baik-baiknya jadi adek, Bi."

"Nanti juga dikembalikan. Sekarang, mending kamu mandi atau bantuin Mama masak aja," ucap Lita mengalihkan pembicaraan. Jika tidak begitu, Rara bisa menjelekkan adik satu-satunya itu dalam waktu yang lama.

THE PERFECT LECTURERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang