Lice and Dog

635 60 96
                                    

Bagi Choi Seungcheol, Lee Jihoon bagaikan hama kutu kasur yang tidak dapat diprediksi dan terdeteksi. Tahu-tahu sekujur tubuh sudah ruam dan gatal-gatal saja.

Kecil namun berdampak besar, dan mengejutkannya menggemaskan.

Namun Seungcheol tidak akan membiarkan Jihoon mengetahui peniliannya yang terakhir tentang pemuda itu karena Jihoon bisa bermutasi dari kutu kasur menjadi kecoa pemakan daging (jika spesies itu ada di dunia ini) jika pemuda itu mendengarnya.

Seungcheol tidak mau dimakan kecoa, terutama yang menggemaskan.

Bagi Lee Jihoon, Choi Seungcheol adalah musibah raksasa yang berjalan, hidup dan memiliki wajah yang mengesalkannya tampan. Itu kata orang-orang, Jihoon pribadi tidak sudi melihat wajah itu. Seungcheol tak lebih hanya anjing gila yang tidak bisa berhenti menggonggong karena, yah ... dia gila, memangnya kenapa lagi.

Dan bagi mereka, adalah sebuah kesialan absulut bahwa mereka harus hidup berdampingan di semesta ini.

Sungguh Sial.

Semua ini bermula saat sebuah keluarga kecil nan harmonis beranggotakan ayah, ibu, seorang anak laki-laki berusia tiga tahun dan seorang bayi laki-laki berusia dua bulan--yang kita kenal sebagai Choi Seungcheol, atau anjing gila bagi Lee Jihoon--, yang berasal dari Daegu memutuskan untuk pindah ke Seoul, karena sang ayah mendapatkan promosi untuk menjadi wakil direktur di kantor utama perusahaan tempatnya bekerja, ke sebuah hunian apartemen yang nyaman dan kondusif, dengan para penghuni yang hangat.

bersamaan dengan itu dua orang yang merupakan pasangan muda suami istri yang belum genap satu tahun menikah membeli tempat tinggal pertama mereka di apartemen yang sama, dan di lantai yang sama. Sang suami merupakan dosen muda di universitas seni terkemuka, sedangkan sang istri yang sedang mengandung 8 bulan adalah seorang perawat. keduanya berasal dari Busan.

Segera, tidak butuh banyak alasan bagi kedua keluarga itu untuk menjalin kedekatan. hanya perlu kebetulan kecil, ketertarikan ayah Seungcheol terhadap aksen busan dan kepercayaan ibu seungcheol terhadap takdir.

Satu bulan kemudian seorang bayi laki-laki dengan pipi bulat, kulit seputih susu, mata sipit dan hidung yang menggemaskan (yang kita kenal sebagai Lee Jihoon, atau kutu kasur bagi Choi Seungcheol) lahir ke dunia berpopulasi lebih dari 5 miliar orang saat itu.

Entah ide siapa, tapi salah satu dari dua ibu itu berpikir bahwa alangkah menggemaskannya jika kedua putra mereka yang sepantaran bisa terus bermain bersama. dan pada kenyataanya mereka memegang prinsip itu kelewat erat.

Mulai dari TK hingga sekarang mereka SMA, Jihoon dan Seungcheol selalu berada di sekolah yang sama.

Baik, itu memang masih masuk akal mengingat sekolah-sekolah itu relatif dekat dengan rumah mereka dan pada dasarnya mereka adalah tetangga, wajar bila mereka satu sekolah. tapi satu kelas? selama 12 tahun? ide gila siapa itu?

Jujur, dalam ingatan Seungcheol pertemanannya dengan Jihoon terasa normal, sampai suatu kali Jihoon mulai minggigit. Seungcheol pun tidak bisa ingat kapan tepatnya itu.

Sedangkan bagi Jihoon tidak pernah ada kata pertemanan di antara mereka. Jihoon sudah tidak menyukai pemuda itu selama yang otaknya bisa ingat, seumur hidupnya. Sejak mereka masih bayi Jihoon sudah benci bagaimana Seungcheol selalu mengalihkan perhatian semua orang darinya dengan suara tangisannya yang lebih lantang dan ocehan bayi tidak jelasnya yang tidak berbobot. benar, Seungcheol memang sudah pandai membual sejak dini.

Malah mungkin sejak Jihoon masih berada di perut ibunya. Jihoon ingat ibu Seungcheol pernah bercerita kalau Jihoon selalu menendang setiap Seungcheol tertawa atau menangis. Anehnya kedua ibu justru menarik kesimpulan yang berbanding terbalik dengan nalar Jihoon, bahwa itu karena Jihoon menyukai Seungcheol, padahal jelas karena suara Seungcheol menganggu tumbuh kembangnya semasa masih menjadi embrio.

Silly Thing Called SoulmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang