Mungkin memang bodoh berpikir bahwa mereka berjodoh. Tidak mungkin Seungcheol berjodoh dengan seseorang yang berkemungkinan besar menjadi pendiri laman Facebook dengan nama Club Rahasia Anti-CSC, Jihoon juga merupakan satu-satunya orang di dunia ini yang mampu membuat 1001 sebutan hina, dan merangkai ribuan frasa hanya untuk mengoloknya seorang.
Jodoh macam apa itu? Tidak mungkin.
Dan tidak mungkin juga Seungcheol bisa berhenti memikirkan Jihoon.
Itu lah yang Seungcheol tidak mengerti. Jika Jihoon bukanlah belahan jiwanya, kenapa dia tidak bisa menghilangkan bayangan Jihoon dari angan-angannya. Jihoon ada di mana-mana, dalam artian yang sesungguhnya. Pemuda itu ada di sekolah, kelas, dan di koridor apartemennya. Tapi itu saja belum cukup bagi Seungcheol, dia mulai melihat Jihoon bahkan saat dia menutup mata. Jihoon ada di dalam mimpinya, tidak perlu dijelaskan lebih detail mimpi macam apa, seolah Jihoon benar-benar tinggal di dalam tempurung kepalanya.
Seungcheol merasa dia bisa gila. Jika sekali lagi saja dia mendengar nama Jihoon disebut-sebut Seungcheol merasa dia benar-benar akan membenturkan kepalanya.
"Apa yang terjadi dengan Jihoon?"
Buk!
Seungcheol menjatuhkan kepalanya, menghantamkan jidatnya ke meja makan.
Meja makan bergetar, begitupun sereal-sereal dalam mangkuk.
Kakaknya yang sedang menikmati sarapan di sampingnya memukul tengkuk Seungcheol. "Kau kenapa?" Tanyanya.
Nyonya Choi yang sedang mencuci piring dan tidak memperhatikan lanjut berkata. "Eomma jarang melihatnya di luar rumah sekarang. Saat eomma mencoba mengajaknya keluar dia juga selalu menolak. Apa dia baik-baik saja? Apa sesuatu terjadi di sekolah?"
Perhatian Ibunya pada Jihoon memang tidak perlu dipertanyakan. Ketika Seungcheol dan Jihoon masih kecil dan gemar bermain bersama, masa-masa menyenangkan dimana Jihoon belum mampu mengekspresikan kebencian terhadapnya dengan baik, kapanpun salah satu di antara mereka menangis ibunya akan langsung bertanya pada Jihoon, apakah bocah itu terluka, apakah sesuatu menyakitinya, bahkan saat Seungcheol yang menangis.
Sekalipun kepala Seungcheol terjebak di antara sela-sela besi railing, hal pertama yang ibunya lakukan adalah menjauhkan Jihoon dari TKP, memastikannya aman, kemudian baru mengeluarkan putra kandungnya sendiri dari moment paling traumatis dalam hidupnya.
Meskipun begitu Seungcheol tidak pernah kesal atau iri pada bocah itu karena menyita seluruh perhatian ibunya, malahan Seungcheol senang karena ibunya punya berbagai macam cara untuk membuat Jihoon mau bermain dengannya.
Barulah ketika Jihoon mulai beranjak dewasa dia mulai tahu caranya menghindari ajakan ibunya, mereka berhenti bermain bersama, bahkan berhenti berteman (tunggu, pernahkah mereka berteman?), ibunya pun tidak lagi bisa seenaknya menggendong Jihoon untuk dibawa ke rumah. Jadilah hubungan mereka seperti sekarang.
Namun walaupun Jihoon berhenti berteman dengannya, ibunya tidak pernah berhenti mencurahkan perhatian bagi anak tetangga sebelah itu.
Selalu ada slot yang disisihkan di hati ibunya untuk Jihoon. Seungcheol bahkan yakin kalau slot itu lebih besar daripada miliknya ataupun kakaknya.
Dibandingkan kedua anaknya wanita itu selalu lebih memilih Jihoon untuk diajak bepergian. Tak ayal tingkah aneh Jihoon akhir-akhir ini tidak hanya membuat Seungcheol bingung, tetapi juga ibunya.
"Tidak." Gumam Seungcheol masih dengan kepala di atas meja.
Sebenarnya Seungcheol pun tidak tahu apa yang terjadi pada Jihoon. Beberapa bulan telah berlalu sejak Seungcheol menyatakan perasaannya pada pemuda itu tetapi Jihoon terus konsisten bertingkah aneh (menghindarinya dihitung sebagai tingkah aneh).
KAMU SEDANG MEMBACA
Silly Thing Called Soulmate
FanfictionBagi Choi Seungcheol, Lee Jihoon bagaikan hama kutu kasur yang tidak dapat diprediksi dan terdeteksi. Bagi Lee Jihoon, Choi Seungcheol adalah musibah raksasa yang berjalan, hidup dan memiliki wajah yang mengesalkannya tampan. Dan bagi mereka, adala...