"Jihoon, sayang, bagaimana?" Suara ibu Jihoon terdengar dari luar kamar mandi, penuh ketidak sabaran.
Jihoon tersentak kaget. menurunkan kembali lengan bajunya.
sudah hampir satu jam Jihoon berada di dalam kamar mandi. Hari ini adalah ulang tahun Jihoon, dan bukan ulang tahun biasa, ini adalah ulang tahun ke-tujuh belasnya. Seperti kebanyakan orang, Jihoon telah menunggu momen ini seumur hidupnya. Momen dimana dia akan mengetahui siapa orang yang akan menghabiskan sisa hidup bersamanya.
Namun saat hari ini datang, Jihoon justru tidak terlalu puas dengan hasilnya. Tidak terlalu puas merupakan kata yang terlalu sopan untuk mengungkapkan perasaan Jihoon yang sesungguhnya, karena sejatinya dia dongkol, geram, tidak percaya, ingin teriak dan ingin menenggak sebotol pembersih toilet hingga meninggal agar dia bisa memprotes langsung di hadapan Tuhan, kenapa dia menaruh lelucon mengerikan semacam ini dalam jalan hidup Jihoon.
"Tidak ada." Jihoon terpaksa berbohong.
"sudah coba cek di bawah kakimu? atau barangkali di belakang telinga." Suara ayahnya terdengar tak kalah khawatir.
"tidak ada."
Jihoon tidak pernah berbohong, setidaknya pada orang tuanya. Toh tidak perlu juga karena dia selalu menjadi anak teladan yang selalu menurut apa kata orang tua, nilai nya selalu bagus, dia tidak pernah bolos kursus, tekun mengerjakan PR, rajin makan sayuran, dan masakan ibunya selalu enak. Dengan kata lain tidak ada alasan untuk berbohong.
sekonyong-konyong dia harus berbohong sekarang. Jihoon pun tidak percaya hal pertama yang membuatnya berbohong justru adalah tato-nya.
"biarkan eomma masuk, ya?" Ibunya sudah masuk ke kamar mandi bahkan sebelum Jihoon sempat menyiapkan kebohongan lain untuk menolaknya. "mana coba eomma lihat."
Piama Jihoon dinaikan. Sementara ibunya mengecek punggungnya, bulir-bulir keringat sebesar jagung mulai mengalir di pelipis Jihoon. Secara insting Jihoon menggigit bibir bagian bawahnya, takut-takut mulutnya yang tidak biasa berbohong mengungkapkan kejujuran dengan sendirinya.
Suara di dalam kepalanya merapal doa supaya ibunya tidak menemukan dimana tato-nya berada.
"Aw." Jihoon mengaduh ketika kepalanya didorong paksa untuk merunduk.
Jihoon bisa merasakan tangan ibunya meniti garis kepalanya dengan seksama.
Jihoon tidak pernah tahu ada orang yang mendapatkan tato-nya di sana, tapi alangkah baiknya dia tidak berkomentar tentang itu karena dia sedang berbohong.
Ibunya berhenti untuk menghela napas. Dia menatap pantulan Jihoon di cermin. Prihatin, hanya itu yang tergambar di matanya yang nampak sayu.
Namun segera, mata wanita itu mendelik menyadari sesuatu.
"Mungkin disini!"
Dengan sekali sentak celana Jihoon sudah melorot hingga dengkul.
"Eomma!"
***
Sarapan mereka pagi itu terasa begitu sepi dan canggung. Suara yang datang hanya berasal dari dentingan alat-alat makan yang beradu.
Jihoon bisa merasakan tatapan ayah dan ibunya silih berganti berlomba-lomba mengirimkan rasa simpatik.
"Tidak apa-apa, nak." Ayahnya membuka suara. Memecahkan suasana, yang menurut Jihoon malah lebih buruk daripada keterdiaman tadi. "Tato pamanmu juga baru muncul saat umurnya sembilan belas tahun, benar kan sayang?"
"Iya," Ibunya mengkonfirmasi. "Tidak apa-apa."
Tidak. Ini sangat apa-apa sebab Jihoon berbohong. Jihoon telah berbohong tentang tato-nya dan dia tidak tahu sampai kapan harus berbohong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silly Thing Called Soulmate
FanficBagi Choi Seungcheol, Lee Jihoon bagaikan hama kutu kasur yang tidak dapat diprediksi dan terdeteksi. Bagi Lee Jihoon, Choi Seungcheol adalah musibah raksasa yang berjalan, hidup dan memiliki wajah yang mengesalkannya tampan. Dan bagi mereka, adala...