Sudah seminggu sejak insiden sore itu Qian belum juga memanggil Nicho untuk bercerita. Bukannya tidak mau, hanya saja jadwal membuat ia belum dapat meluangkan waktu untuk menjadi pendengar yang baik. Tapi untuk hari, ia akan menyempatkan dirinya, bukan hanya untuk Nicho. Tapi juga beberapa anak binaannya.
Jam pelajaran yang masih berlangsung menambah kesunyian ruang perpustakaan yang hanya diisi oleh orang administrasi. Dua gadis berambut panjang menghampiri Qian yang tengah duduk seorang diri di salah satu meja panjang. Qian menghela napas melihat penampilan dua gadis yang kini sudah berdiri di hadapannya. Kemeja atasan yang di crop dengan rok span abu-abu menggantung super ketat yang sengaja dirobek di bagian belakang.
"Haduh Neng, cantik, geulis. Sebenernya Ibu tuh segan negur kalian cuma karena seragam. Tapi sebelum sampe ke Bu Budi, terus nanti malah Ibu yang ditegur beliau, mendingan kalian ganti deh tuh seragam, yang gedean dikit kenapa sih. Gak sesak apa kalian?" Protes Qian yang sesungguhnya tidak terlalu ia pedulikan, mengingat dua muridnya ini bak cerminan masa lalunya yang tidak mungkin ia ungkapkan dengan gamblang. Dirinya hanya tidak ingin nama baiknya tercoreng lagi oleh para kesiswaan akibat tingkah laku anak-anak kelasnya. Apalagi akhir-akhir ini anak kelas sebelas banyak sekali terjerat kasus, terutama para murid jurusan IPS dan nama Qian menjadi salah satu wali kelas yang tidak jarang dikumandangkan di ruang guru.
"Bukannya gak mau Ibu Qian tercinta. Masalahnya seragam saya udah begini semua ukurannya."
"Sama, Bu."
Otak Qian berputar mencari jalan keluar setelah mendengar jawaban dua bocah itu. Merepotkan.
"Gini aja. Setiap jam Bu Budi dan Ma'am Lena kalian jangan datang telat, jangan buat ulah, kalau ada seragam ganti silakan dipakai, seenggaknya pas jam pelajaran beliau. Kalau gak ada, yasudah semoga kalian beruntung. Jika rok kalian dirobek sampai paha, Ibu tidak tanggung jawab." Panjang Qian yang dijawab anggukan oleh mereka.
Untuk saat ini, jalan keluar Qian-lah yang terbaik. Para bocah itu harus datang setidaknya lima belas menit sebelum bel masuk jika tidak ingin bertemu dengan para kesiswaan yang berbaris di depan pintu gerbang. Menuruti apa yang ditugaskan oleh dua guru bahasa itu dan yang terakhir, menanggung semua akibatnya sendiri jika suatu saat keberuntungan sedang tidak di pihak mereka.
"Tenang aja, Bu. Bu Budi sama Ma'am Lena mah gampang, kita bisa ngurusnya," ucap salah satu murid sedikit takabur.
"Terserah kalian, lah. Sudah sana kembali lagi ke kelas, panggil yang lain ke sini. Jangan melipir dulu." Titah Qian yang tahu tingkah muridnya yang kemungkinan akan berakhir di kantin. Tidak bisa terjadi, jika tertangkap basah. Namanya akan kembali diproklamasikan.
"Sumpah ini mah gak lama, Bu. Lima menit doang abis itu balik kelas," mohon satu salah satu dari mereka yang disetujui kawannya.
"Panggil teman kalian, bawa ke sini." Titah Qian tak menggubris omongan muridnya.
Jika sedang menghadapi anak-anaknya Qian harus banyak bersabar dan beristigfar. Tak jarang dirinya berargumentasi karena peraturan-peraturan sekolah. Anak-anak muda itu senang sekali membantah. Ada saja balasan untuk menjawab omongan Qian. Jika seperti itu, Qian tidak ingin terpancing emosi. Marah pun tidak akan merubah masa pubertas mereka. Qian meyakini bahwa akan ada waktunya mereka dewasa.
Todak lama setelah kepergian dua murid tadi. Muncul lima anak laki-laki dengan celana abu-abu pensil. Qian yakin, celana itu akan robek jika sedikit saja mereka melemparkan tendangan ke langit.
"Ibu Qian cantik, kita kenapa dipanggil Bu? Kayanya kita gak melakukan salah apa-apa?" serobot Nicho yang menjadi salah satu bagian.
"Gak salah apanya. Setiap pagi Ibu lihat kalian operasi semut mulu kerjaannya." Protes Qian.
"Loh bagus dong, Bu. Jagoan-jagoan Ibu ini rajin. Coba lihat murid lain? Mana mau? Kita doang, Bu." Jawab Dimas membantu kawannya.
"Ohhh gitu, yaudah nanti saya bilang Pak Maksum kalau besok kalian mau bersihin toilet juga." Ucap Qian yang lagi-lagi diprotes. Mereka tidak terima dengan keputusan gurunya tersebut. "Loh, katanya jagoan-jagoan Ibu ini rajin, gimana sih?" Goda Qian.
"Ya enggak gitu juga dong, Bu." Tolak Nicho mewakili kawanannya. Masa mereka harus bersihin toilet juga setiap terlambat.
"Ya makanya jangan terlambat lagi. Saya bosan mendengar update poin kalian dari guru-guru piket. Nama kalian lagi-nama kalian lagi."
"Kami lebih baik operasi semut sampai bel pulang deh, Bu."
"Itu sih maunya kalian. Lagipula saya tahu kalian cuma duduk-duduk aja kan kalau operasi semut. Toh halaman sekolah selalu bersih," tebak Qian yang benar seratus persen. Dirinya memang lebih vokal terhadap murid laki-laki daripada anak-anak gadisnya yang selalu bawa perasaan.
"Nah, itu Ibu tahu," ucap bocah berambut cepak dengan bangga.
"Sekali lagi kalian terlambat, Ibu tidak akan menyelamatkan jika BK memanggil kalian lagi." Ancam Qian yang sepertinya berpengaruh pada lima bocah itu. Jelas saja, manusia-manusia tamu langganan ruang BK itu berhutang budi pada Qian yang selalu menjadi malaikat penolong saat surat peringatan hampir diserahkan pada orang tua.
"Jangan gitu dong, Bu. Iya kita gak terlambat lagi, seriusan dah." ucap salah satu dari mereka.
Qian membubarkan anak muridnya setelah mereka menyerah. Tinggal dilihat saja eksekusi besok, apakah bocah-bocah itu terlambat atau tidak. "Ke kelas bukan ngerokok di toilet," tebak Qian yang benar kesekian kali. Bukan tanpa alasan Qian bicara begitu. Ia hanya membuktikan kelakuan-kelakuan anak masa SMA-nya yang ternyata masih terjadi hingga kini. "Untuk Nicho kamu tetap di sini." Titah Qian saat Nicho juga ikut berbalik.
"Wahhh, ada apa nih Ibu mau berduaan sama saya." Goda bocah itu duduk di seberang Qian.
Topik dibuka. Wajah Nicho berubah masam saat ia tahu bahwa gurunya ingin mencari informasi tentang keluarganya. Bukannya tidak mau bercerita, hanya saja ia terlalu enggan untuk mengingat wajah kedua orang tuanya.
"Ck, saya males ceritanya ah, Bu. Mood saya lagi bagus nih, entar ancur Ibu tanggung jawab, loh." Tolak Nicho dengan nada merajuk.
"Terus cara Ibu nolong kamu gimana, kalau kamu saja gak mau cerita sama, Ibu?"
"Bukannya gak mau, Bu. Cuma timing-nya aja gak pas."
Qian mengangguk. Ia tidak memaksa, daripada anak itu uring-uringan malah lebih repot nanti. "Gini aja, kalau kamu butuh Ibu, apapun itu. Hubungi Ibu dulu, jangan bertindak yang enggak-enggak."
"Tapi Ibu jangan cepu ke Om Gi ya kalau saya cerita ke Ibu. Nanti Ibu bocor lagi," tuding Nicho yang sedikit mencurigai Qian.
"Iya, enggak. Ya sudah kamu balik lagi sekarang ke kelas, sudah mau jam istirahat." Perintah Qian ingin segera menyudahi obrolan dan permainan drama para anak remajanya, terutama anak di hadapannya ini.
"Ah tanggung, Bu. Saya tunggu di sini ajalah sampe bel istirahat," tolak Nicho sambil merenggangkan ototnya dengan merentangkan kedua tangan ke udara.
"Terserah kamu. Ibu mau kembali ke ruang guru." Jawab Qian yang tidak mau ambil pusing lagi.
Barusaja Qian berniat pergi kalau saja anak super konyol itu tidak melontarkan sebuah kalimat. "Bu, saya tinggal sama Ibu aja, lah."
"Heh, ini anak kalau ngomong kok ngawur banget."
Satu pukulan mendarat di pundak Nicho karena tingkahnya. Tapi anak laki-laki itu hanya tertawa dengan ekor mata yang mengikuti objek berhijab yang sudah hilang di balik pintu.
***
TO BE CONTINUEDTerima kasih ya bagi yang sudah melakukan timbal balik pada cerita ini🌼🌼🌼
KAMU SEDANG MEMBACA
[bukan] Rama & Sita || Min Yoongi
FanfictionBukan kisah cinta dadakan seorang CEO tampan dengan mahasiswa akhir. Apalagi kisah cinta monyet Si Ketua Osis cantik dengan siswa berandal. Di sini hanya ada perjalanan kisah romantis yang terjalin oleh Ibu Guru dengan seorang pria kaku yang hanya...