Part 1 | Suramness

15K 1.8K 323
                                    

"With Luv, Ana" merupakan prekuel dari The Devil Boss.

Kamu bisa langsung baca cerita ini atau monggo mampir ke TDB dulu. "With Luv, Ana" adalah awal kenapa ada cerita The Devil Boss di muka bumi. Bisa dibaca terpisah.

With Luv, Ana = Zaman rakyat jelata (cocok banget buat kamu yang bosen miskin mulu. Deo dan Ana bakal bagi-bagi mindset keuangan mereka, jadi kamu bisa dapet tips gratis biar enggak melarat to the bone lagi).

The Devil Boss = Zaman udah kaya raya tapi belum stabil juga hidupnya.

Selamat membaca :)








____________________________________

"Money can't buy you happiness."

Kalau gitu, kasih aja ke gue. Yang banyak biar suramness gue hilang.

____________________________________







JADI orang dewasa itu menyenangkan. Mau ke empang, kota sebelah, kerja atau ke mana-mana tidak ada yang melarang. Saat problema datang menerjang, bebas menentukan resolusi masalah tanpa campur tangan orang-orang. Mau tidur seharian atau begadang juga silakan.

Halah, pokoknya jadi dewasa itu jauh lebih enak ketimbang status bocil yang boker saja masih menebeng orang tua.

Realitasnya... tidak.

Mana ada rutinitas meratapi isi dompet yang paceklik gara-gara tengsin meminta uang pada orang tua disebut menyenangkan? Mana ada kegiatan mondar-mandir dengan pikiran ruwet saat menghadapi masalah sendirian dikatakan kebahagiaan? Mana ada kepusingan membayar tagihan pulsa, listrik, belanja bulanan, skincare dibilang menggembirakan?

Dewasa itu menyenangkan? Menyenangkan ndasmu!

"Ya Tuhan, gelundungkanlah uang satu miliar dari langit supaya hamba bisa makan kaviarnya Sista Kohl. Hamba capek miskin dan dihina-hina mulu, Tuhan."

Sudah diputuskan bahwa target pencapaiannya tahun ini adalah berpenghasilan satu miliar setahun. Ia bahkan sesumbar bisa mencetak nominal lebih dari itu tanpa berpikir dirinya wajib ngepet. Tessa Ariananda memang jagonya ngehoaks sebelum berpikir masak-masak.

"Gue lagi mabok kayaknya pas ngucapin itu. Aih, tapi omongan mana bisa ditarik!"

Ana mengentakkan kaki. Udara panas Kota Jakarta merupakan konsekuensi pertama yang harus dilakoninya. Mobil-mobil dan motor menguasai jalanan bak bidak-bidak perkotaan. Lengkingan klakson berlomba-lomba menjadi simfoni pengawal hari yang sempurna.

Sempurna untuk meratapi mulut embernya, maksudnya. Selain mantan, tuturan yang telah dikeluarkan manusia kan tidak bisa diubah begitu saja.

"Mau ke mana, Mbak?"

Delapan menit duduk linglung di bangku tunggu halte, seseorang menyapa. Rapalan gerutuan Ana seketika banting setir ke analisis.

Penampilan sosok itu rapi dengan jaket kulit hitam. Tubuh tinggi, gaya trendi, dan senyum yang enak dipandang. Terlalu rupawan untuk ukuran orang iseng belaka.

Selama sedetakan jantung, Ana tidak tahu harus merespons apa.

"Mbak kelihatan celingak-celinguk terus dari tadi. Enggak naik-naik ke bus pula. Pendatang baru, ya, Mbak?"

Ana meringis malu. Kelihatan sekali, ya? "Iya, saya mau ke Sudirman Central Business District tapi bingung naik bus apa."

Kata Satria, dari Stasiun Tebet naik commuter line jurusan Tanah Abang. Ana menurut karena biarpun tengil dan mirip simpanse, kakaknya itu tidak akan tega menyesatkan adiknya. Sialnya, Ana mendadak pikun usai dihadapkan pada keramaian di Stasiun Sudirman. Mau telepon kakaknya lagi, yang ada nanti dibombardir nyinyiran. Ujung-ujungnya terdampar di Halte Dukuh Atas Satu dalam keadaan pusing tidak terkira pun tak dapat terelakkan.

With Luv, Ana [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang