ingkar janji?

15 0 0
                                    

happy reading

.

ARA'S POV.

Tangisanku sudah mereda dari setengah jam lalu. Tetapi pikiran ku masih memikirkan Alden. Sahabat lelaki ku.

'apa yang mau kau harapkan dari sebuah hubungan persahabatan? Alden membalas perasaanmu yang tidak kau jaga dengan baik itu? Bangun Ara kau sangat bodoh karena mengharapkan suatu hal yang mustahil. Apa kau mengharapkan Alden menepati salah satu janjinya? Kau bahkan lebih bodoh dari seekor panda'

FLASHBACK ON.

"mengapa kau tidak ingin memulai suatu hubungan baru ra?" tanya Alden tanpa menjawab pertanyaan yang sama dariku.

"hanya tidak ingin. Lalu bagaimana dengan kau?" ucapku singkat.

"aku hanya masih ingin bersenang-senang dengan teman-temanku Ra. Karena aku tau, jika aku sudah memiliki kekasih aku tidak akan bisa sebebas sekarang menghabiskan waktu dengan teman-temanku. Sebenarnya aku ingin, tetapi aku masih selalu menahannya". Mendengar penjelasan Alden aku sedikit tersenyum kecut. Kau memang sangat tidak peka, batinku. Aku menunggumu bodoh. Lalu apa lagi yang aku tunggu disaat aku belum menjalin hubungan dengan lawan jenis kecuali kau.

"apa kau sudah memikirkan seseorang yang akan menjadi kekasih mu Al?" tanyaku memecah keheningan diantara kami.

"entahlah Ra, aku masih belum memikirkan seseorang pun". Jawab Alden sambil memandangi bulan yang sedang berada di fase purnama. Ya, memandangi bulan adalah salah satu hal yang kami senangi. Bahkan sudah menjadi rutinitasku dengan Alden jika kami berjalan-jalan saat malam hari sudah masuk daftar tempat yang wajib untuk mengunjungi salah satu tempat yang berada di outdoor untuk memandangi bulan bersama-sama. Seperti kami saat ini. Aku dan Alden sedang berbaring menatap langit di salah satu karpet lembut yang berada di rooftop yang disediakan oleh pemilik Cafe rooftop ini.

"lalu, apa yang membedakan ku dengan teman wanitamu yang lain Al?" tanyaku sungguh penasaran.

"mengapa kau mempertanyakan itu ra? Jelas kau sahabatku" jawab Alden dengan mudahnya sambil terkekeh pelan. Sial. Mengapa ini terasa sakit ya Tuhan.

"hanya itu saja?" tanyaku masih penasaran walau sambil menahan sedikit rasa sakit yang kurasakan.

"sahabat luar biasa". Senyum Alden semakin mengembang. Ternyata memang aku yang gagal disini. Gagal menahan perasaanku agar tidak menyukai Alden sekaligus gagal mendapatkannya walau ia sudah berada sangat dekat denganku.

"bisakah kau berjanji satu hal padaku Al?" ucapku lirih.

"apa itu?"

"jika kau sedang dekat dengan seseorang bahkan ingin mengencaninya tetap bagi kisahmu kepadaku seperti biasanya kau membagikan keluh kesahmu kepadaku". Aku menatap mata Alden yang masih sibuk memandangi bulan diatas sana. Bahkan sepertinya bagi Alden bulan lebih menarik daripada diriku.

"hem, aku berjanji Ara. Tapi mungkin saat aku sudah benar-benar bersama dengan wanita lain kurasa kita sudah tidak bisa seperti ini Ara-ya". Jawab Alden sedikit ragu tanpa mengalihkan pandangannya kepadaku. Sial, kenapa mataku mulai berkaca-kaca di saat seperti ini. Tolong jangan menangis disini Ara.

"apa kau sudah tidak mau berteman lagi denganku?" tanyaku dengan nada lemah.

"tidak Ara, aku masih menganggapmu sebagai temanku. Hanya saja ini sedikit rumit". Alden mengalihkan pandangannya kepadaku.

"baiklah, aku mengerti Al. Santai saja, aku memahami apa yang kau maksud". Aku mencoba dengan santai mengalihkan pandanganku darinya dan melihat ke langit. Kau jahat. Bahkan aku sudah harus merelakanmu lebih dulu sebelum sosok wanita itu datang ke hidupmu. Aku tersenyum masam.

"aku ingin pulang Al". Pintaku kepada Alden lalu dia segera mengantarkanku pulang. Dari situlah pertemanan kami mulai tidak baik-baik saja.
Disaat aku memintanya untuk menemaniku ke suatu tempat dia selalu saja menolak dengan berbagai alasan seperti memang sudah tidak mau bertemu denganku. Bahkan kami sudah sangat jarang bertukar kabar. Setidaknya jujurlah kepadaku, katakan jika kau ingin sendiri atau bahkan kau sedang mendekati wanita lain mungkin.

FLASHBACK OFF.

Pikiranku masih melayang memikiran percakapanku dengannya malam itu dan bisa dikatakan bahwa saat itu juga pertemuan terakhir kami. Kemana janji yang kau berikan kepadaku Alden, kemana janji itu. Aku pun tidak berhenti mengumpat diriku sendiri sambil memukuli ranjangku maupun bantal tidurku.

Tiba-tiba ponsel ku berdering, aku meraba ranjangku dengan tanganku yang mencari ponsel di sekitar lalu ku angkat telepon itu dengan malas.

"yeoboseyo?" kujawab dengan suara ku yang hampir tidak bisa di dengar karena terlalu lama menangis.

"ada apa dengan suaramu Ara?" Seulgi, sahabat perempuanku satu-satunya yang sangat peka dengan keadaan ku jika ada sedikit perubahan pada diriku.

"gwaenchana. Hanya saja tenggorokanku sedang sakit" ucapku asal.

"apa aku perlu menemanimu ke dokter?" tanya Seulgi yang masih terlihat khawatir padaku.

"aniyo, jinjja gwaenchana" ucapku meyakinkannya

"mengapa kau menelepon ku?" tanyaku mengalihkan topik.

"aku sangat bosan, maukah kau menemaniku jalan-jalan ke pusat perbelanjaan Ara?"

"neo michyeosseo !! ini musim dingin dan kau mengajakku keluar saat musim dingin begini?". aku tidak percaya dengan permintaan Seulgi yang sungguh konyol ini. Apa dia tidak kedinginan berkeliaran diluar saat musim dingin seperti ini apalagi kota Seoul adalah kota terpadat. Tidak, tidak akan aku mengikuti permintaan konyolnya.

"ayolah Ara, apa kau tidak kasihan kepadaku? Aku bosan dirumah sendiri". Rayu Seulgi yang masih ingin berjalan-jalan ke pusat kota. Sialnya, aku sangat kesal jika Seulgi sudah merayuku seperti itu karena memang dia tinggal sendiri. Orang tua nya meninggal 3 tahun yang lalu saat kami baru lulus SMP dan Seulgi adalah anak tunggal. Miris bukan. Mau tidak mau aku harus mengikuti permintaan konyol nya itu.

"arasseo arasseo, kau memang sangat berbakat dalam hal merayuku Seulgi"

"AAAAAAAAA aku sangat menyayangimu Ara !! bersiap-siaplah akan ku jemput 30 menit lagi" aku yang mendengar teriakan Seulgi otomatis menjauhkan telingaku dari ponsel dan langsung mematikannya sepihak.
Namun, karena inilah aku selalu bersyukur memiliki Seulgi di hidupku. Sebesar apapun kekesalanku pada dia, aku tetap menyayanginya. Ibaratkan Seulgi adalah saudara perempuanku yang terpisah. Iya terpisah secara DNA. Mungkin tanpa Seulgi di sisiku seperti ini warna yang ada di hidupku hanya semakin menjadi abu-abu pekat. Aku tersenyum simpul dan segera bersiap-siap untuk pergi keluar dengannya. Jika tidak ia akan sangat cerewet seperti yang kalian lihat di perbincangan kami saat di telepon tadi. Sangat menyebalkan.

Dan sialnya aku melupakan sesuatu.

to be continued.

.

.

.

jangan lupa kasih saran di kolom komen yaa 🥺
terima kasih ^^

promiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang