Epiphany || 01

10 0 0
                                    

Ku perhatikan lampu-lampu jalanan yang mulai dinyalakan dari balik jendela Orcid's cafe. Hiruk pikuk lautan manusia yang saling salip-menyalip guna memangkas waktu sebesar mungkin agar segera sampai di kediaman dan saling melepas rindu dengan keluarga kecil atau mungkin untuk sekedar istirahat sejenak guna melepas penat setelah seharian mencari pundi-pundi rupiah. Saat ini adalah waktu senja di malam minggu. Waktu yang paling di senangi para remaja untuk memadu kasih bagi yang punya.

Tak ayal waktu-waktu seperti ini membuat Orcid's café dipenuhi remaja yang sedang dimabuk asmara. Belum lagi lampu jingga café yang bergelantungan dengan alunan musik dari musisi yang sedang naik daun membuat suasana romantis masuk mengetuk relung hati. Ku perhatikan anak adam dan hawa yang singgah di Orcid's cafe, beberapa dari mereka sedang bergaya mengambil banyak potret dari mereka meski yang di pamerkan dalam sosial media hanya sebiji. Ada pula yang singgah guna mengambil sebuah foto dari cup kopi sambil menuliskan kata sendu tentang senja di insta story. Dasar generasi melankolis.

Namun juga ada beberapa pasang anak adam dan hawa yang sedang memadu kasih saling bergelayut layaknya ulat pada daun guna melepas rindu setelah sekian lama tak bertemu. Jangan salah, meski begitu bisa saja mereka yang hanya berstatus sebagai kekasih sementara bisa berubah menjadi kekasih untuk selamanya.

"Ngelamun aja, ayo kerja kerja! Lagi banyak pesanan nih," Itu suara salah satu rekan kerja ku di Orcid's café. Naura namanya. Perempuan berambut pendek dengan tubuh jangkung layaknya seorang petarung. Jangan menilai sebuah buku dari covernya. Itu kata yang pantas untuknya. Meski penampilan layaknya seorang preman dia sangatlah lembut. Indraku tak pernah mendengar ia berkata kasar meski sedang kesal.

"Kamu juga kerja dong, dari tadi makan mulu," kataku.

"Iya iya, Alin tolong antar pesanan ini di meja nomor 13 ya," kata salah seorang rekan kerjaku yang lain. Kena.

Tumben sekali dia mengoper pekerjaan nya padaku, "Kenapa tidak kamu saja?"

"Aku nggak kuat, meja nomor 13 isinya cowok ganteng semua. Gimana kalo nanti pas nganterin pesanannya kaki ku gemeteran terus pesanan nya mau tumpah terus-terus nanti kalo aku jatuh aku di tangkap sama salah satu dari mereka. Kan hati aku enggak kuat. Sama kak Arka aja masih ketar-ketir sampai sekarang apalagi kalo aku nanti di gebet sama salah satu dari mereka. Akh, aku nggak kuat bayangin nya, jadi baper sendiri," ujarnya dengan wajah yang tersipu malu.

"Kamu ini ada-ada saja, ingat sama Kak Arka Ken nanti dia bisa cemburu," ujar ku sambil meraih pesanan yang tadi di bawanya.

"Hati-hati ya Alin, jangan sampai kepincut sama mereka,"

Aku terkekeh dengan ucapan nya. Ku langkahkan kaki ku menuju meja nomor 13. Memang benar apa yang dikatakan Kena, meja itu ditempati oleh beberapa anak laki-laki tampan. Ku perhatikan wajah mereka satu per satu, jika berkenan menghitung berapa lama mereka hidup mungkin-mungkin mereka sepantaran dengan ku.

"Pesanan nomor 13," kataku saat sampai di meja mereka.

"Wah, cakep bener. Boleh minta nomer nya nggak?" ujar salah satu diantara mereka. Laki-laki berambut ikal dengan tambahan lesung pipit diwajahnya. Aku hanya bisa tersenyum canggung menanggapi rayuan nya.

"Apasih lo Reza, malu-maluin aja," sahut salah seorang yang lain.

Tangan ku entah mengapa bergetar saat akan meletakkan pesanan mereka yang terakhir. Tubuhku berdesir kala merasakan tatapan tajam dari laki-laki yang ada di samping ku. Tanpa sengaja minuman yang akan ku letakkan disenggol oleh sebuah lengan tak berdosa. Sungguh aku berani bersumpah bukan aku yang menyenggol cup kopi americano empat shots tanpa air dan gula ini. Wajahku mendongak mencari pemilik lengan yang tanpa hati menumpahkan minuman.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 09, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

𝐄𝐩𝐢𝐩𝐡𝐚𝐧𝐲Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang