Left Him

1.9K 230 43
                                    

"Turunlah."


"Apa?! Untuk apa kau membawaku kemari?"


"Temui kekasihmu, dan putuskan dia!" Ujar Ian dingin dan acuh.


"Apa kau gila?!"


"Baiklah. Kalau begitu lupakan aku, jangan pernah cari aku lagi!" Senyum Ian mengembang menyebalkan seakan dirinya kini telah menang melawan Lisa.


"Kau....?!" Desis Lisa tajam karena kesal melihat sikap Ian yang begitu seenaknya.


"Cepat putuskan, siapa yang mau kau pilih? Hidup nyaman dengannya? Atau bertaruh nyawa denganku?" Ian menatap tegas pada Lisa yang tertegun menatapnya.


Lisa diam. Keputusan ini yang memang sedang ia pikirkan, tapi tidak begini caranya... Lisa bagaikan di todong senjata dan harus segera menentukan apa pilihannya. Ia tidak ingin gegabah lagi, ia tidak mau menyesal lagi.


Bergerak melepaskan seatbelt yang membelit tubuhnya, Lisa kembali menatap Ian dengan kekalutan di dalam hatinya. "Kau sudah keterlaluan!" Ujar Lisa, kemudian turun dari mobil milik Ian dan segera berlari memasuki Lift yang ada di dalam Apartement itu.


Lisa harus bersembunyi dari jangkauan mata Ian. Ia bersembunyi dengan masuk ke dalam Lift, namun ia menekan tombol lantai yang tentu saja bukan lantai dimana Jiyong berada. Lisa mencoba menenangkan detak jantungnya, mengalirkan oksigen sebanyak-banyaknya ke dalam paru-parunya.


Lisa bergegas mendial sebuah nomor yang Ia tahu akan selalu siap sedia untuknya, meminta sosok tersebut untuk datang menjemputnya di Lobby bagian Selatan; bersebrangan dengan dirinya yang kini tengah berada di Lobby timur.


Memastikan Mino yang sebentar lagi akan sampai di titik penjemputan yang sudah Lisa tentukan, Ia kembali bergerak turun dari lantai di mana ia memutuskan untuk bersembunyi. Lisa kembali keluar dari pintu Lift dengan perlahan-lahan layaknya seorang agen rahasia, Lisa berusaha untuk tidak terlihat oleh Ian; yang Lisa yakini, mungkin saja masih ada di sana untuk memantaunya dari jauh.










🗝🗝



"Putuskan mereka berdua! —Berkencan saja dengan Director MV-ku yang kemarin, Christ. Perkara selesai!" Ujar Mino geram melihat tingkah Lisa yang sudah di luar nalarnya.


Di mata Mino, Lisa tidak pernah bertingkah seaneh ini. Selama ini dia mengenalnya sebagai sosok wanita yang paling keren; Lisa tidak pernah pusing tentang masalah percintaan, apalagi terlibat cinta segitiga semacam drama seperti sekarang ini.


"Apa bedanya, Oppa?!" Geram Lisa kesal karena ketidaktahuan Mino akan sosok Ian dan Christ yang notaben-nya adalah satu orang yang sama.


"Tentu berbeda! Walaupun tampangnya serampangan dan menyebalkan, tapi setidaknya Christ tidak gila seperti Ian-mu itu! —Lalu untuk apa kau menyelinap di Apartement Ji hyung di jam seperti ini? Bersama pria lain pula! Bagaimana kalau kau kepergok olehnya? Apa yang mau kau bilang? Kalau lupa ingatan? Kau dan Pria gila-mu itu sama saja. Meresahkan!" Omelan Mino terus berlanjut di sepanjang perjalanan mereka kembali ke tempatnya.


"Diamlah, Oppa... Kepalaku pusing. —Aku mau menghilang saja!" Desah Lisa frustasi meratapi nasib percintaannya yang carut-marut ini.









🗝🗝🗝


Semalam setelah obrolan panjang dengan Mino, Lisa mendapat apa yang mau ia kejar. Cinta itu penting, rasa kasih juga hal yang utama, dan memilih salah satu dari itu bukanlah sebuah solusi. Lisa tidak bisa berbahagia diatas penderitaan Jiyong. Lisa juga tidak bisa membohongi perasaannya yang masih tersangkut pada Ian. Semua akhirnya akan sakit, tapi setidaknya... Sakit yang sekarang mungkin akan lebih cepat sembuh dibandingkan sakit yang nanti.


Berbekal tekad kuat sedari malam akan keputusannya. Lisa akan menyelesaikan semua polemik ini satu persatu. Dan di sinilah ia sekarang. Duduk di sofa besar yang Lisa tahu memiliki harga yang fantastis, Lisa menunggu kehadiran Jiyong yang saat ini masih sibuk dengan meetingnya.


"Mian, sayang... Kau lama menungguku?" Sebuah kecupan tiba-tiba mendarat diatas pucuk kepalanya; sebuah kecupan sayang khas seorang Kwon Jiyong di setiap dia bertemu dengan Lisa.


"Ani-ya, aku yang salah karena tiba-tiba ingin bertemu."


"Aku tidak suka ekspresi wajahmu ini. Kau kemari bukan karena ingin meminta putus dariku, kan?" Jiyong duduk tepat di sebelah Lisa. Mengangkat kedua kaki Lisa yang sebelumnya menapaki karpet hitam berbulu dibawahnya; dan memindahkannya untuk berada diatas pangkuannya. Jiyong dengan begitu leluasa memijat lembut kaki Lisa, menghantarkan kenyamanan bagi si pemilik kaki.


"Bagaimana jika memang benar itu alasanku kemari, Oppa?" Jawab Lisa tegas tanpa mau berputar-putar terlebih dahulu.


"Kau tidak akan menyakitiku, kan?" Jiyong tetap tersenyum santai; terlihat tidak menanggapi ucapan Lisa barusan.


"Semua memang akan berakhir sakit. Tapi ini yang terbaik menurutku. Maafkan aku, Oppa. Aku tidak mau memberimu sebuah harapan yang tidak akan pernah bisa terwujud sampai kapan pun." Ujar Lisa dengan begitu tenang.






Hening...



"Kau jahat sekali..." Bisik Jiyong namun masih terdengar nada kekehan di dalam suaranya.


"Kau tahu aku tidak pandai berpura-pura. Aku pun tidak bisa bermulut manis untuk menutupi sebuah kepahitan." Ujar Lisa tenang dan masih mencari mata Jiyong yang sedari tadi terlihat sengaja menghindari tatapan Lisa.


"Jadi... Waktuku untuk meraihmu sudah habis?"


"Nde. Aku tidak mau membodohimu dan diriku semakin lama lagi. Aku menyayangimu, tapi tidak dalam porsi yang sama dengan—"


"Cukup." Jiyong kembali meletakkan kaki Lisa ditempatnya semula. Lalu kembali berucap, "Kau tahu? Aku tidak suka di bandingkan. Aku suka bersaing, tapi aku benci jika harus di adu." Ujarnya di akhiri dengan sebuah senyuman.


"Kau pun tahu kalau aku bukanlah orang yang sepicik itu. —Jadi, Oppa... Kau mau memaafkanku?"


"Tidak sekalian kau minta untukku melupakanmu?" Sinisnya.


"Aku tidak ingin kau lupakan. Kebersamaan kita kemarin lalu adalah hal yang tidak pernah aku sesali. Aku hanya menyesal akan satu hal, aku menyesal karena sudah gagal untuk mencintaimu." Ujar Lisa tenang dan entah mengapa setiap kata-katanya kali ini seperti mengandung magis. Jiyong hanya bisa pasrah dan mengiyakan semua keputusan Lisa. Bahkan tekadnya untuk selalu memperjuangkan Lisa pun lenyap entah kemana.


"Jika dia kembali menyakitimu, pintuku sudah tertutup untukmu, Lisa." Jiyong menatap dalam kearah Lisa yang siang ini sialnya begitu memancarkan kecantikan yang membuatnya semakin sakit untuk melepaskannya.


"Nde. Aku tahu itu konsekwensinya, Oppa. Aku tahu kau akan membenciku jika aku meminta maaf untuk keputusanku ini,—"


"Aku akan membencimu selamanya kalau kata itu keluar dari mulutmu!" Potong Jiyong tegas dan dalam.


"Nde... Oleh karena itu, aku hanya akan bilang bahwa terima kasih untuk segala hal yang sudah kita lalui bersama. Dan, Oppa... Aku sungguh-sungguh menyayangimu." Bisik Lisa serak di akhir kalimatnya.


Jiyong bergerak maju untuk membawa gadis nakalnya yang sekarang sudah bukan miliknya lagi, ke dalam pelukannya. Jiyong tahu ini akan terjadi cepat atau lambat. Dia tahu porsinya di hidup bahkan di hati Lisa tidak pernah ada apa-apanya dibanding pria sialan itu.


Jiyong tahu dia akan kecewa, sedih dan mungkin patah hati untuk yang kesekian kalinya. Namun satu hal yang Jiyong yakini; Jiyong tidak membencinya. Jiyong tidak akan pernah bisa membenci Lisa, gadis kecilnya yang selalu menggemaskan.


"Jaga dirimu, hem? Oppa akan selalu ada untuk membantumu, tapi tidak untuk membuka hatiku lagi untukmu." Jiyong terkekeh mendengar ucapannya sendiri.


Pria flamboyan yang selalu mendapatkan wanita manapun yang dia mau, akhirnya mendapat karmanya. Dia kehilangan sosok yang begitu diinginkannya; dia kalah dengan telak hanya dengan seorang pria biasa yang tidak pernah diperhitungkannya.







❣️❣️❣️TBC❣️❣️❣️

The Rude GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang