Hispira diam tak menjawab pernyataan sahabatnya tadi, ia memilih masuk dan duduk disebelah anadhara, memandang beberapa orang yang sibuk berdua maupun sendirian di dalam ruangan berpetak ini.
Satu ruangan tapi berbeda dalam segala hal juga perasaan, ia memandang setiap wajah wajah orang didalam, prustasi, berseri, kasmaran, merana,emosi ada semua didalam sini.
"Ga datang lo?." Tanya anadhara
"Ya kali gue disana kaya orang gila, ga ada temen ga asik, lukisan gue juga ga ada yang dipajang." Jawab hispira.
"Makanya jangan sibuk ke pantai mulu hidup lo."
"Ya namanya juga penyembuhan, kalau bukan gua sendiri yang sembuhin emang mau pak dokter muda."
"Sekalian cuci mata mungkin cari jodoh juga." Jawab anadhara dengan tawa juga hispira.
Mereka larut dengan obrolan mereka, juga anadhara yang sesekali menyambi melayani pelanggan.
~~°_°~~
Barsha mengeluh untuk ingin segera pulang, perutnya mual memandang kanvas kanvas putih penuh warna, ia tak menyukai hal semacam ini, sendari tadi ia habiskan dengan menggerutu, sedangkan si ardana sendiri sibuk berbincang dengan asteria dan berujung mendiamkannya.
"Pulang yuk." Barsha berbicara pelan di dekat telinga ardana, ia tak mau membuat asteria tersinggung.
"Iya iya habis ini." Balas ardana dengan menepuk nepuk pelan bahu barsha, sekarang barsha sudah seperti anak kecil yang merengek meminta segera pulang kepada ibunya.
"Asteria, gue pamit duluan ya, kapan kapan ketemu lagi, ni anak kebelet boker deh kek nya." Ucapan ardana tadi membuat lega barsha tapi ujung kalimat yang ardana lontarkan membuat ia terbelalak kaget.
"Oh iya deh, kapan kapan ketemu lagi, makasi ya udah dateng." Balas asteria ramah sekali .
"Iya, karya lo keren semua, kagum gue, pamit ya!." Lontar ardana dan beranjak meninggalkan ruangan tadi disusul barsha yang hanya berpamitan dengan senyuman dan anggukan kepala.
Bukannya sumringah wajah barsha masih tetep kelihatan kesal dan menggerutu, alasanya hanya karna ardana yang mengatainya kebelet boker didepan wanita cantik dan berkelas tadi, bayangkan wajah tampan ingin ia taruh dimana?
Ardana berganti menyetir, lantunan musik di siang menuju sore hari dari radio mobil ini membuat suasana agak tenang, cuacanya masih panas, mereka memilih mampir di cafe yang barsha bilang tadi, memasuki kawasan kafe yang sudah sekali ia masuki.
Barsha berjalan pelan, pengunjungnya lumayan, tak terlalu banyak juga tak sedikit, menuju meja kasir untuk memesan juga sekalian membayar, ia tahu dan ini alasanya datang kesini, untuk menemui gadis buta yang jatuh tersukur di taman sore itu, ia melihat daftar yang tersedia.
"Mbak ice americano nya dua , terus cake cookies n' cream sama red velvet , masing masing satu." Pesanan barsha, anadhara berucap nominal untuk barsha bayar dan ia menyuruhnya menunggu sebentar, ardana tak protes dengan pesanan barsha, karena memang seleranya sudah barsha hafal betul, mereka duduk di dekat jendela kaca besar, diluar terdapat taman mini dengan berbagi macam tanaman.
"Lo ingat yang gua bilang di lapangan waktu itu?." Tanya barsha.
"Masalahnya yang lo bilang ga cuma satu kalimat sa." Balas ardana menatap barsha lelah karena kelakuannya.
"Iya juga, maksud gue yang gadis buta gue lihat sore sore di taman."
"Owalah, kenapa?." Tanya ardana bingung.
"Itu gadisnya, yang jadi kasir." Ucap barsha dengan dagu terangkat menunjuk anadhara, mulut ardana terbuka, matanya mendelik tak percaya, 'kok bisa?' Itu yang ada di pikiran ardana, bisa bisanya? Mata gadis tadi terlihat hidup, ia memang hanya memperhatikan sekilas, siapapun orangnya pasti akan sama dengan ardana sekarang, tekaget kaget.
"Tuhan permainannya hebat kan?." Timpal barsha, ardana mengangguk matanya masih menatap gadis dengan senyum ceria tadi, pesanan mereka datang, diantar oleh seorang pria yang nampak masih muda dengan senyum merekah ala dia.
Menikmati makanan tadi dengan bincang ringan, sekali mengalih pandang ke objek yang jadi topik utama, ini sebuah omongan dari belakang, yang jelas seharusnya tak boleh dilakukan, mereka selesai dengan makanannya dan pulang.
~~°_°~~
Ini pukul 5, sembakala nampak merah merona, gadis dengan surai ter-gerai, sudah duduk manis di kursi taman kesukaannya, paras ayu nya ditemani sinar senja yang menjadikan dia objek yang sedap di pandang.
"Sialan, senja kali ini bagaimana? ." Gumamnya lirih, ia tak merasa tersilaukan dengan sinar yang nampak membakar tapi adem dan hangat dalam satu waktu ini, ia mendengar celotehan anak kecil, orang tua yang meneriaki anaknya ketika bermain lari larian, juga sepasang adam dan hawa yang tengah menciptakan genre romansa.
Ia menyedihkan bila ditamatkan, matanya hidup tapi mati disatu waktu, semesta hilang begitu saja, demi tuhan ia benar benar tak rela, ia menangisi hidupnya sudah seperti hujan di bulan desember, jangan lupakan hati ayahnya juga ketika melihat putri tunggalnya ini seperti orang gila yang tengah sekarat.
Hari puan ini selama lebih dari satu tahun hanya di isi dengan kekosongan juga tangisan, tak lupa juga dengan hujanan sumpah serapah untuk tuhan, yang mengambil semesta seenaknya, kalau dikata ia marah, iya dan itu sangat besar, marah pada tuhan, marah pada dirinya sendiri, marah kepada orang orang yang menatap kasian padanya, dia bukan orang gila atau orang sekarat,
Hanya hilang penglihatan, jadi kenapa kalian bergumam kasian, itu sangat menganggu telinganya yang pendengarannya berubah menjadi sangat sensitif, ia pemarah waktu itu, dan ia tumpahkan kepada ayah dan dirinya sendiri, sahabatnya? Ia sangat muak dan enggan menemuinya, kenapa memangnya? Kalau hanya dengan alasan ingin menjenguknya dan memberi semangat, burung beo milik ayahnya pun bisa,
Perempuan itu jadi egois untuk dirinya, tak pernah berfikir bagaimana perasaan seorang yang diam diam menangisinya di malam hari hingga menuju pagi tanpa suara, merasa gagal untuk menjadi seorang pahlawan anaknya, merasa ia benar benar mahluk berdosa dan tak berguna, merasa segala hal akan salah jika ia lakukan.
Ayahnya seorang yang sangat kuat, kalau untuk dideskripsikan perasaanya mungkin semesta saja kalah jauh, semesta bukan apa apa dimatanya hanya segelintir kisah pahit dan egois untuknya, ia sama dengan gadis kesayangannya ini, semestanya diambil paksa oleh tuhanya, hanya diberi kenangan yang mungkin akan hilang juga dengan pikirannya yang nanti bertambah tua,
Mereka adalah orang orang yang egois dengan dirinya.
"Hai!." Sapa seorang lelaki yang sudah duduk di dekat anadhara.
"Saya orang kemarin sore, mau ambil sapu tangan boleh?." Lanjutnya terlebih dahulu sebelum gadis tadi menjawab sapaanya.
"Ini." Dia menyodorkan sapu tangan yang ada di saku dresnya, "gue kira yang kaya gini ga perlu pengembalian, ternyata masih ada juga." Lanjutnya setelah menyodorkan sapu tangan milik barsha.
Gimana nih? Masih tertarik gak?
Kadang tuhan kalau main main kaga tau aturan ya, yang seharusnya ada malah di ditiadakan, yang paling penting dibutuhkan malah dibuat hilang....
KAMU SEDANG MEMBACA
BARSHA || Seonghwa
Teen FictionBagaimana hatiku terbuka kalau tak patah "Sini keduniaku, tempatnya ternyaman setelah senja di atap rumah dan kamarmu." Barsha berucap. "Bukannya duniamu perihal lari dan pelarian?." Balas anadhara. -- "Kamu sama anadhara ada hubungan ya sha?." Tan...