Masih Tentang Cinta

52 7 0
                                    

Waktu telah berlalu dengan cepat. Aku dan Afri juga telah berdamai. Kami mulai sering duduk bertiga di cafe.

Hari ini kami berjalan-jalan di sebuah taman. Aku berjalan di samping Afri. Suasana menjadi canggung karena kami hanya diam sepanjang jalan. Aku melihat sekeliling taman yang sejuk ini. Afri juga seperti melakukan apa yang aku lakukan. Ah, akan lebih nyaman pergi ke sini sendirian, kataku dalam hati. Benar-benar menenangkan pikiran. Aku tak berhenti melihat sekeliling. Tapi tiba-tiba pandangan kami beradu dan sama-sama terkejut. Lalu kami tersipu, tidak tertawa, hanya tersipu. Dan kemudian hening kembali.

Aku biasa saja jika harus diam sampai akhir jalan-jalan ini tapi sepertinya tidak dengan Afri. Dia terlihat gelisah.

"Duduk dulu yuk, di sana, " katanya sambil menunjuk sebuah bangku panjang yang menghadap ke sebuah danau buatan, di bawah pohon yang besar. Teduh.

Aku mengangguk mengiyakan sarannya. Duduk di sana, aku diam saja dan dia juga. Tapi aku rasa ini tak akan lama. Sudut mataku menangkap Afri berulang kali membenarkan letak duduknya yang tidak salah. Ia juga melihat ke arahku beberapa kali seakan ada yang ingin ia sampaikan tapi tidak jadi ia lakukan.

Aku tetap diam sekalipun aku tau bahwa Afri sedang gelisah. Aku tau dia tak akan bisa bertahan untuk tetap diam-diam saja seperti aku.

"Lani.." Afri memanggil aku.

"Hmm?" Aku menoleh.

"Sampai kapan kita harus kayak gini? Dari tadi aku nunggu kamu bicara, tapi kamu dieeeeem aja. Aku juga udah kasih-kasih kode. Kamu nggak ngeh juga," Afri protes. Ingin rasanya aku tertawa.

"Aku nggak suruh kamu diam kok," jawabku pendek.

"Kenapa kamu diam aja? Nggak nyaman kalo jalan sama aku? Atau malah nggak suka, ya jalan sama aku? Tinggal ngomong aja, biar aku anter kamu pulang," katanya kayak petasan.

Afri ini sepupu Katra dan darah 'bicara layaknya petasan' sama-sama mengalir dalam diri mereka.

Aku menggeleng. "Kamu dulu sekolah di mana?" aku bertanya ingin tau. Kadang terlintas dalam pikiranku bahwa Afri ini adalah Andi, anak laki-laki yang dulu mengganguku.

"Aku sekolah di Pekanbaru"

"Oooh"

Pekanbaru, kota yang asing bagiku. Berarti Afri bukan Andi. Entah kenapa aku kecewa.

"Kenapa?"

"Cuma pengin tau aja," aku tersenyum tertahan.

Afri menceritakan kecintaannya pada Pekanbaru. Ia juga menceritakan masa remajanya di sana. Ya, Afri memang bukan Andi. Mereka dua sosok mirip yang berbeda.

Lalu kami sama-sama tenggelam dalam diam. Menikmati angin yang bergerak lambat. Matahari mulai jatuh.

~~

Seminggu sudah berlalu. Aku sedang menyudutkan diriku di cafe. Tiba-tiba Afri datang mengagetkanku.

"Hai Lani. Perkenalkan, namaku Afriandi. Kamu boleh panggil aku Afri atau Andi" Afri menjabat tanganku.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Apa ini? Mengapa Afri bersikap seperti ini? Andi? Mengapa Afri kenal Andi? Aku tidak berkata apa-apa.

"Kamu belum sadar juga? Lan, aku ini Andi. Yang dulu suka lempar jendela kamu pake batu," lanjut Afri eh Andi.

Apa? Jadi, Andi adalah Afri? Anak kecil yang ingin berteman denganku dulu dan selalu aku tolak adalah orang yang sekarang tengah menjabat tanganku? Ini semua benar? Banyak pertanyaan-pertanyaan yang berserak di kepalaku. Pertama kali aku bertemu dengannya aku memang merasa bahwa ia adalah Andi. Tapi, sebelah hatiku berusaha meyakinkan bahwa itu tidak benar. Kini aku temukan jawabannya.

KACAMATA LANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang