"Coba sebutkan anugerah dari Tuhan yang mana yang membuatmu merasa beruntung bisa hidup sampai hari ini?"
Entahlah, mungkin mengenalmu?
-Yasmine Seraphina
•••
Kalau aku tahu bait-bait puisi dalam tubuhnya bukan aku, mungkin aku lebih memilih Rahwana untuk menjadi bunga tidur dalam hidup yang panjang ini.
-Zhavira Nada Arsinta
•••
Cinta kepada Sinta memang tak pernah terlarang, itu sebabnya aku mau buta, tapi menjadi buta sangatlah mengerikan, untuk itu aku memilih mati.
-Sidney Adler West
•••
Orang-orang memujiku hebat, hebat karena tak ada manusia semampu aku dalam membangun dua ruang kokoh dalam tubuhku.
-Daniel Rama Agustin
•••
Hidup seperti fakta yang sedang berkenalan dengan mitologi, dan sayangnya aku tak semampu Eros untuk mencintai wajahmu yang elok seperti Psyche.
-Summer Oslo West
***
Sinta membereskan ruang OSIS sendirian, gadis itu sama sekali tak mengeluarkan sumpah serapah untuk teman-temannya yang sengaja bolos piket siang itu. Sinta memang tak biasanya begitu, tapi hari ini moodnya sangat baik, bahkan debu-debu yang membuat hidungnya bersin-bersin tak memudarkan senyum yang mengembang di bibir gadis itu. Sinta benar-benar riang, sesekali gadis itu bersenandung pelan saat membereskan kertas-kertas.
"Sinta, sorry telat tadi ada tambahan kimia dari Bu Riri."
"Santai aja, Sid."
Sidney terdiam, ia mengamati Sinta dari belakang. Lelaki itu merasa ada yang aneh dari Sinta, sebab tak biasanya gadis itu begini. Sinta cenderung akan marah-marah apabila rekan piketnya datang terlambat atau bolos. Tapi kali ini, Sidney menaruh rasa curiga terhadap gadis itu.
"Lo kenapa, Sin? Tumben banget begini."
"Mood gue lagi bagus aja," ucapnya sambil menaruh buku-buku ke rak.
"Gue bantu apa nih?"
"Nggak usah, ini udah mau selesai."
Sidney duduk di kursi sambil mengamati Sinta yang begitu cekatan mengerjakan tugas piketnya. Sinta punya rambut panjang yang ia gerai menutupi pundaknya, kulit gadis itu putih bersih dan pucat, di tambah postur tubuh yang tinggi dan isi otak yang cemerlang membuat Sidney tak berhenti mengagumi gadis itu meski Sidney hanya melihatnya dari belakang. Sepuluh menit berlalu, gadis itu mengambil tas dan menyerahkan pintu ruang OSIS kepada Sidney.
"Thanks udah nungguin, gue cabut duluan."
"Nggak mau bareng aja, Sin. Kita kan searah."
"Gue mau ke studio rekaman," ucap Sinta setengah berteriak sambil meninggalkan ruang OSIS.
Tersisa Sidney sendiri di ruangan itu, lelaki itu lantas membuka ponselnya. Tangannya dengan lincah menyusuri sebuah aplikasi yang menyajikan gambar dan video, dari aplikasi itu Sidney memperoleh informasi bahwa seorang laki-laki dari sekolah sebelah yang memiliki band terkenal bernama Zeus akan melakukan rekaman lagu pada hari ini. Laki-laki yang selalu membuat Sidney merasa cemburu itu adalah Daniel Rama, sahabat Sinta sejak mereka masih duduk di bangku sekolah dasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
DUA RUANG DANIEL RAMA
Teen FictionSPIN OFF INEFFABLE FOLLOW AUTHOR SEBELUM MEMBACA Kisah ini tidak seromantis cerita Rama dan Sinta yang sering kali kalian dengar, meski tokohnya memiliki kesamaan nama. Ini hanya kisah putih abu-abu dari seorang laki-laki bernama Daniel Rama yang me...