Rama terdiam sambil menunduk, lelaki itu tidak berani bersuara sejak ia duduk di depan meja belajar satu jam yang lalu. Kini terdengar helaan napas panjang dari seseorang yang duduk tak jauh dari Rama, itu adalah Papanya sendiri. Pria paruh baya itu terus menatap putranya yang tak kunjung mengangkat wajahnya sejak tadi.
"Kenapa nggak jawab Papa, coba kasih tahu Papa alasan kamu mengundurkan diri dari olimpiade sains nasional?"
"Rama capek, Pa."
"Capek latihan band?"
Rama mengepalkan tangannya kuat-kuat, ia tak suka pilihannya diatur, tapi Rama juga tidak punya kuasa untuk menentang orang tuanya. Bagaimanapun, Papa dan Mamanya adalah orang yang memberikan Rama tempat di dunia ini. Lelaki itu bisa hidup dengan layak karena mereka, rasanya tidak sopan apabila Rama melawan Papanya hanya karena pilihannya tak sesuai keinginan mereka.
"Tahun ini Rama udah bawa piala tiga kali buat sekolah, Pa."
Lelaki paruh baya itu menatap putranya dengan tajam, seolah meminta penjelasan karena tidak tahu dengan apa yang sedang dibicarakan Rama.
"Rama dan tim menang pertandingan futsal, Pa. Kami juara satu."
"Kemenanganmu bisa dikonversi ke nilai mata pelajaran?"
"Bisa, Pa. Kata guru olahraga Rama, Rama dapat tambahan nilai."
"Lantas band-mu yang sering manggung itu, apakah mendapatkan poin plus juga di mata pelajaran seni musik?"
Rama menggeleng pelan dan kembali menunduk, lelaki itu siap dengan ceramah yang lebih panjang lagi dari sebelum-sebelumnya. Rama tahu gelengan kepalanya akan menyebabkan Papanya murka, dan benar, setelah jeda beberapa detik, pria paruh baya itu menggebrak meja dengan keras.
"Rama, Papa sekolahin kamu bukan untuk main-main!"
Lelaki paruh baya itu menunjuk-nunjuk selembar kertas di depan Rama, dan menekan setiap perkataan yang diucapkannya, "Olimpiade ini jalan buat kamu dapetin universitas terbaik Rama, kenapa malah mengundurkan diri, sadar nggak sih kamu, Ram?"
"Rama cuma mau istirahat sebentar, Pa. Nanti kalau ada lomba lagi Rama ikut kok."
"Kalo ada, kalo nggak? Papa perhatiin kamu makin susah di atur semenjak ikutan band-band nggak jelas itu. Pasti band itu isinya cuma anak-anak nakal yang mau merusak kamu."
"Anak band Zeus nggak sejelek pikiran Papa, mereka anak baik-baik, Pa. Mereka juga nggak bawa pengaruh buruk buat Rama."
"Buktinya kamu berani jawab Papa, dulu kamu selalu nurut, nggak pernah membantah apapun yang Papa bilang. Sekarang apa? Masih mau belain mereka?"
"Maaf, Pa."
"Ram," Pria paruh baya itu memegang pundak Rama, "Papa cuma mau yang terbaik buat anak-anak Papa. Karena kakakmu tidak bisa memenuhi permintaan Papa untuk kuliah di luar negeri, Papa mau kamu yang mewujudkannya untuk Papa."
Rama memberanikan diri untuk menatap mata Papanya, ada banyak harapan yang tersimpan di sana. Apa Rama sanggup menggantikan ekspetasi Papanya yang dulu begitu besar kepada kakak perempuannya? Bagaimana kalau tidak, bagaimana kalau Rama gagal?
"Nurut sama Papa, Nak. Bubarkan band-mu dan fokus belajar. Raih prestasi sebanyak-banyaknya, percayalah kau tidak akan mendapatkan masa depan jika terus berada di band itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
DUA RUANG DANIEL RAMA
Teen FictionSPIN OFF INEFFABLE FOLLOW AUTHOR SEBELUM MEMBACA Kisah ini tidak seromantis cerita Rama dan Sinta yang sering kali kalian dengar, meski tokohnya memiliki kesamaan nama. Ini hanya kisah putih abu-abu dari seorang laki-laki bernama Daniel Rama yang me...