Saci sedang merapikan berkasnya hendak beranjak pergi dari kantin, ditengah waktu istirahat, dia masih menyempatkan mengejar deadline.
Jam makan siang akan berakhir 20 menit lagi, tapi Saci sedang tidak ingin terburu-buru makanya dia ingin kembali ke kantor lebih cepat.
Namun belum juga niat Saci terwujud, Fiki, rekan kerja sekaligus cowok yang Saci suka sejak belia, menggandeng perempuan yang tidak dikenal Saci mehampiri kursi kosong di depan Saci.
"Duduk dulu, Ci. Aku mau ngomong." Buka Fiki tambah menghentikan niat Saci beranjak.
Fiki dan perempuan itu sudah mendaratkan pantatnya dengan sempurna di kursi yang mejanya sama dengan kursi Saci.
"Oh boleh, gimana Mas?" Tanya Saci penasaran kembali duduk.
"Ini Tika, calon istriku, minggu lalu Aku melamarnya, dan bulan depan akan melangsungkan pernikahan." Ujar Fiki tanpa basa-basi.
Saci terluka mendengarnya.
Tapi bukan Saci namanya kalau tidak pandai pasang muka berpura-pura baik-baik saja.
"Wah Alhamdulillah. Selamat ya Mas, salam kenal Mba. Aku bawahan Mas Fiki di kantor. Mudah-mudahan rencana kalian dilancarkan ya?" Ungkap Saci semringah menyalami tangan perempuan bernama Tika tersebut.
Saci seperti turut merasakan kebahagiaan mereka berdua.
Padahal sebaliknya.
"Aku terharu lho, Mas, dikasih tahu secara khusus begini. Berasa orang penting Aku." Lanjut Saci mengusap pipinya seolah menghapus air mata, niatnya mencairkan suasana supaya kondisi hati Saci yang sebenarnya tidak kentara.
"Makasih sebelumnya atas doa yang kamu kasih untuk kelangsungan acara kami. Tapi ada yang lebih penting dari itu, Ci. Makanya Aku berniat untuk menyampaikan kabar bahagia ini secara langsung ke kamu." Ujar Fiki.
"Oh, ya? Ada apa mas?" Jawab Saci keheranan.
"Tolong lupakan Aku, Ci. Hapus perasaan kamu itu sehilang-hilangnya untuk Aku.
Dengan Aku menunjukkan calon istriku, Aku ingin kamu lebih tahu posisimu, yaitu tidak seharusnya memberikan perasaan untuk laki-laki yang sudah hendak menikah." Terang Fiki percaya diri, dia lebih terlihat seperti memohon.
Seolah perasaan yang Saci miliki sangat tidak nyaman bagi pria itu selama ini.Tika masih bertahan dalam diamnya menyimak percakapan dua manusia ini, namun berganti dengan raut muka bersalah, seakan dia merasakan sakitnya hati Saci.
Benar, hati Saci sangat sakit tak terperi.
Sudah remuk, malah ditambah koyak moyak oleh orang yang sama.
Tapi Saci memang ratunya berpura-pura.
Saci pasang wajah mengernyit.
"Bentar, Mas. Ada yang perlu diluruskan ini." Ucap Saci terlihat berpikir."Aku sudah tahu, Ci, soal kamu menyukaiku. Aku sudah tahu."
"Iya, Aku paham maksudmu, Mas. Bahkan bukan cuma kamu, orang-orang di desa kita aja udah pada tahu perasaanku ke kamu. Tapi bukan itu yang ingin Aku luruskan."
Saci memberi jeda.
"Ini yakin Mba Tika mau di sini aja?" Tanya Saci memastikan.
"Iya, Aku pengin nggak ada yang disembunyikan, biar dia tahu semuanya." Jawab Fiki.
Saci manggut-manggut.
"Sebenarnya menurutku nggak ada kaitannya sama Tika, dan Tika tidak tahu pun nggak akan jadi masalah. Justru kalau dia tahu dan ikut mendengar obrolan kita sekarang, malah berpotensi bikin hubungan kalian jadi canggung."