Sejak kelas lima. Sungguh, saat itu aku buta apa hakikat cinta. Aku hanya merasa senang dia di sekitarku. Mendengar namanya, bak mendapat hadiah.
Hanya sesekali kami bercengkrama dan tidak lama karena aku tak pernah menjadi pemeran utama dalam hidupnya.
Sedari dulu aku selalu jalan di tempat soal rasa padanya. Tak pernah bergerak, untuk selangkah lebih dekat. Orang tuanya yang ustaz-ustazah di tempatku mengaji membuatku ingat betul bahwa masih ada urat malu pada diri ini.
Dia tau, tapi tak pernah membuka pintu.
Tidak ada kenangan indah yang kami buat. Seharusnya tak ada alasan kuat yang menghalangiku untuk melupakannya. Tapi hatiku bebal, namanya tertulis tebal, otakku mempermanis, beberapa kali ku tepis sebal sebab tak hentinya dia berputar.
12 tahun ku sembunyikan sendirian. Akhirnya ku bagi dengan orang tua. Harapannya supaya aku tahu kemana baiknya ku bawa(?)Seperti Bunda Siti Khadijah kepada Nabi Muhammad.
Dia memang tidak se-mulia Baginda Nabi, namun pendidikannya pesantren sejak sekolah dasar, nasabnya pesantrenan, aku yang sama sekali tak setitik tinta pun menyerupai Bunda Khadijah, tentu rasa tidak percaya diri semakin menguasai.
Benar saja, Ayah tertolak halus. Aku tidak marah atas jawaban yang sudah ku tebak meski tak ku harap.
Tapi alih-alih aku tahu diri lalu menghapus bersih perasaan ini, aku masih sering mengintip dari balik jendela kala suara kendaraan senada dengan miliknya, selalu refleks menyebut lirih keluarganya ketika bersua 'calon mertua' 'calon adik ipar'.
Engkau satu-satunya Maha Membolak-balikkan hati. Jangan biarkan perasaanku kian rimbun, kalau takdirMu hanya akan menempatkan rasa itu pada belantara paling sepi, hujan paling lembab, dan kosong paling hampa. Tak ada perayaan, ucapan selamat, apalagi 'humairah' yang dia ucapkan kepadaku.
Jadikan hamba manusia pandai membaca, bahwa esensi rasa sebelum menikah adalah ujian kelulusan menjauhkan diri dari zina.