Kanaya
Kayana berjalan lunglai. Hal yang selalu menyulitkannya terjadi lagi hari ini. Rasanya, menenggelamkan diri di danau akan terasa lebih baik daripada harus bertemu dengan para manusia yang menyebalkan.
Gemerisik suara daun diterpa angin turut mengisi kekosongan hatinya yang sedang mendidih, seakan tahu kalau dirinya butuh hiburan. Kay tahu kalau hatinya selalu kesepian setiap bangun dari tidur malamnya. Kay tahu kalau hidupnya sebenarnya sudah sejak lama kacau. Sangat kacau. Bahkan bisa jadi sudah tidak ada kemungkinan untuk diperbaiki.
Tapi, gadis itu tak pernah tertarik untuk mengeluh dan menangis. Segala hal menyebalkan akan berhasil mengganggunya jika dirinya lemah, begitulah pola pikir seorang Kayana. Siapa yang tangguh, dia yang menang.
Bruk!
"Aduh!"
Langkah lunglai gadis itu membawanya tersungkur ke tanah. Kayana terjatuh. Sejenak kemudian, dia bergegas bangun sebelum banyak orang melihatnya. Bukannya membenarkan bahwa kebanyakan orang mengatakan 'sakitnya tidak seberapa, tapi malunya yang luar biasa', tetapi Kayana adalah tipe perempuan mandiri yang tak mau dibantu ketika masih bisa melakukan pekerjaannya sendiri. Lagi pula, tidak ada manusia di dunia ini yang minta untuk ditakdirkan jatuh di depan umum. Oh ya, satu lagi, Kayana tidak suka dikasihani.
Gadis itu meneruskan langkahnya, sembari mengulang kembali memori kejadian hari ini.
Sepulang bekerja tadi, Kayana bertengkar dengan saudari tirinya ketika sampai di rumah, lebih buruknya lagi adalah ibu tiri dan ayah kandungnya turut angkat bicara dan berakhir membela saudarinya itu. Dengan alasan yang selalu sama.
"Mengalahlah Kay, Lia itu masih kecil."
Kalimat yang selalu membuat muak Kayana jika terdengar oleh telinganya. Padahal, bukan alasan sepele yang membuatnya marah. Siapa pun takkan ada yang mau jika miliknya diambil oleh orang lain. Begitu juga dengan Kayana, Lia sering masuk ke kamar Kayana tanpa permisi atau bahkan ketika Kayana sedang tidak berada di rumah, yang lebih parah adalah Kayana sempat memergoki saudari tirinya itu mengambil beberapa lembar uang simpanan Kayana. Maka dari itu Kayana tak pernah mendengarkan orang tuanya ketika membela gadis itu, hanya buang-buang waktu. Tapi Kayana tak akan menyangkal jika dirinya merasa kehilangan. Kehilangan keluarganya yang dulu penuh dengan kehangatan. Bahkan sosok ayah yang dulu rela jadi superhero di depannya, kini menjadi orang yang tidak ia hiraukan perkataannya.
"Ah, bumi sudah semakin tua rupanya, begitu juga manusianya," gumamnya pelan.
Kini gadis itu sampai di sebuah taman bermain. Sebenarnya dirinya tak berniat pergi sejauh ini dari rumah. Namun, kalau mengingat keadaannya seburuk tadi, sepanjang malam dia akan mendengar ibu tirinya yang mengeluhkan tingkah lakunya pada sang ayah, dan sang ayah akan memarahinya. Catat! Memarahi bukan menasihati. Maka gadis itu tidak akan bisa beristirahat dengan tenang dari lelahnya setelah seharian bekerja.
Kayana duduk di salah satu ayunan di taman bermain. Sejak kecil dirinya memang selalu suka permainan yang satu ini. Bahkan, ketika ke taman bermain mana saja, ayunan adalah wahana utama yang gadis itu cari. Mengayun perlahan sambil menikmati semilir angin malam membuat suasana hatinya sedikit membaik.
"Hei! Sana pergi! Jangan mengemis di sini!"
Suara bentakan yang ditangkap oleh indera pendengar gadis itu berhasil mengalihkan atensinya. Netranya menangkap seorang gadis kecil yang didorong hingga tersungkur oleh pemilik toko tak jauh dari taman bermain.
Seketika dirinya berdiri dan melambaikan tangan pada anak kecil itu, isyarat untuk menghampirinya. Lagi pula, tak ada gunanya terus memohon pada manusia yang tak berminat menolong. Jika tidak setengah hati, ya... tidak pakai hati.
"Duduk!"
Kayana menyuruh gadis kecil itu untuk duduk di kursi ayunan di sampingnya. Sejenak hanya terdengar suara jangkrik yang mengisi kesunyian, malam semakin larut, dan hawa semakin dingin. Lagi, angin malam semakin kencang berembus.
"Kenapa?" tanya Kayana singkat. Gadis kecil itu hanya mengerjap pelan sambil memperhatikan wajah Kayana. Masih bingung dengan maksud manusia di sebelahnya.
"Maksudnya, Kak?" tanya gadis kecil itu.
"Kenapa mengemis?"
"Ah, itu. Dara butuh uang, Kak. Ibu Dara sakit, ayah pergi dari rumah nggak tahu ke mana. Jadi Dara harus mencari uang untuk beli obat ibu."
Kanaya hanya manggut-manggut, pertanda mengerti dengan keadaan gadis kecil itu.
"Jadi, namamu Dara?" Dara tersenyum kecil ketika namanya disebut.
"Iya, Kak."
"Dara, mau kakak bantu?"
"Bantu apa Kak?"
Kanaya mengeluarkan sepotong kertas, dan beberapa lembar uang dari dompetnya. Kemudian menyerahkan kedua benda itu pada Dara.
"Hah?" Dara masih heran, tak tahu harus merespon bagaimana.
"Ini, uang untuk kamu beli obat ibumu dan makan malam, kamu belum makan 'kan?" Dara hanya mengangguk. Kemudian Kanaya meneruskan ucapannya, "kalau ini, kamu besok pergi ke alamat di kertas ini ya, kamu bisa kerja jadi loper koran di sini. Mulai besok, jangan mengemis lagi. Lebih baik kamu bekerja Dara. Memang banyak orang yang baik, tapi orang yang jahat pun juga nggak sedikit. Jadi lebih baik bekerja meskipun uang yang dihasilkan nggak seberapa daripada meminta-minta, seenggaknya kamu sudah berusaha." Kanaya mengakhiri rentetan ucapannya dengan senyuman. Senyuman yang tulus, bukan yang biasanya dia paksakan di depan orang-orang. Apalagi senyum mengejek yang sering ia layangkan pada saudari dan ibu tirinya. Bukannya berniat tidak sopan, tapi Kanaya hanya memperlakukan mereka seperti mereka memperlakukannya.
"Iya Kak, Dara mengerti. Terima kasih."
"Yasudah, pergi sana. Ibumu pasti menunggu kamu pulang."
Dara tersenyum senang, sejenak kemudian berlari pergi setelah berpamitan pada Kanaya. Kini, tinggal
gadis itu sendiri di tengah taman bermain yang sepi. Rasanya hati yang kesepian itu kini sedikit terisi dengan kehangatan. Kehangatan yang Kanaya ciptakan sendiri bersama kebaikan yang ia berikan pada orang lain. Kanaya selalu ingat pesan ibunya."Di masa depan, hiduplah sesukamu, Kanaya, Ibu takkan melarang. Tapi, bukan hidup dengan pergaulan yang tidak baik, maksud ibu Kanaya bisa menentukan cita-cita Kanaya, memilih teman, mendalami hobi Kanaya, ataupun hal lain yang Kanaya suka. Ibu nggak akan melarang. Tapi, Kanaya harus bertanggung jawab dengan hidupmu sendiri, karena orang lain nggak bisa ada untuk Kanaya setiap waktu, begitu juga ibu."
Begitulah, daripada bertanggung jawab dengan kekacauan, Kanaya lebih suka melakukan kebaikan.
Tak terasa Kanaya kembali rapuh, bukan tetesan air mata yang keluar, tapi hatinya yang kembali rindu. Rindu sosok ibu yang rajin menasihatinya ketika gadis itu kecil, meski saat itu Kanaya terkadang merasa kesulitan memahami bahasa orang dewasa, Kanaya akan tetap mendengarkan ocehan sang ibu.
"Ah, benar, ibu nggak bisa terus nemenin Kayana. Bahkan, sekeras apapun Kayana nangis dan memohon waktu itu, ibu tetep nggak bernapas lagi."
Kayana kembali rindu, Kayana kembali sedih, tapi dirinya tidak menangis, karena Kayana tahu kalau mungkin lebih baik begini. Tuhan nggak akan mengecewakan hamba-Nya, 'kan?
•••
Cerpen 'Kanaya'
Copyright © Bina, 2021.Jangan ada plagiat di antara kita🐿
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
ISI KEPALA (KUMPULAN CERITA)
Short StoryKumpulan cerita random yang habis dibaca sekali duduk, semoga kalian mendapat potongan kehidupan yang baru di sini. Selamat berjeda dari hiruk pikuk kehidupan manusia, selamat berkelana🤠, Fatin (Jeda)