• C05 - Obrolan Sore •

16 1 0
                                    


Obrolan Sore

Setiap orang, pasti memiliki standarnya masing-masing. Baik untuk menilai hal-hal yang akan masuk di hidupnya, maupun manusia yang akan jadi penyumbang kenangan dalam setiap langkahnya. Meskipun, dalam beberapa hal adakalanya tidak akan bisa memilih, tapi setidaknya setiap orang tahu caranya berlindung. Berlindung dari banyak ketidakpastian yang akan terjadi dalam hidup mereka.

Semakin bertambah umur, semakin bertambah pula rasa takutnya. Serasa, banyak tanggung jawab yang menunggu untuk diemban. Banyak hal baru yang menunggu untuk dicoba, banyak senang dan sedih yang menunggu untuk dirasa, dan masih banyak hal lainnya yang menunggu manusia untuk maju ke depan. Jika tidak bisa maju, pun, mundur bukan pilihan. Ketika memilih menghindar, apa yang terjadi hari ini bisa jadi terjadi lagi di hari yang sama di tahun depan.

"Menghindar itu seperti menunda, bukan menghentikan hal itu terjadi." Arraya berceloteh, tangannya sibuk membuka kulit kuacinya.

"Ya... Makanya dihadapi dong, Ray," ujar Noah terkekeh.

Arraya dan Noah, adalah sahabat sejak kecil. Bertemu di hari pertama masuk sekolah SD, dan sampai sekarang masih menjadi tempat berbagi cerita satu sama lain di usia kepala dua ini. Sebenarnya, Noah setahun lebih tua dari Arraya. Tapi karena Arraya tidak tahu diri, gadis itu selalu menolak untuk memanggil Noah dengan embel-embel 'kak' 'mas' dan sejenisnya. Ray lebih suka memanggil Noah dengan nama atau terkadang memanggilnya adik.

Kedua anak manusia itu sedang menikmati langit sore jingga kemerahan, di atas rumah pohon yang dulu dibuatkan oleh Ayah Arraya untuk puteri semata wayangnya.

Ucapan Noah membuat Arraya menaikan salah satu alisnya, memikirkan pertanyaan paling biasa.

"Memangnya, kalau dihadapi, tidak akan takut?"

Noah kembali terkekeh, gadis muda di hadapannya nampak siap melayangkan pertanyaan-pertanyaan lain di kepala kecilnya itu.

"Kamu sudah seperti wartawan, Ray. Bertanya terus."

"Malu bertanya sesat di jalan," jawab Arraya nampak santai.

Noah mengacungkan dua jempolnya di depan wajah Arraya seraya tersenyum. "Tumben bijak, Ray," ujarnya.

Sejenak Noah berpikir, kemudian melanjutkan ucapannya. "Ya untuk apa dihadapi jika tidak takut. Kalau tidak ada rasa takut, ya 'kan tinggal dijalani saja seperti biasa, Ray.

"Lagian, kalau tidak dihadapi untuk apa hal itu diciptakan, Ray. Setiap hal, punya alasan dan pelajarannya masing-masing, dan setiap cerita punya tokohnya masing-masing. Kalau kamu hanya merasa selalu menjadi tokoh pendukung, bisa jadi memang kamu tidak pernah fokus pada diri sendiri, hanya melihat hidup orang lain. Mungkin itu yang membuatmu takut untuk menjadi tokoh utama, bahkan di dalam ceritamu sendiri.

"Takut itu wajar, Ray, tandanya kamu masih hidup," tutup Noah.

Arraya melongo sejenak, kemudian bertepuk tangan mengapresiasi orang yang ada di hadapannya.

"Woah, hebat banget Noah Teguh," seru Arraya.

"Ya iyalah, kalau nggak hebat itu mah kamu, Ray."

"Ngawur Anda! Kubilangkan mamaku nanti biar dikutuk jadi wajan loh!" Arraya sebal.

"Silakan saja, nanti kamu kukutuk jadi kompornya," balas Noah.

"Noaaaaaah!"

•••

Cermin "Obrolan Sore"
Copyright © Bina, 2022.

Jangan ada plagiat di antara kita 🐄

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 15, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ISI KEPALA (KUMPULAN CERITA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang