• C02 - Anak Kucing yang Malang •

27 3 8
                                    

Anak Kucing yang Malang

"Dasar anak kucing bodoh!" bentak pedagang pasar ketika melihat anak kucing mencoba mencuri ikan dagangannya. Sudah didorong dan dibentak, tapi anak kucing itu tak mau pergi. Tentu pedagang  itu tak mau berbagi ikan dagangannya, bisa rugi jadinya. Kemudian pedagang itu mencari benda yang bisa dilemparkan ke arah anak kucing yang malang itu agar kucing kecil itu pergi dari sekitar dagangannya.

Duk!

"Pergi dari sini! Jangan kembali lagi!" bentak pedangan itu dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya. Lemparan yang tepat sasaran, anak kucing itu kian ketakutan. Sekarang di bagian samping perutnya terbentuk luka basah yang masih berdarah. Pada akhirnya, anak kucing yang malang itu memilih pergi, tanpa arah, dan dalam ketakutan.

Malam kian larut, udara kian dingin. Seluruh pintu rumah sudah tertutup rapat, memberi tanda bahwa tidak lagi menerima tamu berkunjung. Sunyinya malam yang biasanya diisi dengan suara nyanyian jangkrik, kini berubah dihiasi dengan suara erangan kecil kucing pasar yang kotor. Bagian perutnya terluka, terkena lemparan batu dari pedagang ikan sore tadi.

Anak kucing itu masih terus berjalan, berharap menemukan sepotong makanan, ah tidak, bahkan jika hanya tulang ikan yang dia temui, anak kucing itu akan bersyukur karena masih diberi rezeki. Matanya kian sayu, tubuhnya sempoyongan, bahkan beberapa kali terjembab ke tanah. Namun, kucing itu terus melangkahkan kakinya.

Anak kucing yang malang itu akhirnya pasrah, mencari makan dalam keadaaan dingin begini malah akan membunuh nyawanya sendiri, belum lagi rintik hujan yang berdatangan, memberi tanda bahwa hujan lebat akan datang. Kucing itu lantas berteduh di emperan toko yang sudah tutup. Lampu remang-remang yang tergantung di emperan itu setidaknya menyumbang sedikit kehangatan untuknya.

Tubuhnya melingkar, bersiap menikmati tidur malamnya. Anak kucing itu amat lemah. Seakan jiwanya sudah pergi dari badan.
Sayup-sayup terdengar derap langkah kaki yang kian mendekat bersamaan dengan kesadaran anak kucing yang kian menghilang. Seorang manusia yang membawa karung goni di punggungnya dan beberapa barang bekas di tangannya mendekat.

"Aih, anak kucing yang malang."

Perlahan, setelah setengah tertidur, anak kucing itu terbangun karena mengendus bau makanan. Kakinya melangkah ke arah asal aroma itu.

"Makan, makan yang banyak, ya," ujar manusia baik hati itu sambil mengelus punggung anak kucing yang malang. Manusia itu tampak tersenyum sambil memandang anak kucing di sampingnya yang sedang makan dengan lahap.

"Jangan putus asa, meski rupamu tak sebagus kucing lainnya, kau punya rezeki sendiri yang diatur Tuhan." Kini manusia itu tak lagi berjongkok, namun ikut duduk di emperan toko sambil menunggu anak kucing menghabiskan makanannya. Tangannya masih setia mengelus punggung anak kucing yang malang.

Setelah makan, manusia itu menggendong anak kucing ke ujung emperan toko. Kemudian menaruhnya di pangkuan, sambil terus mengelus punggungnya.

"Tidur yang nyenyak, ya. Besok hari akan menjadi lebih baik."

Angin malam kian berembus kencang, bersamaan dengan rintik yang berubah menjadi hujan. Dua makhluk Tuhan itu, saling berbagi kehangatan agar tak beku di malam gelap yang dingin.

"Jangan khawatir, besok kita akan pergi ke tempat yang indah." Kemudian anak kucing dan manusia itu benar-benar terlelap.

•••

Sejuknya udara pagi adalah momen yang dibenci oleh beberapa orang karena pagi adalah pertanda untuk kembali beraktivitas. Sebagian lagi, menghirup udara pagi dengan terpaksa, karena mau tidak mau dirinya harus tetap bekerja. Mau bekerja, sudah lelah. Tak bekerja, ada perut yang harus diberi makan. Sebagiannya lagi merasa bahagia ketika pagi menyapa, karena mereka mendapat harapan baru untuk hidup di dunia.

Tapi, berbeda dengan Pak Yus. Dia tidak benci pagi, tidak terpaksa bangun, namun juga tidak merasa bahagia. Mungkin, satu kata yang bisa mewakili perasaannya. Jenuh. Ya, Pak Yus jenuh. Setiap pagi dirinya harus membuka toko. Kemudian menjaga toko sembari menunggu pembeli datang sampai sore, kemudian pulang. Hidupnya begitu monoton, Pak Yus jenuh. Sebenarnya Pak Yus ingin melakukan kegiatan lain di masa senjanya, namun anaknya selalu melarang dengan berbagai alasan penyakit yang menghampiri saat tua. Hanya menjaga toko yang disetujui. Tapi, lebih baik begini daripada tidak bergerak sama sekali, 'kan?

Pak Yus pergi ke toko hari ini dengan rasa yang sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Namun langkahnya kian dipercepat ketika melihat ada seseorang di depan tokonya. Dirinya kaget ketika melihat seorang lelaki yang tengah tidur sambil terduduk di emperan tokonya.

"Mas, Mas, bangun mas udah pagi." Tak ada sahutan dari lelaki itu. Kepalanya masih tertunduk. Pertanda masih tertidur.

"Mas, nanti rezekinya dipatuk ayam, loh."

Tak sengaja, Pak Yus melihat ke arah anak kucing yang matanya pun terpejam di pangkuan lelaki itu. Tangan Pak Yus mencoba menggapainya.

"Astaga! Kucingnya sudah mati." Pak Yus bergegas memindahkan anak kucing yang sudah kaku itu, kemudian memeriksa lelaki yang masih tertidur. Mencoba mengecek beberapa bagian tubuhnya, mencari tanda bahwa lelaki ini baik-baik saja. Beberapa menit setelahnya, Pak Yus menelepon ambulans.

"Halo, tolong segera kirim ambulans, ada mayat di emperan toko saya."

•••

Begitulah akhir dari hidup si kucing dan lelaki yang menolongnya. Benar, mungkin sekarang mereka pergi ke tempat yang lebih indah. Mendapat makanan yang lebih banyak dan lebih  lezat.

Tuhan sudah membagi setiap rezeki makhluknya 'kan, pun setiap masa hidup dan mati makhluknya. Jadi untuk apa mencoba mengakhiri hidup sendiri jika pada akhirnya sama-sama menghadap pada-Nya. Tinggal makhluknya saja yang memilih. Menghadap dengan senyum manis karena berhasil hidup sekalipun menderita hingga ajal itu tiba, atau menghadap sambil menangis memohon ampunan karena berani mengakhiri hidupnya sendiri.

•••

Cerpen 'Anak Kucing yang Malang'
Copyright © Bina, 2021.

Jangan ada plagiat di antara kita 🐈

ISI KEPALA (KUMPULAN CERITA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang