BAB 9 - RENCANA

85 18 4
                                    

Yoana keluar dari minimarket. Minimarket tak begitu jauh dari rumahnya, membuat Yoana memutuskan untuk berjalan kaki saja melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Saat memasuki sebuah gang, Yoana melihat seorang pria berjaket kulit warna hitam. Pria itu sedang bersembunyi di balik tembok. Yoana memicingkan matanya, pria itu membuka penutup wajah untuk sekadar memakan kapsul atau obat yang ia ambil dari saku celananya. Tapi bukan obat itu yang membuat Yoana terkejut, tapi wajah pria itu. Yoana mempercepat langkahnya menuju pria tersebut, lalu menendang kaki pria itu dengan keras.

"Ngapain lo!" teriak Yoana.

Pria itu terkejut dan hampir marah, namun urung begitu mendengar kata-kata yang Yoana lontarkan.

"Ngapain lo sembunyi di sini? Bukannya jemput gue kalau pulang lebih awal! Gue jadi nggak perlu jalan kaki, Namdan!" omel Yoana kesel.

Pria itu ternyata adalah seorang psikopat yang selama ini dicari Namdan. Pria itu langsung menutup wajahnya lagi, lalu melarikan diri menghiraukan teriakan Yoana.

"E-eh, mau ke mana lagi lo? HEH! NAMDAN BANTUIN GUE!"

Yoana mengembuskan napasnya kasar. Dadanya naik turun menahan gejolak emosi. Bukannya membantu, Namdan malah melarikan diri. Benar-benar kurang ajar bagi Yoana.

"Liat aja lo nanti di rumah. Gue penyet lo, Namdan!" kesal Yoana kembali melangkah untuk pulang. Sementara pria tadi tak benar-benar melarikan diri. Pria tersebut bersembunyi di balik pohon mengamati arah langkah Yoana.

Yoana masuk ke dalam pagar rumahnya. Hanya pagar kecil yang mampu menampung sebuah motor untuk masuk. Yoana membawa beberapa kresek di tangannya dengan tampang terlihat sangat lelah. Pintu berwarna cokelat kayu itu Yoana tendang dengan keras.

"Namdan! Buka pintu cepetan!"

Namdan yang sedang menyusun strategi bersama Teddy di ruang tengah, berjengkit mendengar suara pintu ditendang keras.

"Siapa tuh, Bang? Apa jangan-jangan orang suruhan Papanya Bang Namdan lagi," terka Teddy.

"Bentar. Kayaknya gue kenal suara itu," sahut Namdan menajamkan pendengarannya.

"NAMDAN! BUKA PINTU!"

"Nah, kan. Itu Mbak Yo! Tunggu di sini, biar gue yang buka," ucap Namdan segera menuju pintu.

Namdan membuka pintu. Terkejut melihat Yoana yang menatapnya murka.

"Ke-kenapa, Mbak? Lo ... kerasukan, kah?"

"Kerasukan jin tomang! Gue gedek banget ya sama lo. Bisa-bisanya elu kabur pas gue mintain bantuan. Gue tadi mau minta bawain belanjaan nih! Malah kabur kayak lihat setan. Seharusnya kalau lo pulang awal, jemput gue di kantor!" omel Yoana sebelum melangkah masuk ke dalam rumah.

Namdan cengo teramat sangat. Tangannya meraih pintu dan menutupnya kembali. Bingung dengan arah omelan Yoana, Namdan memutuskan untuk mempertanyakan hal tersebut pada Yoana langsung yang kini berjalan menuju dapur.

"Tapi gue sedari tadi di rumah, Mbak Yo. Gue emang pulang lebih cepet dan kebetulan gue ketemuan sama Teddy di jalan dekat selokan. Setelah dari sana kami pulang berdua. Tanya aja sama Teddy kalau nggak percaya."

Yoana menatap Namdan heran. Pikirannya terlempar pada kejadian beberapa menit yang lalu saat ia melihat seseorang yang persis seperti Namdan sedang bersembunyi di balik tembok.

"Lo beneran nggak ada keluar rumah sekitar setengah jam yang lalu?" tanya Yoana menyakinkan.

"Sumpah, Mbak. Gue dari tadi ngobrol sama Teddy di depan TV. Soalnya kami lagi bahas rencana untuk ke markas psikopat itu."

"Jadi yang gue lihat tadi bukan elo? Yang kabur pas gue ajak ngomong itu bukan elu, Nam?"

"Ya gue nggak tau. Pokoknya gue sudah satu jam setengah ada di rumah. Iya kan, Ted?" tanya Namdan pada Teddy yang perlahan mendekat usai mendengar keributan.

"Iya, Mbak. Eh, bisa jadi yang Mbak Yo lihat itu psikopat yang mirip sama Bang Namdan. Makanya dia kabur pas Mbak Yo kira dia Bang Namdan," tutur Teddy berpendapat.

"Wah ... kenapa nggak lo ringkus tadi, Mbak? Dia yang jadi biang keringat kita selama ini!" sahut Namdan.

"Biang masalah!" ketus Yoana.

"Iya ... itu."

"Jadi, tadi kalian bicara tentang markas psikopat kalau gue nggak salah denger. Emang kalian tau letaknya di mana?" tanya Yoana.

"Kayaknya tau. Tapi kami masih belum yakin banget di sana beneran atau enggak. Makanya gue sama Teddy lagi menyusun rencana buat ke sana," sahut Namdan.

"Di mana emang?"

"Kata pemulung tua yang kebetulan jadi saksi pembunuhan di selokan itu, katanya tempat markas psikopat itu di tempat pembuangan sampah akhir di daerah ini, Mbak. Cuma si Kakek pemulung nggak ngasih tau tempat jelasnya. Cuma katanya di daerah sini juga," jelas Namdan lagi.

Yoana tampak berpikir. "Berarti di tempat pembuangan sampah dekat hutan itu? Jalanan yang baru itu, kan, Nam?"

"Iya kali. Gue sama Teddy mau ke sana rencananya. Y-ya ... walau gue dilema banget. Kira-kira gue harus bawa polisi atau enggak, ya? Ya kalau berhasil tangkap tuh orang gue dan Teddy bakal selamat. Tapi kalau gagal  dan dia tahu kami bawa polisi, beh! Dapat dipastikan kami korban selanjutnya!"

Yoana menggeleng keras. "Nggak. Gue nggak yakin kalian berhasil. Apalagi sama rencana yang Namdan buat. Psikopat itu licik dan pinter juga. Nggak mudah buat lumpuhin orang kayak dia. Lah kalian ... astaga gue nggak bisa bayangin pas buka pintu daging kalian yang udah dicincang 100 ada dalam baskom. Nggak bisa bayangin gue, Nam," ujar Yoana memijat kepalanya pusing.

"Astaghfirullah, Mbak."

"Ngeri gitu ngomongnya," imbuh Teddy ikut merinding.

"Tapi kalau emang kalian mau ke sana dan masalah ini cepat clear. Gue ada saran nih buat rencana kalian berdua. Tapi maaf gue nggak bisa ikut, gue belum kawin. Nggak mau mati penasaran sebelum kawin sama boss gue. Mau denger nggak saran gue?" ujar Yoana menatap keduanya.

Namdan mendengkus sabar. "Ape lagi, Mbak? Awas aja merugikan gue."

"Namdan, sebaiknya elu sendirian yang datang ke sana buat hadapin dia.  Biar Teddy yang memantau dari kejauhan. Lo harus berterus terang tanya kenapa dia meniru muka lo atau ada sesuatu yang emang sewajarnya terjadi."

Namdan mengacak-acak rambutnya frustrasi, tak mengerti dengan apa yang Yoana maksud. "Kok gue sendirian, Mbak? Gue rencana mau berdua Teddy aja udah nggak karuan rasa. Apalagi sendiri. Copot dengkul gue yang ada."

"Coba pikir deh. Mending dua jadi korban, atau satu jadi korban?"

"Astaga maksud lo gue aja gitu yang jadi korban?" kesal Namdan.

"Terus lo mau korbanin anak orang sama masalah lo?" sahut Yoana balik bertanya.

"Y-ya nggak juga. Tapi gue takut sendirian. Elah gue harus gimana, Mbak?"

Yoana berpikir lagi. Mencoba mencari jalan yang aman untuk Namdan. Apalagi melihat wajah Namdan yang frustrasi bagai mati besok. Yoana tak tahan ingin menyingkirkan wajah itu.

"Oke. Besok gue bakal temenin juga. Gue tau gimana cara yang cerdas biar kita bertiga selamat." Yoana menatap keduanya yakin.








Bersambung ...





📌Update Bab 9
📆Rabu, 21 Juli 2021




Update!!!📢
Btw nih cerita lumayan lama nggqk aku lanjutin. Tapi bakal aku lanjutin terus sampai akhir. So, tunggu update selanjutnya.

See you next chapter💞

THE REAL PSYCHOPATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang