Maresha meremas pulpen. Dia butuh sesuatu yang dingin. Tidak perlu yang manis-manis, cukup banyak esnya saja. Kalau perlu seember buat menyiram Xya di bawah sana.
Dia kesal. Sedang memperhatikan Fares yang melakukan pemanasan, berkeringat di tengah lapangan dengan seragam olahraga yang bikin tambah keren. Tapi Xya, rambut merahnya mengotori penglihatan. Sangat kontras dengan jajaran kepala berambut hitam dan cokelat yang sedang nungging-nungging tidak jelas.
Dari depan kelasnya di lantai dua, Maresha bisa melihat tatapan Fares selalu memanah Xya. Xya yang mengelap keringat Fares dengan handuk---pasti baunya tetap harum. Atau bagaimana Fares dengan mesra memijat kaki Xya. Adegan satu ini benar-benar berbahaya, racunnya bisa menyebar melalui udara. Dalam waktu super singkat menjangkit Maresha hingga membuat dada sesak dan mata memanas.
Tidak apa. Tidak apa. Xya bukan pacar pertama Fares.
Ampas! Tetap saja sakit!
Kalau sudah begini, Maresha pasti akan bertingkah aneh saat bertemu Fares. Seperti: menjawab singkat-singkat saat ditanya, lebih banyak diam, atau melantur sampai nyerempet ke kehidupan percacingan. Apa yang dilihat cacing jantan saat akan menikahi cacing betina?
Saat menyadari keanehan Maresha, Fares sering bertanya, "Kamu kenapa?"
Ampas! Masa iya Maresha mau curhat ke Fares tentang perasaannya?
"Es kalau kepanasan terlalu lama, bisa mencair. Biarkan aku yang mendinginkanmu."
Pulpen yang dipegang jatuh. Fokusnya pecah. Jantung mulai berdampung-dampung. Hanya karena suara si Hantu Ampas ... memang sedahsyat itu. Maresha memungut pulpen di lantai, syukurlah tidak mengalami luka hingga tintanya bocor. Dia mulai menyenandungkan lagu dan kembali memperhatikan lapangan.
"Akting-mu bagus, Es. Tapi aku bisa mendengar detak jantungmu dari sini."
Suara milik D sangat dekat. Kalau saja dia adalah orang, Maresha pasti bisa merasakan napas yang tidak sopan mengetuk permukaan telinganya. Dia menoleh ke kiri. Mencoba menajamkan mata, mengamati kalau-kalau saja, setidaknya, ada bayangan seseorang di sana. Sia-sia. Cuma koridor sepi.
"D. Kamu benar bukan hantu?"
"Kalaupun iya, aku pasti hantu tertampan."
"Tidak ada buktinya." Fokus maresha benar-benar teralihkan pada udara kosong di sampingnya.
"Tunggu saja, kamu pasti ngiler lihat mukaku."
Maresha jadi penasaran bagaimana ekspresi D saat mengatakan itu. Ada penampakan senyum tengil-kah? Atau malah wajah yang sombong? Terlepas dari itu, dia lebih penasaran dengan siapa sebenarnya D. Dari mana asalnya. "Bisa kamu jelaskan siapa kamu dan bagaimana kamu bisa muncul?"
"Aku D, kamu yang menciptakanku."
"Bukan aku. Mungkin kamu salah orang, D. Aku enggak pernah--"
"Kamu butuh teman curhat, 'kan? Kamu cuma punya Fares, dan enggak mungkin mau ceritain rasa bodoh itu ke dia. Secara gak sadar, kamu sudah ciptain aku."
"Tapi--" Maresha menghentikan ucapannya. Ampas! Eyzra datang sambil membawa setumpuk buku pelajaran. Matanya menyipit. Dia tertangkap basah! Pasti disangka gila!
Atau mungkin Eyzra juga bisa mendengar suara D?
Eyzra itu mendekat. Menghela napas dengan wajah prihatin. Apa-apaan itu? "Sering patah hati ternyata bisa bikin kamu stres. Sudahi dulu monologmu itu. Bantu angkat buku ini. Lihat siapa di belakang."
Cepat-cepat Maresha mengambil beberapa buku di tangan Eyzra. Di belakang sana, guru bertubuh mungil berjalan teratur. Suara dari pertemuan alas sepatu hak-nya dengan lantai seolah seirama dengan jantung. Bu Eni, guru mata pelajaran PKN. Sering melakukan tanya jawab dadakan. Alasannya simpel, mengetes siswa yang malamnya sudah berlelah-lelah mata berpacaran dengan buku.
Semalam Maresha tidak belajar!
Karena D!
"Aku tunggu penjelasanmu nanti, D."
***
Sejak kejadian tadi, Maresha sulit fokus. Saat makan siang, dia melihat Fares dengan si rambut merah di pantulan sendok alumunium. Itu bikin semua yang masuk ke mulut jadi hambar. Walaupun itu udang saus tiram buatan nenek sekalipun, makanan favoritnya. Sudah dilirik tiga kali, itu hanya tampak seperti ... yah, udang yang berenang di kuah merah. Ampas!
Bukan cuma itu saja. Saat berganti pakaian, Maresha juga waswas pada D yang mungkin saja akan muncul tiba-tiba. Bukankah itu hobinya? Tapi sampai sore, suaranya belum terdengar. Tumben. Lupa atau dapat target baru?
Dia menyerah. Tidak bisa menyelesaikan tugas. Xya seolah muncul di lembaran kertas sambil mengejeknya. Baiklah, lebih baik menggambar naga saja. Mulai dari matanya. Sret, sret. Garis menanjak kayak rasa dongkolnya. Lalu bola mata, dan seterusnya sampai wajahnya terbentuk.
Kenapa malah kayak bebek?
Menyerah. Maresha menutup buku dan memandang ke luar jendela. Tempias hujan menghantam kaca, ada titik-titik yang tampak dari dalam. Kayak cacar air.
"Hei, melamun aja!"
"D!"
Maresha ingin sekali menggaplok D. Benar-benar meresahkan! Tidak beradab, datang-datang bukannya salam malah bikin kaget.
"Mikirin apa, hm? Dia?"
Menghela napas, lalu mengangguk. "Kadang aku mikir, ini enggak adil banget. Aku yang udah lama ada di sisi Fares tetap enggak bisa dapetin dia. Tapi Xya yang baru datang, tanpa lakuin apa pun udah jadian aja sama Fares."
"Tahu lagu Juara Kedua?"
Tiba-tiba nyerempet bahas lagu. Maresha langsung mengangguk. Lagu yang menyedihkan. "Tahu. Itu kayak aku di hatinya Fares."
"Nah. Cewek di sekitarnya itu banyak. Jangankan juara kedua, sepuluh besar saja kamu mungkin enggak masuk."
Ucapan D bikin lemas. Maresha makin putus asa. Tapi itu benar. Mantan Fares terhitung enam belas saat SMP, tepatnya setelah gigi muncul dan nutupin gusi yang menggelikan. Sejak setahun di SMA, ehm ... Maresha tidak hitung-hitung lagi. Bikin tambah sakit hati saja.
Fares bilang, dia cuma main-main saat pacaran. Tidak ada cewek yang disukainya. Maresha sedikit tenang. Tapi Xya ... tatapan Fares padanya terlihat berbeda.
"Apa aku harus berusaha lagi biar bisa jadi juara pertama, D?" tanyanya pada udara dingin.
Hujan masih belum berhenti. Itu hanya membuat kegelapan lebih cepat merayap ke langit, padahal masih jam lima sore.
"Buat apa? Lebih baik pindah saja. Cari tempat di mana hanya kamu satu-satunya. Percaya deh, sangat mudah jadi juara pertama."
Dia menghela napas. Tapi Maresha cuma mau Fares! "Lihat Fares sama Xya mesra-mesraan, itu ngeselin banget. Aku sering dengar kalimat 'bagai belati menembus dada' buat gambarin rasa sakit hati. Menurutku itu sama sekali gak lebay, karena aku juga rasain."
Tawa D berbaur dengan suara damai hujan. Gempita di kamar kecil Maresha. "Itu mah kamunya yang lebay! Huuu!"
Sudut bibir Maresha turun. Dia menunggu D berhenti tertawa, lalu menceritakan keluh kesahnya lagi. Maresha sesekali akan terbahak juga karena leluconnya. Awalnya, Maresha pikir D hanya memiliki pita suara, gendang telinga, juga bola mata yang mengambang tak terlihat. Namun, kata D, dia memiliki tubuh lengkap dengan wajah ganteng.
Mau percaya, tapi meragukan banget.
"D, kamu belum jawab pertanyaanku di depan kelas tadi. Cepat jawab!"
"Entahlah aku ini apa. Manusia? Sepertinya bukan. Hantu? Aku ragu. Entitas? Kamu bahkan enggak bisa melihatku. Aku enggak tahu mau jawab apa, Es. Aku hanya D, teman ilusimu. Jadi jangan menuntut informasi apa pun lagi mengenaiku.
"Kamu adalah sesuatu yang memenuhi pengetahuanku. Aku mengenalmu lebih dari diriku sendiri."
Maresha tidak tahu harus terharu sampai nangis dan sesegukan macam gagak, atau malah menumbuhkan berbagai bunga di rambut, lubang hidung, dan telinga, karena senang? Dia tidak sempat memikirkan lebih jauh, matanya berkaca-kaca seolah disihir jadi berlian. Berkilau. "Aku enggak bakal nanya lagi. Maaf, D. Mungkin saja kamu enggak ingat apa pun karena aku."
"Cengeng. Sstt, udah."
***
(◕ᴥ◕)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilusi
Teen FictionMaresha itu bucinnya Fares, cowok manis berlesung pipi. Cinta diam-diamnya tak terbalas. Fares lebih memilih Xya, si murid baru super aneh. Ampas, Maresha cuma dianggap teman olehnya. Kemudian muncul suara cowok misterius tanpa tubuh. Namanya D, nga...