"Tara, pinjem itu dong. Kayaknya seru dilihat dari cover-nya." Cewek berkacamata di samping Maresha mengalihkan pandang dari komik. Tara itu teman sebangku yang cukup pendiam. Mereka hanya mengobrol saat ada perlu yang benar-benar penting, seperti yang menyangkut pelajaran.
Maresha bosan. Berhalu memikirkan dia dan Fares yang menjadi keluarga bahagia dengan tiga anak kembar juga sudah membosankan. Sekarang sedang jam kosong. Lehernya capek juga memperhatikan anak-anak di kelasnya yang tak asing, tapi terasa asing.
"Oh, ini? Komik Shadowman ini punya Dika. Tadi aku dengar yang volume 1 baru dikembaliin sama Pres, pinjam aja ke Dika. Yang ini udah volume 4 soalnya. Baca deh, Res. Seru ceritanya. Horror-thriller gitu. Hampir semua anak kelas ini udah baca, laris juga, ya?" Tara terkekeh.
Dika di seberang di seberang mejanya sedang mengobrol dengan Eyzra. Dari jarak yang cukup dekat, Maresha bisa dengar mereka sebut-sebut "Cewek Pisau" yang entah siapa. "Kok, aku enggak tahu ya, kalau anak di kelas pada baca cerita itu?"
Tara sepertinya gagal fokus dari bacaannya. Maresha merasa tidak enak. Padahal dia, 'kan, bertanya ke diri sendiri. "Aku pikir kamu emang enggak peduli soal anak-anak di kelas. Mau aku pinjemin ke Dika?"
Ampas! Itu kalimatnya jleb banget!
Tapi emang iya, sih. Selama ini Maresha lebih sering menyendiri. Kalau di kelas selalu melamun atau memandang ke luar jendela. Kalaupun mengobrol, paling cuma dengan Eyzra yang menyapa lebih dulu. Saat SMP, ada Fares yang sekelas dengannya. Pasti selalu menyempatkan waktu buat Maresha. Aneh memang, tapi begitulah.
Sekarang dia sudah kelas 11, sebentar lagi bakalan kelas 12 dan sibuk dengan kelulusan. Satu hal buruk: dia masih belum akrab dengan teman sekelasnya. Sebelum menghilang tadi, D bilang seperti ini ....
"Ke kantin sendirian. Makan enggak ada temen. Apa-apa sendiri. Kamu sebenarnya makhluk sosial apa krusial?"
Masa mau baca komik aja harus pinjam lewat orang? Karena apa? Maresha bisa. Hanya meminjam komik, 'kan? "Enggak perlu, Ra. Makasih. Biar aku pinjam sendiri."
Tara mengangguk tak acuh dan melanjutkan kegiatan membacanya. Maresha sudah senewen. Wah, dia bisa gugup juga selain karena Fares.
"Dika!" Dika dan Eyzra berbalik. "Pinjem komik Shadowman dong."
"Eh, kepincut juga buat baca?" Maresha mengangguk kikuk. Dika mengambil komik dari laci mejanya. "Ini. Jangan sampai hilang. Aku pengin koleksiku tetap lengkap. Oke?"
"Sip! Nanti kalau seru aku pinjam lagi, ya?"
"Gampang mah itu. Tenang aja."
Cuma begitu saja? Ternyata semudah itu. Maresha bisa lihat Eyzra menyeringai lebar. Bodoh amat deh. Dia kembali duduk dengan girang. Cover depannya sangat menggambarkan genre. Dark. Ada bayangan bermata merah yang memegang kapak. Beberapa detik selanjutnya, Maresha tenggelam dalam komik seperti Tara.
Sudah setengah jam, tapi Maresha malah kebelet. Dia langsung ngacir sendirian setelah izin pada Eyzra yang merupakan ketua kelas. Tidak perlu repot-repot nyeret teman. Lagian siapa yang mau dia ajak? Tara? Mereka bukan teman sebangku yang harmonis.
Maresha harus cepat. Dia ingin melanjutkan komik "Shadowman". Ceritanya seru. Bikin tegang. Adegan pembunuhan jelas menjadi cap jika komik itu tidak cocok untuk anak-anak. Bisa kena mental nanti. Maresha saja agak merinding saat masuk toilet yang sepi. Berhubung penjahat dalam komik adalah Shadowman, katanya hantu pendendam. Hantu bisa ada di mana saja.
Setelah selesai, Maresha cepat-cepat lari dari sana. Koridor sepi. Siang-siang begini, kelihatan horor banget! Mana Maresha rasa ada yang ikutin.
Makin lama, dari sudut matanya, Maresha bisa lihat noda hitam di lantai. Kayak genangan air gelap yang bergerak-gerak. Dia mendadak kaku. Warna hitam itu diam saat berhenti. Benar-benar berada di dekatnya.
Maresha akhirnya berbalik hanya untuk mendapati noda hitam itu yang menjulang di depannya. Bayangan berbentuk manusia yang tak bertuan. Bayangan itu melambaikan tangan. Maresha menjerit sambil berlari kencang.
"Shadowman!"
Untung saja tidak semua siswa berbalik saat Maresha masuk tergesa-gesa ke kelas. Tapi pintu yang tak sengaja terbanting saat ditutup itu malah bikin semua orang resmi menatapnya. Hanya sebentar, sebelum mereka merasa bodoh amat dengan Maresha. Huh, padahal masing-masing sudah menyerangnya dengan tatapan apa-sih-gak-jelas-banget.
Ampas, malu banget!
Eyzra menyeringai. "Kenapa, Res? Kamu enggak ketemu Shadowman di jalan, 'kan?"
Iya! Ketemu!
"Ah, itu ... aku cuma ngira ada guru yang masuk. Soalnya dari luar sepi." Padahal kalau ada orang lewat di luar kelas mereka, bakal nyangka ada yang kesurupan. Berisik banget. Lagian siapa yang bakal percaya kalau dia beneran bertemu dengan si Shadowman? Yang ada cuma diketawai. Manusia bayangan? Maresha lebih mudah percaya hal aneh setelah bertemu D.
Tapi memang benar, dia melihat si Shadowman sendiri! Di depan matanya!
"Paling juga habis ngeliat si Playboy temannya Bumi Sampah mojok sama Xya." Itu Eyzra lagi yang bicara. Cowok satu itu kalau sudah nyeplos memang suka bikin mencelos. Dika di sebelahnya tertawa. Pasti condong pada kebencian Eyzra pada Bumi, alih-alih mengejek Maresha.
Padahal Eyzra lumayan ganteng. Pintar main piano pula. Cuma mulutnya yang cerewet itu saja. Tapi Maresha mengerti. Walau rasa cinta Eyzra ke Aurel adalah cinta monyet, tetap saja itu cinta. Cinta apa pun namanya, itu tetap hal rumit yang sering menjebak orang. Ya, namanya juga cinta.
Kalau memang seperti yang dikatakan Eyzra, Maresha pasti kembali dengan wajah jeruk nipis, bukannya muka korban gempa kayak sekarang. "Mereka enggak seseram itu, kok."
Maresha kembali ke mejanya, meraih komik Shadowman dengan ngeri seolah bisa menggigit. Mengembalikan ke meja seberang. "Dika, makasih. Tapi aku kurang suka. Karakter Shadowman terlalu menjiwai. Aku ngeri bacanya "
Dika terlihat bingung. "Menjiwai? Dia cuma muncul pas mau ngebunuh doang. Lagian, Shadowman tuh koleksi bacaan aku pas kecil, enggak ada serem-seremnya. Enggak buluk karena disimpan baik-baik. Terus dipinjam Eyzra sampai viral sekelas." Dia mengendikkan bahu. "Tapi kalau kamu emang takut, enggak pa-pa, sih."
Ketemu Shadowman mampus!
Kenapa Dika merespons terlalu berlebihan? Ah, ini yang bikin Maresha malas berinteraksi ke orang. Atau memang dia yang salah bicara? Ini yang bikin dia malas. Huh, padahal baru coba mulai lagi. Menghabiskan waktu jam kosong itu hanya dengan melamun, lagi. Maresha jadi kangen D.
***
"Duluan, ya, Res!"
Tara enggak kemasukan Shadowman? Maresha tersenyum sambil melambaikan tangan, tapi cepat-cepat diturunkan karena Tara tidak sedang melihatnya. Setelah menimang-nimang kilat, dia berteriak, "Hati-hati, Tara!"
Wah, peningkatan yang lumayan. Tara berbalik dan melambai. Besok-besok mungkin saja cewek berkacamata itu mau berjalan bersamanya sampai gerbang parkiran, alih-alih mengucapkan selamat tinggal di depan kelas.
Maresha mulai waswas berjalan ke luar kelas. Sejak jam terakhir tadi, dia melihat kolam tinta di dinding. Shadowman mengikutinya ... karena tidak menyelesaikan komik itu?
Kalau mengingat dari pertemuannya dengan Shadowman tadi, makhluk itu memiliki postur seperti cowok. Hanya saja berwarna hitam dengan opasitas yang diturunkan. Agak tembus pandang.
Dan sekarang, sosok yang sama sudah berjalan di sampingnya. Maresha berlari cepat dengan wajah ketakutan. Lagi-lagi dia jadi korban gempa dadakan, syok! Ini lebih mengerikan dari awal kemunculan D! Sumpah.
Namun, suara tawa yang tidak asing di sebelahnya membuat Maresha berhenti. Matanya menyipit menatap manusia bayangan itu. Deja vu! Maresha beberapa kali melakukan itu saat berusaha melihat wujud D. Dan sekarang ....
"Shadowman! Ada Shadowman! Tolong aku!"
Sudah jelas. Itu bukan Shadowman, tapi ...."D!" Maresha melotot.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilusi
Teen FictionMaresha itu bucinnya Fares, cowok manis berlesung pipi. Cinta diam-diamnya tak terbalas. Fares lebih memilih Xya, si murid baru super aneh. Ampas, Maresha cuma dianggap teman olehnya. Kemudian muncul suara cowok misterius tanpa tubuh. Namanya D, nga...