Cahayaku Redup(1)
Bab 1 Perkelahian
"Duta! Berhenti!" Suara bariton lelaki berambut ikal memekakkan telinga. Wajahnya terlihat merah padam. Bara amarah memenuhi rongga dada.Lelaki berperawakan tinggi kecil itu terpelanting beberapa kali setelah beberapa tinju mendarat tiba-tiba di wajah ovalnya. Serangan yang diluncurkan membuatnya tidak bisa menangkis pukulan dari sahabat satu kamarnya tersebut.
"Kenapa, sih, lo, hah? Dateng-dateng mukulin gua?"
"Jangan banyak bacot! Lawan gua!" tantang Adji yang sudah dikuasai api amarah yang berkobar-kobar.
Satu pukulan, dua pukulan, Duta masih bersabar. Pukulan ketiga ia tak bisa lagi menahan amarah. Sebagai manusia, dia pun sama memiliki nafsu dan emosi.
Perkelahian pun terjadi. Baku hantam tidak terhindarkan lagi, saling membalas tinjuan di beberapa bagian wajah dan perut. Meski berbadan lebih kecil dari Adji, Duta lebih cekatan dalam hal ini. Ia berhasil membuat lelaki yang menyerangnya tersungkur dengan luka lebam serta darah menetes di bagian sisi bibir.
Meskipun keringat sudah kuyup membasahi tubuh bersamaan dengan rasa letih mendera. Pria itu berusaha bangkit meski napas terengah-engah. Kaki seolah berat menopang tubuh, untuk berdiri pun sempoyongan.
Teman lelaki yang berbeda kamar berhamburan menghampiri. Mereka heran dengan apa yang sedang terjadi. Bertanya-tanya apa yang menyebabkan dua sahabat ini bertengkar hingga saling adu jotos seperti ini.
Beberapa orang mencoba melerai dengan menahan tangan keduanya yang sudah siap untuk kembali menghantamkan bogem mentah.
"Ada masalah apa kalian? Kenapa berkelahi seperti ini?" tanya seorang pria berpeci dengan baju koko putih.
"Dia duluan! Tiba-tiba nyerang tanpa kejelasan masalah." Duta mengangkat telunjuk ke udara tertuju ke arah Adji. Ia mengusap darah yang menitik di sisi bibirnya sembari meringis.
"Lo yang cari perkara! Udah tau gua suka sama Cahaya, kenapa masih lo deketin juga, hah?"
Pria berkaus biru itu terperangah, menatap nanar sahabatnya. Tidak menyangka sedikit pun kalau hal itu yang menjadi pemicu, rasa cinta terpendam pada gadis berkulit putih nan cantik itu menggelapkan pemikiran. Membutakan hati meski pada sahabatnya sendiri.
"Sudah, cukup! Mau aku panggilin Pak Ustaz, hah?" geram Adnan.
Keduanya diam, masing-masing di giring ke kamar yang berbeda agar menenangkan diri lebih dulu. Setelah beberapa saat berlalu, Duta meminta beberapa teman lainnya untuk membantu mengangkat lemari kecil miliknya ke kamar lain.
Lelaki yang berasal dari kota udang itu memilih berpindah kamar setelah perkelahian tadi. Ia tidak bisa satu ruangan dengan orang yang juga mencintai kekasihnya.
Baginya, perempuan yang mengisi hari-hari beberapa minggu belakangan dengan warna-warni indah bak pelangi dalam relung kalbu lebih berarti dari persahabatan. Cahaya adalah masa depannya. Wanita itu akan dia jadikan ibu dari anak-anaknya kelak jika sudah selesai kuliah.
Kedua manik mata hitam pria beralis tebal itu menatap kosong kamarnya saat melihat salah satu lemari sudah tidak ada. Geram dengan perpindahan Duta yang tanpa izin dan sepengetahuannya.
"Lo, lebih milih cewe itu dari pada persahabatan kita, hah?" Setelah memaksa masuk ke kamar yang kini dihuni Duta dengan menggebrak pintu, ia melontarkan pertanyaan pedas pada lelaki yang sedang duduk bersandar ke tembok sambil membaca.
"Jelas! Dia calon istri saya, akan saya perjuangkan sampai kapan pun dan bagaimanapun!"
Jawaban itu membuat meradang, bara amarah yang mulai padam disulut kembali. Satu tendangan meluncur ke pintu.
"Jangan maen kasar, kita bersaing sehat kalau kamu emang suka sama Cahaya!"
"Sehat lo bilang? Lo aja udah nikung gua, sehat dari sebelah mana, hah?" Seringai senyum kecut tampak dari wajah itu sembari berdecak.
"Nikung? Mana saya tau kalau wanita yang kamu sukai selama ini adalah Cahaya. Bukannya kamu gak pernah sebut nama? Setiap aku tanya siapa wanita itu, kamu selalu bilang rahasia, nanti juga tau. Salah aku di mana, Ji?"
Adji tertegun mendengar bantahan dari sahabatnya. Memang benar semua yang dikatakan. Selama ini tidak pernah memberitahu siapa perempuan yang dicintainya dalam diam.
Wanita itu bermain-main dalam hati dan pikiran setiap saat. Mengisi ruang-ruang di hati dengan bunga-bunga cinta yang sudah bermekaran. Melambungkan impian untuk dapat hidup bersama kelak.
Beberapa tahun mencoba mencari informasi diam-diam dari sahabat, adik serta keluarga terdekat. Menelusuri semua tentang gadis bermata lentik itu. Mulai dari makanan dan latar belakang keluarga.
Setelah sampai di titik akan menyatakan perasaan, dihadapkan pada kenyataan pahit yang dia dengar dari Arif---adik Cahaya, bahwa kakak perempuan satu-satunya itu sudah jadian dengan pria bernama Duta.
Bagai dihantam palu godam. Hati remuk seketika, hancur berkeping-keping. Impian yang diuntai direnggut paksa oleh sahabatnya sendiri. Tak ada lagi yang tersisa! Impiannya kandas, hanya amarah yang merajai diri.
Adji kembali ke kamar bersama gemuruh amarah yang coba diredam. Tidak ada gunanya mengumbar emosi dalam keadaan seperti ini. Cukup rasanya melampiaskan kekesalan tadi siang. Lelaki itu terpekur di sisi jendela memandangi langit senja yang membawa warna-warni indah.
"Mengapa aku menjadi insan yang tersiksa oleh sebuah rasa tanpa tertaruh asa?" batinnya.
Kepahitan kian menjerah. Kelam saat mencintai dalam diam. Malam semakin kelam dan bungkam bersama seonggok rasa yang tak pernah sampai pada tujuan.
***
Fajar menyongsong, andai mentari tau kegelapan yang dirasa hati. Mungkin ia akan memberikan sedikit bias cahaya untuk menerangi.
Langkah gontai menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, melakukan kewajiban pada Sang Pemilik Hidup di tengah sakit yang dirasa hati. Lepas salat berjamaah semua santri menuju rumah guru masing-masing kelas untuk mengaji kitab.
Kedua sahabat itu saling melirik dengan sinis saat kajian berlangsung. Tidak ada lagi keakraban serta canda tawa seperti hari-hari sebelumnya. Menjadi dua sosok yang saling membenci.
Menyedihkan! Karena seorang perempuan, sebuah persahabatan yang dijalin selama tiga tahun belakangan kandas oleh seonggok daging yang bernama hati.
Tiga tahun lalu, perkenalan mereka terjadi saat sama-sama menjadi santri baru. Keduanya memilih tinggal di pondok dekat universitas sebagai tempat berteduh. Bukan tanpa alasan, Adji dan Duta ingin memperdalam ilmu agama.
Ilmu dunia dan akhirat bisa direguk bersamaan saat memilih menetap di pondok. Adji bekerja menjadi guru honor di madrasah pesantren itu. Pekerjaan sampingan yang dilakoni setiap hari, membawanya pada getaran rasa yang tidak pernah dirasakan sebelumnya pada seorang perempuan imut dan cantik bernama Cahaya.
Adji memendam rasa selama bertahun-tahun. Menunggu waktu yang tepat untuk menyampaikan cinta. Naas, sifat diamnya membawa pada keterpurukan yang tidak pernah disangka sebelumnya.
Duta, ia memilih menyibukkan diri dengan kegiatan di pondok, belajar berdakwah dan mengikuti kesenian khas islami bernama kosidah.
***
Perempuan berseragam putih abu itu melangkah menuju madrasah tempatnya menimba ilmu. Ia menyapa guru muda yang berdiri di gerbang sekolah, menyambut para murid datang.
Usai mengucap salam dengan binar heran, ia menatap wajah Adji yang penuh lebam, lalu beranjak menuju kelas tanpa bertanya.
"Aya, aku punya kabar yang mengejutkan. Kamu pasti gak akan percaya!" Kanira duduk di sebelah temannya dengan raut wajah yang sulit diartikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahayaku Redup
Chick-LitBlurb Cahayaku Redup Aku memulai cerita ini dari kabut sunyi yang mulai merayap di hati. Mencintai dalam diam, menahan rindu yang kian tak teredam. Ingin rasanya mengungkap. Namun, nyatanya menyapamu saja tak mampu. Aku memendam rasa bertahun-tahun...