Baru kali ini Erik terlihat uring-uringan gak jelas. Semua orang yang di depannya kali ini ingin ia maki, padahal mereka tidak salah apapun. Dadanya serasa ada yang mengganjal. Kepalanya pusing memikirkan hal-hal buruk yang belum tentu kejadian. Prasangka demi prasangka silih berganti muncul di benaknya. Alasannya cuma satu, Arya.
Arya mengganggu pikirannya.
Setelah kejadian di lapangan GOR, melihat Eca melambai ke arah Arya dengan senyum lebar, tentu saja membuat Erik sedikit merasa ketakutan. Takut akan kehilangan Eca, for real.
Arya bukanlah lawan yang mudah, begitu pikirnya. Jelas. Karena Arya sahabat Eca dari zaman mereka berdua di sekolah menengah. Dan tidak menutup kemungkinan kalau Arya ada menyimpan rasa untuk Eca. Oh c'mon! Lelaki selalu tau bagaimana tatapan laki-laki lain sedang memuja seorang perempuan. Itu akan terlihat berbeda. Walaupun, sekali lagi, kebenarannya belum bisa dibuktikan. Arya belum pernah segamblang itu di hadapan Erik mengatakan bahwa ia menyukai Eca.
"Nah kan, bengong lagi ni orang." Ryan menyenggol lengan Erik. "Pak, halooo, Pak." Tangannya melambai di depan wajah Erik.
Pikiran Erik kembali lagi ke suasana kantin yang ramai. Ryan di depannya sudah menampilkan raut wajah khawatir, takut temannya tiba-tiba kemasukan roh halus gara-gara kebanyakan melamun.
"Hem..." Respon Erik singkat. Matanya kembali menatap soto panas yang sedari tadi belum ia sentuh.
Ryan berdecak. "Segitu kagetnya lo ketemu Eca di lapangan kemaren?" Cowok itu geleng-geleng kepala. "Saran aja ya bro, kata gue mah cari ke kosannya, diomongin baik-baik, semuanya cuma perlu komunikasi, Rik."
"Mau ngomongin apa lagi emang? Udah jelas kemaren gue liat Eca dateng ke lapangan buat liat Arya, Yan. Gue sama dia udah kelar."
Mulut sama hati itu emang kadang gak sinkron. Setelah, Erik berkata demikiran, di dadanya seolah ada gemuruh besar yang membuat perasaannya menjadi tidak karuan, seperti ada yang mengganjal. Otaknya terus membuat stimulus agar kejadian-kejadian kemaren hanya sebuah bentuk semangat Eca untuk Arya, bukan karena mereka memiliki hubungan. Iya, ia harus percaya itu untuk sekarang sampai Erik mendapatkan konfirmasi langsung dari Eca.
"Terserah lo, yang penting gue udah ngingetin. Jangan aja lo dateng-dateng ke kosan gue dengan tampang mengenaskan lagi, gue tendang lo."
Sepertinya, lagi-lagi Erik bertindak implusif. Atau memang sudah terdoktrin omongan Dery dan Ryan beberapa waktu lalu. Buktinya siapa yang sangka kalau cowok itu sudah berada di depan pagar kontrakan Eca. Sungguh, ia pun kaget menatap rumah berlantai dua dengan cat putih gading ini berada di hadapannya sekarang. Dari luar rumah terlihat sepi, mungkin penghuninya belum pulang kuliah.
Erik melihat bangunan itu dari dalam mobil, menimbang-nimbang haruskah ia melakukan ini atau ia putar arah dan balik ke kosannya? Perlukah Erik turun dan mengetuk pintu itu atau menghubungi Eca terlebih dahulu untuk menanyakan keberadaannya? Apakah effortnya ini membuahkan hasil? Berapa persen kemungkinannya?
Semua pertanyaan itu berkeliaran di kepala Erik.
Waktu terus berjalan, sampai tiba-tiba kaca mobil di sebelah Erik diketuk dari luar. Erik menoleh dan mendapatkan teman satu kontrakan Eca di sana, Daya.
"Gak mau masuk, Rik?" Tanya Daya setelah Erik turun dari mobilnya.
Erik menggaruk tengkuknya agak salah tingkah. "Eca ada cerita ya?" Tanya Erik memastikan.
"Ada, lo udah putus kan sama dia?"
Erik gak menjawab.
"Masuk dulu, Rik. Ecanya ada di dalem kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gara-Gara Erik
Short StorySeries 2: Mark as Erik Gue pernah gak sengaja liat quotes di pinterest, isinya: "The best time in my life is with her and the stupidity in my life is letting her go." Copyright © 2020 by oohpitaa