002. Hati tidak selalu terbaca apa inginnya.

11 3 0
                                    


Rayyan selalu baik.

Nyatanya, dialah yang meminjamkan buku matematika miliknya lalu dirinya sendiri mendapat hukuman yang sama dengan yang kujalani tadi pagi. Cowok itu keras kepala. Kubilang tidak usah namun dirinya mengancam menggelitikiku sampai mati.

Si manis bermata sendu itu mengaduh saat botol air mineral yang masih tersegel menimpuk kepalanya. "Galak banget, kamu. Udah dibantuin juga. Harusnya tuh, kamu senyum yang lebar. Kayak gini." Iris cokelatnya mengerling sekejab lalu kembali menatapku saat dua telunjuknya mengait ujung bibir miliknya sendiri di dua sisi, membuat senyum paksa yang tampak menggelikan di mataku. "Cepetan, praktekin!" Rayyan memaksa.

"Peduli setan." Bola mataku kubuat juling. Rayyan tergelak. Posisinya duduk di atas meja. Dua kakinya ia selonjorkan dengan ujung celana yang dilipat tiga kali. Aku tahu betisnya masih mati rasa untuk berjalan, maka dari itu Rayyan menitip air mineral padaku yang malah kuminum sendiri. Cowok pemilik bulan sabit di ujung mata jika tertawa itu sama sekali tidak protes.

"Betis aku pegal. Masa kamu enggak mau pijitin? Gara-gara kamu juga, 'kan, nih." Bibirnya yang semerah muda jambu biji menukik turun ketika aku menolak perintahnya keras-keras.

"Enggak, enggak. Memangnya aku Mak Aspah!" kataku seraya menimpuk kepalanya pakai botol air mineral yang kosong. Mak Aspah adalah tukang pijit handal yang ada di kampungku. Tentu Rayyan tak tahu, dia anak kampung sebelah. Rumahnya juga belum kutahu.

"Sebentaaaaar aja. Pegel, nih." Iris cokelatnya yang sendu mampu membuat siapa saja meleleh namun tidak termasuk aku.

"Dih, salah sendiri. Aku sudah bilang enggak usah kasih buku itu, kamu maksa. Pake ngancem gelitikin sampai mati. Tahu aja kelemahanku." Lidahku terjulur dengan bola mata juling. Rayyan diam.

Cowok itu menurunkan lipatan celana lalu kembali berdiri menapak ubin meski kudengar ringisan dari bibirnya. Aku yang duduk segera bangkit, menghadang jalan yang akan dilalui Rayyan dengan rentangan tangan.

"Mau ke mana kamu?" Daguku mengedik jemawa. Alis Rayyan menukik naik.

"Mau minta dipijitin Citra. Awas." Pergelanganku dicekal Rayyan, cowok itu lalu menepis tanganku dan melenggang melewatiku dengan wajah sedatar papan cucian.

Bola mataku mendelik. Aku tidak terima. Setelah berbalik, mode suaraku yang macam toa saatnya kugunakan. "Rayyan!" Punggung tegap yang dibalut hoodie biru cerah itu berhenti. Tapi tidak berbalik menatapku. "Kok, Citra, sih!"

"Memangnya kenapa?" tanyanya namun masih urung memutar tumit. Marah betulan rupanya.

Jemariku mengepal di sisi tubuh. Tanduk warna merah menyembul dari rambut-rambut milikku yang beraroma delima. "Terserah!" Kubiarkan Rayyan dalam kubangan rasa penasaran ketika aku memutuskan berjalan cepat melewatinya, sedikit menyenggol bahu cowok itu sampai mampu membuatnya bergeser dari tempatnya berdiri. Ekor mataku geli untuk melirik, kulihat Rayyan masih diam hingga membuat hatiku dongkol sendiri. Dia kenapa, sih? Ujung sepatu kugunakan menendang sapu sampai menyuarakan bedebum karena beradu dengan tong sampah berbahan besi. Kesal setengah mati.

***

"Kak Yun, bala-bala yang seribuan lima. Minumnya yang serbuk teh rasa lemon. Cabenya banyakin di piring. Esnya juga."

Uang sepuluh ribu pemberian Amma hanya tinggal tiga ribu sekarang. Biasanya, aku paling malas makan di kantin karena akan ngiler melihat siswa lain yang makan bakso, mie ayam, soto dan lain-lain. Bala-bala dan es teh lemon yang dibungkus plastik terpaksa kulahap di sini. Ketika gorengan itu masuk mulut, kunyahanku cepat dan padat-padat sambil membayangkan menggigit tangan Rayyan sampai koyak.

Tidak Bisakah Kita Saling Jatuh Cinta?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang