003. Selalu ada obat dari setiap luka

4 2 0
                                    


"Hari ini jadwal kamu PMS?" Adalah pertanyaan yang tiba-tiba keluar setelah napas cowok itu kembali teratur.

Aku menahan napas. Wajahku memerah sampai ubun-ubun. Gimana bisa Rayyan tahu? Bahkan, aku sendiri hampir lupa dan belum menyetok kebutuhan-kebutuhan pasca menstruasi. Lalu yang lebih membuatku tandukan adalah; uangku tinggal tiga ribu.

Rayyan tidak lagi dalam mode marah ketika melihatku diam. Justru sekarang cowok itu menadahkan telapak tangan, namun bibirnya masih membentuk garis tipis.

"Apa?" kutanya Rayyan.

"Tadinya aku mau marah ke kamu, Ra. Tapi karena kamu lagi mode PMS, aku maafin. Sekarang, aku mau minta uang ke kamu buat beli---" Rayyan berdeham untuk membersihkan kuman pada tenggorokan yang tiba-tiba membuat gatal. "Kamu tahu."

"Gak!" kujawab ketus sambil berbalik memunggungi Rayyan.

Rupanya cowok pemilik iris sendu itu tidak menyerah juga. Bibirku berkedut menahan senyum yang hampir tercetak. Rayyan selalu membuaiku sampai gila dengan hal-hal sederhana. Aku tahu, Rayyan tidak pernah benar-benar bisa marah padaku.

Kudengar alunan sepatunya yang beradu dengan ubin. Lalu sekarang, tubuhnya yang tegap-tinggi menjulang di hadapanku. Aku terkesiap, lantas kakiku melangkah mundur satu kali. "Ngagetin!"

Sejenak, alis Rayyan yang tebal beradu, heran barangkali. "Ra, jangan bebal lagi. Kamu lagi mode darurat! Kamu enggak ingat waktu itu---" Rayyan merapatkan bibir, kembali diam. Kulihat keningnya berlipat remuk.

Aku mendesah lelah. Apa harus kuceritakan juga apa yang Rayyan maksud?

Baiklah. Kamu harus tahu, Rayyan phobia darah. Tidak parah, sih, namun efek paling ringan yang cowok itu keluarkan adalah mual-mual sampai seluruh isi perutnya keluar.

Isi kepalaku terjerembab pada ingatan hari itu. Baru dua bulan lalu, saat kami masih belum terlalu akrab seperti sekarang. Saat itu aku selesai makan di kantin bersama Nada, tiba-tiba Rayyan datang lalu menarik pergelangan tanganku, entah ke mana cowok itu akan membawaku.

Saat itu aku tidak tahu mengapa Nada ikut juga. Posisinya tepat di belakangku, dengan bola mata bergerak ke segala arah. Ketika aku berhenti melangkah, Nada ikut juga. Begitu sampai kami bertiga sampai di pintu dekat toilet. Aku menyentak keduanya hingga Nada dan Rayyan terkesiap.

"Nada, kamu kenapa mepet-mepet aku terus?" tanyaku waktu itu pada si kulit pucat. Nada masih bungkam namun peluh di pelipisnya sudah mampu menjelaskan bahwa Nada kecemasan. "Nada?" kutanya lagi gadis itu.

"Ah, itu!" Bibirnya menggigit telunjuk, hingga kemudian menunjuk belakang rokku. Alisku beradu, Rayyan belum ada suaranya juga.

Detik ketika aku menyadari, buru-buru kurapatkan pantat pada pintu toilet. Wajahku merah padam, Nada juga. Hanya Rayyan---satu-satunya cowok di antara kami---yang mematung dengan jemari meremas saku celana. "P-pergi dulu, Ray!" aku berseru.

Namun Rayyan masih mematung. Lalu ketika Nada mendekat untuk mengusir cowok itu, detik itu juga Rayyan memegangi dadanya lalu segera berlari ke toilet. Dan dia tidak menyadari, bahwa yang dimasukinya adalah toilet wanita.

Aku memalingkan wajah ketika tidak sengaja pandanganku bertemu dengan Nada. "Kok, kamu enggak kasih tahu, sih? Aku juga yang malu." Mataku mendelik garang, Nada meringis.

"Aku baru tahu pas kamu mau ditarik Rayyan, Ra. Jadi, aku cuma berusaha tutupin----"

Suara 'huek' dari dalam toilet menginterupsi pembicaraan kami. Tanpa mengingat bahwa belakang rokku berubah warna jadi merah, Aku dan Nada menyusul Rayyan. Langkahku terpaku ketika melihat cowok itu mengeluarkan isi perutnya di atas wastafel.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 11, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tidak Bisakah Kita Saling Jatuh Cinta?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang