Ada banyak cara untuk patah.
Seringkali penyebabnya adalah orang-orang yang dianggap sebagai rumah. Entah karena tidak berarti, atau dari awal memang kamu tak pernah sama sekali berhasil mengisi hati. Kebohongan selalu sakit untuk dimaafkan, begitu pula penghianatan.
Hati yang kosong perlu untuk diisi, namun tidak untuk menerima hal-hal yang menyakiti. Semesta terlalu banyak membubuh luka, pada aku yang menginginkan segalanya sederhana. Pikirku selalu terpaku pada satu, 'mengapa harus rumit jika bisa dilakukan dengan mudah?'
Begitu pula dengan hidup. Entah sudah berapa juta dosa yang kupunya sehingga luka bertubi-tubi selalu menunggu di setiap langkah yang kupacu. Mungkinkah semua hal tidak menginginkanku untuk bahagia?
Aku tidak pernah tahu rencana Tuhan. Meski pada-Nya selalu kubertanya salah apa yang membuat raga juga jiwa disusupi hal-hal yang membuatku ingin menyerah. Tapi pada-Nya pula, pertolongan terus kuteriakkan.
Aku hampir menyerah, Tuhan. Kakiku lelah menapak aspal luka, jiwaku patah. Mengapa harus aku? Mengapa semuanya terjadi padaku?
Kepalaku terasa dihantam palu godam ketika mendengar Abah memaki dengan suaranya yang melengking hingga telingaku rasanya mau pecah.
Hanya bantal yang bisa dijadikan peredam suara Abah agar telingaku tidak lagi mendengar kata-kata menyakitkan itu. Apa dipikir enak jadi aku?
"Ikan asin lagi, ikan asin lagi! Mana bisa punya tenaga buat menafkahi kalian?" Kudengar suara sendok besi yang terpelanting, beradu dengan ubin yang berembun.
"Aku cuma masak sesuai uang yang kamu kasih. Kalo mau makan sama yang enak-enak, cari uang yang banyak! Jangan salahin aku terus." Aku bisa membayangkan bola mata Amma mendelik pada Abah dengan dua tangannya yang berkacak pinggang.
Bukan diriku menghindari masalah. Namun bergulung dengan selimut dan bantal yang kujadikan tempat persembunyian kepala rasanya lebih baik daripada harus menyaksikan orang tuaku adu mulut di pukul lima pagi seperti saat ini.
Lalu, kudengar samar-samar suara Abah yang menggebrak meja makan yang kayunya sudah keropos dimakan usia. "Kemarin aku sudah kasih seratus ribu. Apa uang segitu cuma cukup buat beli ikan asin?" Kubayangkan gigi Abah bergemeretak setiap kali bertengkar dengan Amma.
"Kamu juga mikir, Mas. Keperluan dapur banyak. Gula, bawang--bumbu-bumbu lain, apa kamu pikir belinya pakai daun? Apa kamu juga mau mandi cuma pakai air tanpa sabun? Kamu pikir nyuci enggak perlu pakai sabun cuci? Belum lagi hutang-hutang di warung yang udah numpuk buat dibayar. Mas, seratus ribu enggak cukup. Kamu kira selama ini aku enggak bosan makan dengan menu itu-itu terus?!" Suara Amma meninggi. Kudengar getaran dari nadanya yang menahan isakan. Hal itu membuatku mengigit bibir, mataku mulai berkabut dengan selapis bening yang nyaris jatuh.
Sekarang, apa aku terlalu berlebihan jika protes pada Tuhan tentang hidupku yang selalu rumit? Dadaku menyesak setiap kali Amma dan Abah saling menyalahkan satu sama lain. Bertengkar karena masalah uang yang tidak pernah cukup, lalu pada akhirnya Amma akan menangis dengan Abah yang melenggang pergi. Aku bosan. Capek. Muak. Ingin pergi jauh hingga tak pernah kembali ke bumi.
"Terserah kamu! Enggak berguna debat sama istri boros seperti kamu."
Kudengar suara pintu yang dibanting keras setelahnya sampai membuat tubuhku tersentak hingga sesak.Kelopak mataku menutup. Perih kembali merayap dada, membubuh banyak luka di sana.
Setelahnya hening. Hanya suara isak Amma yang samar-samar menyapa telinga. Bisa kubayangkan wajah letih Amma yang basah air mata, belum lagi lelah karena harus mengerjakan pekerjaan rumah yang begitu banyaknya. Pintaku selalu satu pada setiap lantunan do'a yang dipanjatkan; ingin punya keluarga damai seperti yang lain juga. Entah didengar atau tidak, nyatanya manusia selalu bertekuk lutut pada harapan dan do'a.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tidak Bisakah Kita Saling Jatuh Cinta?
Roman pour Adolescents----Terinspirasi dari kisah nyata---- Namira Senja belum pernah jatuh cinta. Hingga meski Rayyan---satu pemuda yang berhasil dekat dengannya---selalu mengerti tentang Namira, pun masih tidak bisa membuatnya sekedar menaruh rasa. Hidup Namira rasanya...