Kalau dipikir-pikir, ada benarnya kutipan ini : In the end, we're all bad in somebody's story.
Pada akhirnya, cepat atau lambat, mau tidak mau, siap atau tidak, Arga akan menjadi orang jahat itu. Arga akan menjadi si antagonis yang menarik pelatuk untuk mengakhiri delapan tahunnya bersama perempuan di hadapannya itu. Arga harus siap menerima hujatan dari kaum-kaum yang kecewa karena panutan mereka dalam percintaan memilih untuk mengakhiri kisah cinta favorit mereka yang selalu terlihat adem ayem.
Persetan dengan kata orang, pikir Arga.
Hubungan ini sudah tidak mungkin bisa diselamatkan dengan alasan apapun. Jikalau mereka berusaha untuk mempertahankan delapan tahun yang berharga, itu sama saja membunuh keduanya secara perlahan. Membunuh Adhisti—Asti, lebih tepatnya.
Arga ingin diperhatikan. Namun rasanya itu terlalu egois mengingat pekerjaan Asti yang seolah mencekik gadisnya selama ini. Arga ingin gadisnya menjadi that-kind-of-girlfriend who bakes apple pie at home tapi Arga tidak mungkin menghentikan mimpi Asti untuk berdiam diri di rumah. Gadis itu punya karir yang cemerlang. Gadis itu punya banyak urusan yang butuh perhatiannya seratus persen 24/7 dan Arga harus rela tidak mendapat bagian sedikit pun.
Seperti detik ini.
Detik Arga tengah mengumpulkan segenap keberanian untuk menarik pelatuk itu dan menembaknya lurus-lurus tepat ke pengharapan Asti.
Gadis itu berada di hadapan Arga. Dengan tangan yang berada dalam genggaman Arga. Dengan Mc. Flurry favoritnya di jam sebelas malam lebih delapan menit seperti biasa. Namun matanya tidak sedikit pun lepas dari layar laptopnya sejak mereka keluar dari bisokop satu jam tadi. Asti lebih memilih bercengkrama dengan data-data beserta grafik yang menyita seluruh perhatiannya hingga membuat gadis itu tidak berhenti mengerutkan kedua alisnya, membuat lipatan penuh ketegangan pada dahinya.
Arga tidak mungkin dengan sengaja menutup layar laptop itu dan berteriak "Hey, It's Saturday night! You're dating me, not your laptop! Hello... Am I still yours?" meski Arga sangat ingin melakukan itu sedari dulu. Atau memaki gadis yang kemarin malam baru saja mengatakan padanya kalau ia membatalkan pendaftaran program magisternya, padahal Arga baru saja melunasi tagihan kartu kreditnya yang overlimit bulan ini karena dipakai untuk menghadiahinya buku-buku psikologi agar gadis itu bisa bersiap mengikuti ujian masuk. Namun satu panggilan telpon yang menghabiskan waktunya untuk berkutat dengan banyak berkas pencairan dana semalaman suntuk sukses membuatnya telat datang di hari ujian.
Arga tau gadisnya sedang kesulitan mengurus hidupnya sendiri dan Arga tidak ingin menambah beban pikirannya dengan merengek, mengemis segenap perhatiannya. Arga juga tidak bisa membantu apa-apa karena urusan Asti bukan ranahnya. Apa yang bisa Arga tawarkan?
Arga tidak ingin menyiksa Asti dengan egonya yang haus akan perhatian.
Jadi mungkin... Mungkin ini saatnya bagi Arga untuk mundur dari hubungan ini.
"Ti..." panggil Arga dengan sangat hati-hati namun gadis itu tidak meresponnya. "Asti," kali ini Arga sedikit meremas tangan Asti dalam genggamannya hingga gadis itu akhirnya tersadar "Eh, iya gimana, Ga?"
Sekali lagi, Arga mencoba mengawali pembicaraan ini dengan sangat hati-hati. "Kerjaanmu udah selesai?"
"Dikit lagi, sih. Kenapa?"
"Oh, ya udah selesaiin aja dulu."
Melihat ada sesuatu yang berusaha disembunyikan dari kedua mata Arga yang mencoba untuk menghindari tatapan matanya, Asti berinisiatif untuk mencari tau. "Kamu ada yang mau diomongin sama aku, ya?"
YOU ARE READING
delapan
RomanceTentang bagaimana Arga melanjutkan hidup setelah melepas delapan tahun-nya yang sangat berarti.