"Tadi mantanku ngajak balikan."
Sherly justru membalikkan badannya sembari menarik selimut dan mencoba memejamkan mata. Sama sekali tidak tertarik dengan cerita yang ada sangkut pautnya dengan masa lalu calon suaminya itu. Ia terlalu mengantuk. Energinya sudah terkuras habis setelah melewati perdebatan emosional dengan sang calon suami sore tadi. "Aku nggak peduli, Ga! Sekalipun ternyata kamu beneran balikan sama mantanmu, aku nggak punya hak melarang, Arga. Kayak yang aku bilang tadi. It's relationship, not ownership. Jadi kalau kamu—"
"Aku mau kamu dengerin ini dulu, Sherly." Dengan sedikit memaksa, Arga menarik pundak calon istrinya itu perahan agar ia mau menatap dirinya dan mendengar penjelasannya. "Supaya kamu paling tidak sedikit paham apa yang aku rasakan sebenarnya."
Gadis itu menghela nafasnya panjang. Lalu menumpukan kepala pada satu tangannya yang terlipat di atas bandal. Menatap suaminya. Memberinya kesempatan. Mencoba berbagi sudut pandang. "Oke. Aku akan dengerin cerita kamu, Arga."
"Sejujurnya selama delapan tahun aku pacaran sama mantanku itu, kita sama sekali nggak pernah berantem. Bahkan kita putus tanpa ada cerita orang ketiga atau sebagiannya. Katakanlah aku brengsek karena segampang itu aku memutuskan hubungan yang sudah terjalin delapan tahun lamanya cuma gara-gara bosan. Cuma gara-gara kita yang sama-sama sibuk dan udah nggak greget pacaran lagi. Terus tiba-tiba aku kenal kamu. Rasanya kayak dapet angin segar di hubunganku yang menjenuhkan. Terus aku mulai berpikir daripada aku susah-susah memperbaiki hubunganku sama Asti—itu nama mantanku, mending aku coba jalanin sama kamu. Dan ternyata waktu menjalani sama kamu pun tidak semulus itu. Bahkan menurutku lebih beratk karena aku harus bersaing sama Daniel yang justru sudah dari lama kenal kamu. Aku selalu berpikir kalau Daniel punya lebih banyak kesempatan untuk merebut kamu dari aku karena dia jauh lebih kenal kamu daripada aku. Tapi terus tadi kamu bilang kalau hubungan ini bukan sebuah kompetisi. Kamu bukan sesuatu untuk diperebutkan. Ini masalah hubungan manusia satu dengan manusia lainnya. Aku nggak pernah berpikir sampai sejauh itu, Sherly. Sejak dulu aku berpikir kalau kita pacaran itu, ya tentang kamu punya aku, aku punya kamu. Kamu tanggung jawab aku dan aku tanggung jawabmu. Padahal ternyata definisinya lebih luas dari itu. Kita ini dua orang dewasa yang harusnya bekerja sama untuk sampai ke satu tujuan! Ternyata itu aja!"
Sherly kembali menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya secara panjang. Lalu dengan satu tangannya yang lain, perempuan itu membelai rambut calon suaminya. "Terus tujuan kamu sama aku apa, Arga? Married? Terus setelah itu apa? Punya anak? Terus apa lagi?"
Arga sampai beranjak dari rebahannya dan duduk menghadap Sherly yang juga turut bangkit untuk duduk berhadapan dengan Arga. "Ya hidup sama kamu sampai maut memisahkan, dong! Apa lagi?"
Perempuan itu meraih tangan calon suaminya dan menggenggamnya. Lalu menatap lelaki itu lamat-lamat sampai Arga mulai berpikir akan kemana arah pembicaraan ini. "Kamu yakin, untuk sampai ke sana kamu nggak bosan? Atau... Kamu yakin bisa sampai kesana tanpa menyerah dengan semua permasalahan yang akan selalu datang ke pernikahan kita, yang diantaranya adalah kita yang terlalu sibuk membuat rencana untuk memenuhi setiap target yang kita buat-buat sendiri padahal sebenarnya nggak ada yang perlu ditargetin dalam suatu hubungan itu! Lantas, kalau semua target sudah dipenuhi, kita mau ngapain? Kita nggak akan punya alasan lagi untuk tetap berjalan. Kita berhenti. Kita mati!"
"Tapi hidup kan memang harus ada targetnya, Sherly. Itu tandanya kita serius sama hidup kita. Sama seperti pernikahan."
"Memangnya target sebuah pernikahan itu apa sih, Ga?"
Lelaki itu terdiam. Mengerjap. Merasa tersesat dalam pembicaraan yang sangat dalam ini. "Aku juga nggak tau, Sher. Aku belum pernah menikah. Makanya, jadi tugas kita berdua untuk mencari tau target itu seperti apa."
YOU ARE READING
delapan
RomanceTentang bagaimana Arga melanjutkan hidup setelah melepas delapan tahun-nya yang sangat berarti.