Part 5 Dr. Daniel

179 9 0
                                    

Setelah salat subuh, aku membantu Bu Heni membuat sarapan. Pagi ini Bu Heni memasak nasi goreng cabai hijau, dan makanan ini adalah favorit ku. Rasanya sudah lama sekali aku tidak memakannya. Bahkan saat masih tinggal di rumah, bunda jarang membuat makanan ini.

"Sebentar ya, Mba. Saya mau antar sarapan buat Nenek Siti dulu," pamit Bu Heni, padahal masih sibuk dengan beberapa bahan makanan yang akan dia masak lagi.

"Eh, Bu. Biar saya saja, itu pun kalau boleh." Bu Heni tampak diam sesaat, seperti ragu untuk membolehkan aku mengantar sarapan Nek Siti. "Eum, tapi kalau nggak boleh, nggak apa-apa kok, Bu."

"Oh, bukan begitu maksud saya, Mba. Saya cuma tidak enak saja, soalnya Nek Siti tidak akan banyak merespon. Bahkan keadaannya sedikit menyeramkan. Biasanya itu yang dikatakan warga kalau melihat Nek Siti."

"Menyeramkan bagaimana, Bu?" tanyaku yang malah penasaran.

"Eum, ya sudah, silakan Mba Aretha melihat sendiri." Nampan berisi bubur sum-sum diberikan padaku dengan teh hangat yang diberi sedotan plastik.

Aku mendorong pintu yang memang sudah terbuka setengahnya. Di dekat jendela sedang duduk seorang wanita dengan pakaian khas kebaya, layaknya nenek-nenek tempo dulu. Dulu nenek buyut ku juga sering memakai pakaian seperti itu walau berada di dalam rumah.

"Assalamualaikum, Nek. Selamat pagi," sapa ku berusaha sopan dan ramah. Aku segera mendekat dan duduk di pinggir ranjang. Sementara Nek Siti masih diam di kursi rodanya, menghadap ke jendela yang terbuka lebar. Dia melirik padaku, dan hanya kedua bola matanya saja yang bisa bergerak.

"Perkenalkan, saya Aretha, Nek. Mungkin Bu Heni atau Pak Karjo sudah menceritakan tentang saya dan teman saya, Danu, yang akan tinggal sementara di desa ini. Kami guru bantu, yang akan mengajar anak-anak di sini." Senyum terus ku ukir di bibir, berusaha membuat image positif untuk Nek Siti.

Mengerikan? Aku bahkan tidak bisa mendeskripsikan bagaimana kondisi wanita tua di hadapanku sekarang. Tetapi, bukan mengerikan kalimat yang tepat untuk menggambarkannya. Tapi, menyedihkan. Begitulah yang aku lihat sejauh mata memandang.

Aku tidak tau, berapa usia Nek Siti. Yang pasti sudah di atas 60 tahun. Rambutnya putih semua. Kerutan sudah tampak di seluruh bagian kulitnya. Nek Siti juga memiliki kantung mata dan lingkar hitam di area matanya. Tubuhnya kurus sekali, bahkan rasanya hanya ada sedikit daging yang membungkus kulit.

"Nenek sarapan dulu, ya," tukas ku, mempersiapkan semua nampan, dan meletakkannya di atas meja. Aku mengambil teh hangat terlebih dulu. Saat ujung sedotan ku dekatkan ke bibir pucat keriput itu, dia tidak bergerak sama sekali. "Oh, nggak bisa, ya, Nek?" tanyaku yang seolah sadar akan kesalahan yang ku buat sendiri. Aku lantas membuka mulut Nek Siti pelan. "Maaf, ya, Nek."

Dengan cara itu, Nenek bisa minum teh hangat dengan mudah. Kegiatan kembali berlanjut, menyuapkan bubur buatan Bu Heni. Aku terus melakukan itu sambil mengajak dirinya mengobrol. Tentu dengan pembahasan tentang diriku sendiri. Pembicaraan secara sepihak. Karena Nek Siti tidak dapat merespon apa pun. Namun, tiba-tiba saat aku membahas tentang rumah di depan kami sekarang, Nek Siti langsung berubah aneh. Dia melirik ku tajam, dan tidak mau melanjutkan sarapannya.

"Nenek kenapa? Sudah kenyang?" tanyaku, masih berusaha sopan dan ramah. Nek Siti malah menggeram, tubuhnya pun ikut bergetar. Aku bahkan tidak bisa mendeskripsikan apa yang dia rasakan. Marah? Takut? Kesal? Atau ... Ah, entahlah. Ini merupakan hal baru bagiku. Aku belum paham bagaimana karakter Nek Siti, atau bahkan isi hatinya. Namun sikapnya justru makin tidak terkendali. Bahkan erangannya mulai memicu kedatangan Bu Heni dan Pak Karjo yang kini muncul di balik pintu.

"Nek, nenek kenapa?" tanya Bu Heni lalu mendekat, memeriksa kondisi beliau. Aku yang merasa tidak enak, segera beranjak dan berjalan mundur ke pintu. Di sana ada Pak Karjo yang masih diam mematung. Danu juga akhirnya ikut mendekat, dan terus memberondongi ku dengan banyak pertanyaan.

"Nggak tau, Dan. Tiba-tiba Nek Siti kayak gini setelah aku bahas rumah itu," jelasku agak sungkan. Pak Karjo langsung menatap padaku, seperti terkejut. Begitu pula dengan Bu Heni. "Sudah, Nek. Nggak apa-apa," kata Bu Heni mencoba menenangkan wanita tua itu.

"Elu sih, Tha. Apa bahas rumah horor itu. Udah tau kita tiap pagi lihat tempat itu, pakai di bahas sama Nenek!" omel Danu lalu dia menarik tanganku keluar kamar.

"Dan, gue kan cuma tanya, Nek Siti kenal sama keluarga itu nggak? Cuma itu."

"Astaga. Elu nggak inget bagaimana keluarga itu meninggal? Itu nyeremin, Aretha. Mana ada orang yang akan bersikap biasa aja, setelah tau masa lalu kelam penghuni rumah itu sih!"

Pak Karjo menyusul kami ke dapur. Dia terlihat tidak nyaman dengan kondisi ini. "Pak, saya minta maaf kalau saya salah. Saya tidak bermaksud apa-apa. Saya cuma ingin bisa akrab dengan Nenek," jelasku dengan mata sedikit berkaca-kaca.

"Nggak apa-apa, Mba Aretha, justru saya yang harusnya minta maaf. Nek Siti memang selalu begitu jika membahas apa pun yang berhubungan dengan rumah itu," jelasnya.

"Memangnya kenapa, Pak?"

"Dulu Nenek itu sering datang ke sana, untuk memijat Bu Fani, bahkan kadang juga memijat anak-anaknya. Nenek itu dulu tukang pijit keliling. Saat kejadian itu berlangsung, Pak Yodi mau membunuh Nenek juga. Karena ternyata Nenek tau tentang perselingkuhan Bu Fani. Jadi sampai sekarang mungkin trauma itu terus dia ingat."

"Ya ampun. Maaf saya nggak tau, Pak. Saya janji nggak akan bahas tentang rumah itu lagi."

"Iya, Mba Aretha, tidak apa-apa. Sebentar lagi juga Nenek baikan." Kali ini Pak Karjo terlihat tersenyum, walau sedikit dipaksakan.

Setelah drama pagi hari tersebut, aku dan Danu mulai berjalan ke madrasah yang akan kami gunakan untuk mengajar. Udara pagi di sini, terasa menyejukkan. Beberapa penduduk yang berpapasan dengan kami terlihat sangat ramah. Aku dan Danu membahas apa saja materi yang akan kami ajarkan untuk anak-anak nanti. Jalanan terasa agak lembab, bahkan di bagian jalan lain agak becek.

Deru mesin mobil terdengar dan melewati kami. Genangan air yang berada di tengah jalan berbatu itu, terlindas ban mobil besar tersebut. Alhasil bajuku sedikit terciprat air kotor yang hampir mirip susu cokelat.

Mobil itu berhenti, Danu mengumpat, sedikit kesal padahal bajuku yang kotor. Seseorang keluar dari pintu kemudi. Seorang pria dengan kemeja putih dan rapi. Dia lantas berlari kecil ke arah kami.

"Eh, maaf maaf. Saya nggak sengaja!" kata pria muda tersebut, sepertinya umurnya tidak jauh dari kami.

"Iya, iya, Mas. Nggak apa-apa," sahutku sambil mencoba ah tiba akan kemejaku yang sedikit ternoda.

"Kalian ... Oh, guru bantu dari kota itu, ya?" tanyanya sambil memperhatikan kami berdua bergantian.

"Eum, iya, anda?" tanyaku ikut menatapnya bingung. Dia terlihat bukan warga desa. Penampilannya rapi dan mirip orang kota.

"Oh, perkenalkan, saya Dr. Daniel." Dia lalu mengulurkan tangan pada kami.

"Oh, Dr. Daniel, saya Aretha dan ini Danu."

"Wah, akhirnya desa ini kedatangan guru bantu juga, semoga kalian betah, ya." Dr. Daniel terlihat ramah dan sopan. "Eh, gimana kalau kita sama-sama ke madrasah, soalnya klinik saya juga dekat sana," ajak Dr. Daniel.

"Wah, kebetulan nih." Danu menimpali dengan wajah berseri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TWINS INDIGO (UMMU SIBYAN) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang