Part 1 Desa Alas Ketonggo

454 16 1
                                    

Hampir 3 jam perjalanan, kami sudah mulai memasuki kawasan hutan-hutan pinus. Jalanan beraspal juga sudah mulai habis, berganti jalan berbatu. Untung Danu memakai mobil jeep, sehingga kami dengan leluasa masuk ke daerah ini tanpa harus takut ban bocor atau mesin rusak.

'DESA ALAS KETONGGO'

Gapura besar terlihat di depan. Itulah tujuan kami.
"Sampai juga."
"Kabarin tuh Radit, takutnya nanti di sana sinyal nggak ada."

Kuambil gawai di dalam tas, mulai menekan panggilan ke Radit. Karena tuntutan pekerjaan masing-masing, kami harus berjauhan. Radit bekerja di sebuah perusahaan bonafit di Ibukota. Sedangkan aku, malah berakhir di sebuah desa terpencil bersama Danu. Ini bukan pekerjaan bagiku, tapi lebih ke rasa iba. Saat Danu bilang akan pergi ke desa ini, aku langsung menawarkan diri untuk ikut bersamanya. Dia bilang, di desa ini masih sangat minim tenaga pengajar. Banyak anak-anak yang tidak sekolah karena memang tidak ada sekolah di sana, hanya ada sebuah ruangan dengan dikelilingi papan kayu untuk anak-anak yang ingin belajar. Dan, itu pun tidak semuanya tertarik. Orang tua mereka berfikir, pendidikan bukan hal penting. Asal bisa membaca dan menulis, maka itu sudah cukup. Karena kebanyakan warga di desa ini, bermata pencaharian hanya sebagai petani, perajin kayu, peternak, dan nelayan, yang tidak perlu memakai ijazah atau berpendidikan tinggi.

"Itu rumah kepala desanya, Tha."

Sebuah rumah bercat hijau muda berdiri kokoh diantara beberapa rumah penduduk. Danu memarkirkan mobilnya tepat di halaman luas depan rumah tadi. Keluar sepasang pria dan wanita yang kira-kira berumur 50 tahunan. Kami turun dari mobil lalu mendekat ke pemilik rumah.

"Assalamualaikum."

"Waalaiikum salam warrahmatullahi wabarakatuh. Akhirnya sampai juga, Mas Danu," kata Pak Kades sambil menjabat tangan kami bergantian.

"Alhamdulillah, Pak."

"Bagaimana perjalanannya?"

"Lumayan, Pak."

"Mba, ini ...?" tanya Pak Kades beralih menatapku.

"Ini Aretha, Pak. Yang kemarin saya ceritakan."

"Oh ini, teman Mas Danu yang mau ikut mengajar di sini?"

"Iya, betul, Pak. Saya Aretha, temennya Danu."

"Alhamdulillah, desa kita bakal tambah ramai ya, Bu."

"Insha Allah, Bu ... Pak...."

"Eh, loh kok malah ngobrol di sini. Ayok masuk ...," ajak Pak kades pada kami.

Sambutan dari pak kades dan bu kades cukup menggembirakan. Beberapa kali fokusku terbagi ke gawai yang kupegang. Jaringan hanya menampilkan tanda silang, yang itu artinya di sini sudah tidak ada sinyal sama sekali.

"Mba Aretha... Maaf di sini memang jarang ada sinyal. Biasanya hanya ada di dataran tinggi sana," tunjuk Bu kades ke arah luar rumah. Beliau rupanya tau kegelisahanku.

"Oh begitu ya, Bu. Ya sudah nanti saja."

"Di desa ini memang tidak ada jaringan untuk hape, Mba. Kami hanya menggunakan telepon rumah," jelas Pak kades.

"Pinjem aja teleponnya pak kades, Tha."

"Iya, silakan, Mba Aretha pakai saja."

Walau sedikit sungkan, tapi aku tetap memakai telepon rumah yang ada di sudut ruang tengah. Radit pasti khawatir jika aku belum memberinya kabar. Pesanku sejak tadi hanya bergambar jam saja, yang artinya belum terkirim sampai sekarang.

"Assalamualaikum ... Radit? "

"Waalaikum salam, ya ampun sayang, akhirnya denger suara kamu juga. Aku teleponin kamu dari tadi, tapi di luar jaringan terus. Susah sinyal, tah?"

"Iya, sayang. Susah banget. Kata pak kades mereka cuma pakai telepon rumah. Kalau sinyal hape paling harus ke bukit di atas desa."

"Ya ampun. Sesusah itu? Duh, aku bakal kangen sama kamu dong."

"Nanti beberapa hari sekali aku pinjem telepon pak kades ya."

"Biar aku aja yang telepon kamu. Jangan kamu yang telepon, nggak enak sayang kalau nanti tagihan teleponnya mahal. Pokoknya setiap jam 4 sore aku telepon ke sini. Kamu bilang pak kades ya, buat pinjemin teleponnya."

"Iya, Radit sayang. Kamu lagi ngapain? Udah makan?"

"Hei... Kamu pikir aku bisa makan, belum denger kabar kamu gitu?"

"Hehe. Iya, Dit. Maaf ya."

"Ya udah, nggak apa-apa. Kamu jaga diri di sana ya. Jangan telat makan. Aku kangen."

"Iya jelek. Aku juga kangen. Udah dulu ya. Aku harus ke rumah dinas. Udah sore nih. Besok lagi ya sayang."

"Iya sayang. Hati-hati ya. Aku sayang kamu."

"Aku juga sayang kamu."

Telepon dimatikan. Ada sedikit rasa lega setelah mendengar suara Radit barusan. Akhirnya aku kembali ke depan, bersama pak kades dan Danu.

"Udah?" tanya Danu saat melihatku. Aku hanya mengangguk lalu kembali duduk di sampingnya.

"Maaf, Pak kades... Kalau mulai besok saya bisa pinjam teleponnya?"

"Yayang gelisah yah?" tanya Danu dengan tawa khasnya. Kusikut pinggangnya karena merasa tak enak dengan keluarga pak kades."

"Boleh kok, Mba Aretha. Pakai saja."

"Maaf ya, pak ... Bu ... Kalau saya merepotkan. Sekitar pukul 4 sore teman saya mau menelpon, dan itu setiap hari ,sampai nanti saya dapat cara lain untuk mencari sinyal hape."

"Teman atau pacar?" tanya bu kades yang lebih ke arah gurauan. Danu dan pak kades ikut tersenyum melihatku salah tingkah.

"Calon suami Aretha, Bu. Lebih tepatnya. Mereka berdua sudah bertunangan. Mungkin tahun depan akan menikah," jelas Danu panjang lebar.

"Wah, alhamdulillah. Boleh kok mba Aretha. Jangan sungkan. Pakai saja," kata pak kades menanggapi.

"Terima kasih."

Setelah mengobrol masalah keadaan desa, pak kades mengantarkan kami menuju rumah yang akan kami tinggali. Jaraknya tidak begitu jauh dari gerbang desa. Hanya sekitar 1 km saja.

TWINS INDIGO (UMMU SIBYAN) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang