Part 3 Misteri Rumah Pak Yodi

280 15 7
                                    

"Mari ... Mba Aretha, kita makan dulu. Oh iya, perkenalkan ini suami saya. Biasanya orang-orang memanggilnya Pak Karjo," kata Bu Heni. Kami kini sedang duduk di meja makan. Pak Karjo dan Bu Heni sudah lebih dulu siap untuk makan malam kali ini. Sementara aku dan Danu baru saja keluar kamar, karena tadi sempat ketiduran akibat kelelahan.

Perjalanan ke desa ini memang cukup menyita waktu dan tenaga. Tidur dalam waktu sebentar tadi membuat tubuhku kembali fresh. Aku dan Danu lantas ikut duduk di samping Bu Heni dan Pak Karjo.

"Ayok, dimakan mba, mas," sapa Pak Karjo ramah.

Aku dan Danu saling pandang, lalu piring di hadapan kami dibalik oleh pasangan suami istri tersebut. Pak Karjo lantas mengambil bakul yang berisi nasi putih yang masih hangat. Danu mencoba merebutnya dengan halus karena aku yakin dia merasa tidak nyaman jika dilayani seperti itu. Bagaimana pun juga aku dan Danu hanya menumpang di rumah ini, selama kami berada di desa Alas Ketonggo. Kata Pak Kades, rumah Bu Heni dan Pak Karjo memang sering dipakai untuk tamu yang menginap di desa. Karena ternyata tidak hanya kami berdua yang menjadi bagian desa ini, ada beberapa tenaga pengajar dan tenaga medis yang membantu di desa ini sebelumnya.

Sayuran yang baru saja dimasak Bu Heni cukup menggugah selera. Bukan masakan bintang lima restoran, tetapi justru masakan kampung yang malah membuat nafsu makan ku bergelora. Perutku bergemuruh meminta segera diisi. Sungguh memalukan.

Danu sudah terlebih dahulu mengambil makan, kini giliran ku. Dari yang kulihat kedua suami istri pemilik rumah ini sangat baik dan ramah. Mereka sangat terbuka dan menerima kami di sini. Padahal sejak awal aku sedikit ragu, apakah nanti akan betah tinggal di rumah warga seperti sekarang untuk jangka waktu yang cukup lama.

Aku dan Danu memang tidak selamanya di sini. Hanya setahun saja. Tetapi rasanya itu sangat lama sekali. Apa mungkin karena aku belum terbiasa berada jauh dari rumah? Ah, seharusnya aku tidak mempermasalahkan hal ini. Toh aku sendiri yang memutuskan pergi bersama Danu ke desa ini.

Acara makan malam berjalan sangat baik. Hal ini juga mendekatkan hubungan baik antara kami dan pemilik rumah.

Tiba-tiba suara gelas pecah membuat kami saling tatap. "Oh, pasti Nenek Siti." Bu Heni segera beranjak dan berjalan ke sebuah ruangan yang berada di samping kamar beliau. Oh, namanya Nenek Siti.

Aku dan Danu saling pandang. Melihat gelagat kami yang aneh mungkin, Pak karjo lantas berdeham. "Itu Nenek Siti, Ibu saya. Sudah nggak bisa apa-apa. Sakit. Maaf kalau Mas Danu dan Mba Aretha sedikit terganggu nanti," kata Pak Karjo sungkan.

"Oh sama sekali nggak kok, Pak. Ngomong-ngomong Nenek sudah dibawa ke dokter belum, Pak?" tanya Danu berusaha menunjukan empatinya sebagai manusia.

"Sudah, Mas. Tapi dokter juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ya sudahlah, kami yang harus mengikhlaskan semua."

"Tapi masih sering check up, Pak?" tanyaku menambahkan.

"Masih, Mba. Setiap satu bulan satu kali, Dokter Daniel datang ke sini."

"Dokter Daniel?"

"Iya, dokter yang bertugas di desa ini. Rumahnya ada sekitar 100 meter dari sini. Sebenarnya bidan desa juga ada, tapi Bu Lulu sudah lama tidak terlihat."

"Maksudnya? Bagaimana, Pak? Bu Lulu itu bidan?"

"Iya, betul."

"Lalu maksudnya sudah lama tidak terlihat apa, Pak?"

"Bu Lulu ... Hilang. Ada warga yang menyebutkan, dia pergi kembali ke kotanya. Karena sebelumnya sempat terjadi keributan dengan salah satu warga."

"Waw. Keributan seperti apa, Pak?" tanya Danu antusias.

"Saat Bu Lulu membantu proses kelahiran, rupanya bayinya meninggal. Saya juga tidak mengerti, bagaimana permasalahannya. Tetapi si Supri tidak terima bayinya meninggal. Dia lalu marah-marah, dan setelah itu Bu Lulu tidak terlihat lagi." Pak Karjo menceritakan hal tersebut tanpa beban.

Aku dan Danu hanya diam dengan pikiran masing-masing. Kami juga saling tatap dengan raut wajah yang sama-sama bingung.

"Sudah di cek ke rumahnya, Pak?" tanya Danu.

"Waktu itu Pak Kades ke kota, mencari rumah Bu Lulu. Anehnya Bu Lulu belum pulang, Mas. Huh, itu hal yang aneh dan membuat kami merasa sangat bersalah. Kami bahkan tidak tau apa yang terjadi pada Bu Bidan."

"...."

"Eum, maaf kalau cerita saya membuat mas sama mba takut. Saya hanya tidak mau selama kalian di sini justru menjadi beban. Malah nanti serba tidak enak. Makanya saya kasih tau dari awal, apa saja yang sudah terjadi di desa ini. Supaya kalian paham, dan juga berhati-hati."

Aku dan Danu tersenyum. "Bapak jangan khawatir. Kami nggak apa apa kok. Justru kami terima kasih sekali, karena bapak mau terbuka tentang masalah ini."

"Sudah lapor polisi belum, Pak?" tanya Danu.

"Sudah, mas. Masih menunggu penyelidikan. Semoga segera diketemukan."

Aku diam sejenak. Cerita ini memang menjadi misteri baru yang aku tau tentang desa ini. Tapi rasanya ada hal lain yang ingin aku ketahui juga.

"Eum, maaf, Pak. Boleh saya bertanya?" tanyaku agak ragu. Pak Karjo menoleh padaku dengan tatapan serius. "Boleh, mba."

"Kalau rumah di sebelah itu ... Punya siapa, Pak?" tanyaku menunjuk letak rumah tersebut. Danu yang duduk di samping ku lantas mengerutkan kening. Karena aku belum membahas apa pun dengannya perkara rumah yang sedang aku tanyakan ini.

Pak Karjo tampak diam sejenak. Lalu menarik nafas panjang. "Itu rumah salah satu warga. Tapi sudah kosong hampir 10 tahun."

"Pemiliknya ke mana, Pak?"

"Meninggal, Mba."

"...."

"Rumah itu milik salah satu warga yang cukup berpengaruh di sini. Namanya Pak Yodhi. Beliau sama istri termasuk pasangan yang paling serasi. Punya 2 anak dan di sana tinggal juga bersama ayah dan ibu dari Bu Fani. Tapi ... Suatu hari, Pak Yodhi keluar dari rumah, malam malam. Dengan sebuah golok di tangannya yang berlumuran darah."

"Astaga."

"Dia membunuh seluruh anggota keluarganya. Dengan alasan istrinya telah berselingkuh dengan sepupu Pak Yodhi sendiri. Kabarnya anak anak mereka adalah hasil hubungan gelap mereka. Pak Yodhi kalap, lalu membunuh semua anggota keluarganya. Lalu dia mencari sepupu nya itu. Tapi untung kami berhasil mencegahnya. Tapi ...."

"Tapi apa, Pak."

"Tapi Pak Yodhi bunuh diri. Di depan rumahnya sendiri. Lalu dia berucap. Siapa pun yang menginjak halaman rumahnya, akan mati."

Aku melihat Danu menelan ludah dengan kedua bola mata yang membulat sempurna.

"Kenapa bisa berucap seperti itu, Pak?"

"Karena mungkin, Pak Yodhi merasa kalau miliknya telah dicuri, dan dia tidak rela hal itu terjadi lagi. Sempat pernah ada pegawai kelurahan yang masuk ke rumahnya untuk mencari identitas sanak saudara yang lain, karena rumah itu ada yang ingin membelinya, tapi kemudian meninggal setelah pulang dari rumah itu. Kejadian aneh tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Makanya semua warga beranggapan kalau perkataan Pak Yodhi benar benar terjadi. Tanah dan rumah itu terkutuk. Pak Kades lantas memagari rumah itu, agar tidak ada lagi warga yang masuk ke sana. Kalian juga, jangan sampai masuk ke sana. Berbahaya."

Aku dan Danu saling tatap lalu sama sama menarik nafas dalam dan panjang.

TWINS INDIGO (UMMU SIBYAN) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang